Sambil berjalan membisu di antara lorong toko, Teresa mulai bisa mengenali pembantu rumah tangga Filipina yang tidak bahagia. Pembantu itu mengurus anak orang lain sementara majikan wanitanya yang angkuh berjalan di depan melihat-lihat pakaian. Kadang-kadang, dia mendekat dan berbisik kepada pembantu itu dalam bahasa Tagalog di belakang majikannya: "Hai kabayan. Hai, teman setanah air." Apa kau baik-baik saja? Mengapa tidak pulang? "Mereka menjawab, 'Tidak bisa. Kebutuhan keluarga.'"
Kebutuhan seperti apa, dan apakah kebutuhan keluarganya itu lebih besar dibandingkan dengan kehadirannya di tengah mereka? Namun, semua buruh devisa tahu bahwa kebutuhan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang rumit dan makin lama makin banyak. Makanan, sekolah, obat-obatan, dan dinding kokoh adalah hal-hal yang dibutuhkan keluarga; begitu pula dengan kebanggaan. Renovasi rumah keluarga bukan proyek yang dapat dihentikan di tengah jalan begitu saja. Anak yang bersekolah di sekolah swasta yang mahal pasti membutuhkan biaya besar selama bertahun-tahun; anak perempuan atau adik yang bertunangan akan membutuhkan uang untuk melangsungkan pernikahan yang layak.
Kelompok wartawan dan hak asasi manusia secara berkala mendokumentasikan keluhan buruh devisa: upah tidak dibayar, lokasi kerja berbahaya, kondisi hidup buruk, paspor disita secara ilegal. Namun, UEA tidak memudahkan pendokumentasian itu. Beberapa organisasi non-pemerintah dilarang bekerja di negara itu dan pers nasional sangat berhati-hati agar tidak menyinggung pejabat pemerintah. Pihak yang membela UEA menunjukkan bahwa negara itu tetap menjadi salah satu negara Teluk yang paling terbuka; wanita diizinkan berbusana sesuka hati, rumah ibadah non-Islam berkembang tanpa gangguan, dan jalanan aman.
Kekuatan yang paling diandalkan UEA untuk memastikan kepatuhan tenaga kerja kontrak adalah ancaman deportasi: Jika kalian, pekerja asing yang tidak tahu berterima kasih, berani membuat onar di sini, kami akan segera mengirimkan kalian kembali ke kehidupan menyedihkan di kampung halaman. Baik di Dubai maupun Filipina, orang terus mengingatkan saya bahwa buruh devisa pergi ke luar negeri karena merekalah yang memutuskan untuk pergi.
Coba bayangkan, kita berada di bandara Manila: di terminal kedatangan yang ramai, puluhan orang berkumpul, semuanya saling dorong untuk melihat penumpang yang pulang ke kampung halamannya. Hal ini terjadi sekitar 13 tahun yang lalu, saat Teresa pertama kali pulang kampung setelah pergi selama tiga tahun.
Ketika mengenali salah satu saudara laki-lakinya, kemudian saudaranya yang lain, lalu adik dan beberapa keponakannya, dia merasa kaget: Setiap kerabat yang mengabaikannya ketika dia meninggalkan Filipina, kini justru berdesakan dalam mobil yang dipinjam untuk menyambut kepulangannya. Di atas troli bagasi yang didorongnya ke arah mereka, tampak kardus berat berisi televisi warna baru—berukuran besar.
Ruang tempat penyimpanan televisi itu—sala, ruang keluarga berukuran besar—tahun demi tahun akhirnya seluruhnya berhasil diperkokoh. Pembangunan dilakukan sedikit demi sedikit; setiap beberapa bulan sekali uang kiriman Teresa digunakan untuk perbaikan itu. Pertama-tama, sala. Kemudian, dapur. Lalu, kamar tidur. "Sedikit demi sedikit," kata Teresa, "mereka merenovasinya menjadi rumah tembok."
!break!
Dalam bahasa tagalog, ada lagu populer tentang buruh devisa, direkam seperempat abad yang lalu oleh Roel Cortez, judulnya "Napakasakit Kuya Eddie". Teresa berlari menghampiri komputernya untuk memasang YouTube ketika saya berkata belum pernah mendengar lagu itu. Di layar komputer, tampak siluet sebuah perahu kecil, berlayar mengarungi lautan keemasan.
"Saya akan menerjemahkannya," kata Teresa. Musik terdengar semakin nyaring. Liriknya bergulir. "Aku di sini di tengah negara Arab dan bekerja begitu keras," ujar Teresa, saat suara merdu Cortez mulai terdengar. "Di tempat yang sangat panas... tangan akan mengeras, warna kulit menjadi hitam."
Teresa terbuai oleh lagu itu. Dia ikut bernyanyi dan menerjemahkan, dan berusaha untuk tidak ketinggalan lagu. "Ketika tidur, dia selalu membayangkan saat-saat setelah masa kerjanya usai, sehingga dia bisa pulang ke kampung halaman," katanya. "Dan dia sangat senang ketika anaknya menulis surat, tetapi terkejut dan air matanya mengalir—'Ayah! Cepat pulang! Ibu punya pacar!'"
"Sungguh sulit, saudara Eddie," Teresa bernyanyi begitu nyaring, dengan lutut melambungkan bayinya yang sedang tumbuh gigi. "Apa yang terjadi dengan hidupku?"
Bayi itu sudah tenang kembali dan Teresa menyerahkannya kepada Luis. Anak tiga tahun itu duduk di kasur keluarga. Dalam beberapa tahun ke depan, kedua anaknya pun akan dikirimkan pulang ke Filipina. Tentu saja Teresa dan Luis Cruz memiliki alat komunikasi menakjubkan yang tidak dimiliki para pekerja dari generasi orang tua mereka: ponsel dengan SMS, Facebook, aplikasi dengan jangkauan internasional, dan komputer yang kini ditatap lekat-lekat oleh Teresa dan Luis.
Namun, saat anak perempuan dan anak lelaki mereka akhirnya muncul di layar video, saya merasa bahwa orang tua mereka pasti merasa bahagia, di tengah tawa, candaan, dan lambaian tangan, karena masih memiliki dua bocah kecil yang masih bisa mereka rangkul.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR