Berlin dan Athena mungkin menjadi simbol dua kutub Eropa—yang pertama di utara, kelabu, dibatasi oleh daratan, kaya raya; yang kedua di pesisir Aegea, dengan aneka rumpun bugenvil di taman dan pepohonan jeruk sarat buah di sepanjang jalan.
Tetapi, keduanya sama-sama kurang sesuai dengan gambaran tersebut. Berlin sebagai ibu kota Teutonik berkobar dengan semangat kemerdekaan pascakomunisme, menikmati reputasinya sebagai ibu kota pesta pora Eropa. Sementara, ibu kota tua Yunani, gemerlap ditimpa sinar matahari Aegea, belum sepenuhnya bangkit dari krisis euro beberapa tahun silam—atau memulihkan diri dari kondisi yang memicunya. Matahari bersinar di Berlin; awan kegelisahan masih menaungi Athena.
Dalam banyak hal, kedua ibu kota ini memang mencerminkan keterbalikan: Athena, sklerotik, tegang, buntu, bermasa depan suram; Berlin, santai, pascaotoritarian, paling terbuka dan hangat di antara kota-kota besar Eropa lainnya, dan dengan kesuksesan sebagai satu-satunya masalah.
Keduanya adalah alfa dan omega Eropa modern. Kini mereka terikat nasib yang sama. Proyek besar Uni Eropa ini dirancang untuk memperbaiki kerusakan akibat genosida Hitler dan perang. Proyek ini melibatkan gerakan enam dekade menuju integrasi dan pemekaran. Tetapi, ada sebuah ketidaksesuaian di antara ke-19 negara di zona euro. Semuanya memiliki mata uang yang sama—euro—tetapi masing-masing negara menerapkan sistem perpajakan dan pengelolaan finansial publik yang berbeda.
Di Athena, masalah yang ada saat ini mendesak untuk segera diselesaikan. Amalia Zepou, antropolog dan pembuat film, mengungkapkan tentang “kekecewaan menyeluruh terhadap sistem politik sebagai sebuah keutuhan, perasaan tidak berdaya akibat keputusan yang diambil begitu jauh dari tempat Anda tinggal, dari diri Anda. Untuk apa Anda memilih? Untuk apa?”
!break!Manipulasi pemilihan merupakan hal biasa di Athena. Kandidat-kandidat anggota dewan kota atau parlemen hanya bisa menang jika berkongkalikong dengan para pejabat dari jaringan pengendali-pemilihan tidak resmi. Kesepakatan dibuat. Para pendeta menawarkan jemaat mereka. Orang-orang yang mengendalikan pasar-pasar terbuka menghimpun suara para pemilik kios. Sejumlah besar kertas suara sudah ditandai sebelumnya untuk kandidat terpilih.
“Memang selalu begitu di Yunani,” Zepou menjelaskan. “Ini sistem kekeluargaan di desa, dan sangat manusiawi. Inilah cara kerja Yunani sejak dahulu—mengenal seseorang. Karena Anda akan selalu membutuhkan seseorang.”
Ada banyak cerita tentang krisis dan korupsi di Yunani, tentang tingginya tingkat pengemplangan pajak, tentang dokter-dokter yang tertangkap basah menilap jasa kesehatan nasional hingga 35 persen dari anggaran resep. Di bawah budaya korupsi ini terdapat residu jejaring pribadi, keyakinan tentang nilai luhur hubungan manusia yang jauh melampaui wewenang institusi. Orang Yunani kurang memercayai kemampuan birokrasi dalam memberikan keadilan.
“Di Berlin,” penyair dan jurnalis Kostas Kanavouris mengungkapkan, saat kami mengobrol di sebuah kafe di Athena, “semua orang merasa sebagai orang Berlin—siapa pun mereka, dari mana pun asal mereka, seberapa lama pun mereka di sana. Di Athena, tidak seorang pun pernah merasa sebagai orang Athena. Itulah perbedaannya. Di Berlin semua orang merasa berada di tempatnya. Di Athena semua orang memikirkan desa asal mereka. Dan bagaimana mereka bisa bertahan di kota jika mereka tidak kerasan.” Itulah yang menjadikan kedua kota ini kutub yang berlawanan: kota otoritas yang menyambut semua orang; kota jejaring-pribadi tempat kecemasan terlihat di setiap ruas jalan.
!break!
Dalam krisis finansial global yang dimulai pada 2008, kerapuhan Eropa, perbedaan mendalam di bidang ekonomi dan budaya antara utara dan selatan, mulai terlihat. Jerman, yang memiliki penghasilan rata-rata 50 persen di atas Yunani, dengan produk domestik bruto (PDB) sepuluh kali lipatnya, sewajarnya berdiri di jajaran pemimpin, sementara krisis memunculkan berbagai masalah yang telah berpuluh-puluh tahun terpendam di Yunani.
Pada 2009, pemerintah Athena mengungkapkan bahwa angka defisit nasional mereka bukan 6,7 persen dari GDP, sebagaimana yang telah disampaikan oleh pemerintah sebelumnya, melainkan 12,5 persen, dengan utang nasional mencapai $400 miliar. Bank-bank Yunani menolak memberikan pinjaman, dan para investor memindahkan uang mereka dari Athena, sebagian besarnya ke Jerman yang aman. Pinjaman terbesar dalam sejarah ketika itu diberikan kepada pemerintah Athena: $146 miliar pada Mei 2010 dan $162,7 miliar pada Maret 2012. Namun, syaratnya berat. Penduduk Yunani harus mengubah gaya hidup, memotong pengeluaran, menggalakkan pajak, merampingkan sistem pensiun, menegakkan undang-undang, dan menerima pengawasan atas semua ini dari trio International Monetary Fund, European Central Bank, dan Berlindominated European Commission.
Dampak sosial di Yunani sangat besar. Pengangguran meningkat hingga 27 persen, dan belum turun hingga kini. Di Athena, penganggur berusia antara 15 dan 24 tahun hampir mencapai 62 persen. Selama enam tahun terakhir, ekonomi Yunani turun hingga 30 persen. Kota Athena porak-poranda akibat kerusuhan. Kekerasan terhadap imigran melonjak. Tetapi, tidak heran jika aura masalah dan kejemuan masih menyelimuti ibu kota Yunani.
!break!Jika ditanya, semua tokoh intelektual di kedua kota akan menyampaikan keprihatinan mereka. Tidak ada yang bisa menandingi Berlin dalam mencontohkan ambisi politik berlebihan, tirani, represi, perpecahan, dan kegagalan manusia. Setiap sudut jalannya mengingatkan pada sejarah abad ke-19 dan ke-20.
Di sinilah pusat kekuasaan besar berada. Di sinilah pelajaran, yang tertulis dalam situs-situs geografi kota—di terminal udara besar NAZI yang setengah terbengkalai di Tempelhof, di patung batu penuh bekas tembakan yang dipamerkan di Museum Island, di pecahan Tembok Berlin. Cobalah untuk mendominasi, dan Anda akan menderita; cobalah untuk merusak, dan Anda akan rusak; cobalah untuk menjadi pusat dunia, dan Anda akan mendapati kota Anda terpecah belah.
Wolfgang Thierse, mantan presiden dan wakil presiden parlemen Jerman, dan salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam penyatuan kembali kota setelah 1989, berkeras bahwa “penduduk Jerman dan kekuatan modal mereka masih terjerat dalam sejarah, dan belum siap memegang kedudukan penting. Di Berlin, sejarah jahat abad ke-20 masih terpampang nyata. Kami di Berlin tidak ingin bersembunyi dan melarikan diri dari sejarah, tetapi menghadapinya.”
“Berlin telah berulang kali menemukan jati diri,” ujar Richard Meng, juru bicara senat kota. “Dibutuhkan waktu sepuluh tahun setelah ’89 untuk mencari jalan menuju Berlin.” Formula yang kemudian terbentuk adalah, dalam istilah Meng, “kota berpikiran terbuka yang mengizinkan komunitas internasional masuk, dan memungkinkan generasi muda menjalani hidup dan menemukan gagasan.” Hal ini bertentangan dengan gagasan sebelumnya soal Berlin sebagai tempat pameran kekuatan.
!break!Tetapi, ada satu masalah. Kurangnya industri dan bisnis besar di Berlin menyebabkan pendapatan dari pajak tetap kurang. Bahkan, hingga kini, Berlin masih berutang sebesar $77 miliar dan akan mengalami defisit anggaran kota sebesar 20,7 persen per tahun jika tidak menerima bantuan dari pemerintah dan rakyat Jerman. Tanpa dukungan seluruh Jerman, Berlin akan bangkrut. Angka defisit tahunan menurun, dan perusahaan-perusahaan baru didorong untuk terus maju, tetapi sepertinya belum ada langkah mendesak, setidaknya di Berlin, untuk menambal kebocoran. Cara santai dalam menyikapinya membentuk cara pandang penduduk Berlin akan masa depan kota mereka yang, menurut penggambaran sang mantan wali kota, “miskin namun seksi.”
Pergeseran besar-besaran Berlin dari kota adikuasa bermasalah menjadi simbol kebebasan berkebalikan dengan kisah Athena. Ketika Yunani bergabung dengan UE pada 1981, keadaannya—menurut Vassilis Papadimitrou, sekretaris pers George Papandreou, perdana menteri yang menjabat ketika krisis ekonomi mencapai puncaknya pada 2009 hingga 2011.Itulah momen ketika Yunani—sebelumnya terisolasi blok Soviet di utara, terlibat persaingan senjata dengan Turki di timur, dan luar biasa miskin—“merasa diperlakukan sebagai bagian resmi dari Eropa untuk pertama kalinya.”
Keanggotaan di Uni Eropa menghasilkan optimisme jangka panjang, pendanaan, dan pertumbuhan kota. Puncaknya ketika Athena menjadi tuan rumah Olimpiade 2004 dan membangun Museum Acropolis yang baru dan megah, tempat dunia bisa melihat betapa modern dan canggihnya Yunani sekarang.
Krisis euro adalah, menurut Elli Papakonstantinou, direktur teater eksperimental di wilayah industri terbengkalai Elaionas, “momen perasaan bersalah, yang membebani semua orang, perasaan bahwa entah bagaimana kita semua bertanggung jawab atas hal-hal buruk yang menimpa kita.” Itu adalah tamparan keras bagi kepercayaan diri nasional. Menurut Papadimitrou ini adalah “konfirmasi bagi ketakutan terburuk Yunani, bahwa mereka tidak benar-benar pantas menjadi bagian dari Eropa.”
!break!Kepedihan sosial dan personal dipertajam oleh penghematan besar-besaran. Ermina Kontaratos, yang memiliki anak perempuan remaja difabel, merasa putus asa menjalani perjuangan hariannya menghadapi birokrasi untuk memperoleh tunjangan kesejahteraan. Sejak Juni 2013, dia tidak mendapatkan apa pun. Sebelumnya dia memperoleh $1.300 setiap dua bulan. Kemudian para dokter melakukan pemogokan. Kemudian dia dirujuk ke dokter yang salah, yang merujuknya ke dokter lain, lalu ke dokter lain di kantor yang jauh, dengan birokrasi yang sulit ditembus dan nyaris tidak mungkin dicapai dengan transportasi umum. Dia tidak memiliki kendaraan. “Para petugas kelabakan akibat penghematan. Pekerjaan mereka kacau-balau.”
Terdapat pergeseran tektonik dari kelas menengah menjadi miskin. Para lansia pindah ke rumah anak-anak mereka; para pemuda meninggalkan kota dan kembali ke desa. Bagi banyak keluarga, tidak ada cukup uang untuk membayar guru privat yang sejak dahulu sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan Yunani. Populasi pusat kota Athena anjlok; pada 2011, sensus melaporkan, hampir sepertiga apartemen di kota kosong. Harga properti di beberapa bagian kota jatuh hingga lebih dari 40 persen. Walaupun iklan-iklan berbagai klub baru di Kerameikos atau pertunjukan seni dibuat marak, kejatuhan Athena nyata dan tersebar luas.
Jalanan di sekitar Polytechnion, kampus universitas paling radikal di Athena yang didominasi anarkis, masih dipenuhi grafiti—Eat the Rich, Kill the Past, Burn the Cells—dan sepertiga toko di pusat perbelanjaan teramai, Kolonaki, kosong. Kelompok-kelompok polisi berpakaian pelindung dari karet dan rompi anti tusukan, bersenjata tongkat sepanjang satu meter, masih berjaga-jaga di luar kafe-kafe di sekitar Jalan Alexander Grigoropoulus. Jalan itu dinamai secara informal dengan nama pemuda 15 tahun yang tertembak hingga tewas oleh seorang polisi dalam kerusuhan yang terjadi pada 6 Desember 2008.
Tekanan sosial dan ekonomi melahirkan ledakan xenofobia di beberapa bagian kota. Saya berbicara dengan tokoh masyarakat di Aghios Panteleimon, salah satu distrik tempat kelompok fasis Golden Down memperoleh dukungan terbesar. Dia menunjukkan lubang hitam tempat sebuah masjid kecil berdiri, hingga akhirnya habis terbakar pada 2011. “Bisakah Anda membayangkan sesuatu yang lebih menjijikkan daripada 70 pasang sepatu di trotoar di luar masjid?” katanya. “Wajar saja kalau tempat ini dibakar.” Athena, menurutnya, mungkin mengizinkan pembangunan masjid, tetapi tidak ada yang boleh memiliki menara. “Itu mengingatkan kami pada aib Ottoman”—berabad-abad silam, ketika Athena sekadar salah satu kota di kekaisaran Turki.
!break!
Hari-hari penuh amarah telah berlalu. Demonstrasi terusuh musim semi lalu adalah pendudukan para petugas kebersihan dari kementerian keuangan yang menuntut pekerjaan. Mereka duduk-duduk sambil merokok dan mengobrol sepanjang pagi di jalanan dekat kantor. Di sana-sini, optimisme mulai terlihat dalam iklan. Perusahaan berbasis Internet seperti Taxibeat—“Jadilah sopir taksi abad ke-21. Jadikan ponsel pintarmu sumber penghasilan baru”—berhasil menggalang modal jutaan dolar. Berbagai bisnis internet lahir. Dan artis-artis jalanan mulai menjual karya mereka kepada kolektor seni internasional.
Di samping semua ini, yang juga tengah marak di Athena adalah organisasi-organisasi lokal untuk mencari solusi lokal, membersihkan sampah, menanam pohon di tempat-tempat terbengkalai, mengecat taman-taman bermain anak-anak, memberikan tur untuk penduduk Athena ke bagian-bagian kota yang tidak mereka kenal, menuliskan sejarah singkat dalam bahasa Yunani sederhana di tembok berbagai gedung.
Pemanfaatan lahan-lahan kota yang rusak atau terbengkalai adalah sebuah fenomena global. Itu juga terjadi di mana-mana di Berlin. Namun, tindakan yang sama memiliki makna berbeda di tempat lain. Di Athena, musuh yang disasar adalah rasa gagal dan kecewa. Di Berlin kebalikannya, ancaman dari kesuksesan yang mulai mengikis kemerdekaan Berlin yang tersohor. Demonstrasi diselenggarakan di sana, di dekat blok-blok apartemen baru. Di berbagai bagian kota, seperti Kreuzberg dan, terlebih lagi, Mitte, yang menjadi tempat berkumpulnya para seniman jalanan dan pusat kesenian pada 1990-an, tahun-tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin. Uang menjadi masalah baru. Kekuatan modal, banjir kekayaan baru dari generasi pewirausaha muda yang tertarik pada citra keren Berlin, yang kemudian berujung pada gentrifikasi, justru melahirkan ancaman untuk mengubah semangat kebersamaan warga kota.
!break!
Inilah cara Berlin untuk melarikan diri dari kegagalan. Hanya dengan integrasi dan partisipasi, juga masyarakat yang hidup rukun, kota modern ini bisa berharap menjadi manusiawi. Pesan ini terdengar dari setiap sudut kota. Sejak 2009, Marco Clausen, ahli sejarah sosial, dan Robert Shaw, pembuat film, mengelola komunitas berkebun bernama Prinzessinengärten di tengah kota Berlin. Komunitas ini beraktivitas di bekas lokasi sebuah pusat perbelanjaan Yahudi besar yang dibom semasa perang dan tidak pernah dibangun kembali. Untuk orang-orang yang berpendapat bahwa kebun seluas 0,6 hektare kurang produktif dalam menghasilkan bahan pangan, Clausen punya jawaban: “Tidak. Yang kami produksi adalah pertukaran sosial. Yang kami produksi adalah hidup bertetangga.” Kebun ini, katanya, “adalah simbol banyak hal yang diinginkan orang-orang.”
Bagi banyak orang, kebudayaan Berlin ini, yang berakar dari para seniman pra-1989 di Berlin Barat, sedang terancam. “Seperti apakah penampilan kota ini di masa depan,” tanya Clausen, “jika kita terus-menerus menjual kepada petaruh tertinggi? Kota ini tidak dibentuk oleh penata kota dan arsitek; kota ini dibentuk oleh kebudayaan dan hubungan sehari-hari.” Itu visi yang kuat tentang seperti apa kota yang bagus seharusnya: Jangan biarkan uang atau kekuasaan mendominasi, jangan biarkan properti menggusur kemanusiaan. Ironisnya, Clausen menyuarakan secara tepat idealisme hubungan dan jejaring manusia yang terdapat di akar kebudayaan Yunani, dan telah terbukti sulit untuk diintegrasikan dengan sistem kenegaraan modern: Bagaimana merekonsiliasi hubungan manusia dengan ekonomi pan-Eropa?
Wolfgang Thierse, politikus veteran yang telah berpuluh-puluh tahun terlibat langsung dalam membentuk Jerman baru, memaparkan bahwa “yang atraktif dari kota ini belum rampung. Masih banyak titik kosong dan kekacauan. Tetapi, sisi menarik dari kekacauan itu telah lenyap.” Di Prenzlauer Berg, tempat tinggalnya, Thierse memperkirakan bahwa 90 persen penduduknya pindah ke sana dalam 25 tahun terakhir. “Artinya, 90 persen lainnya telah tergusur ke luar. Gentrifikasi adalah pengalaman sepuluh tahun terakhir, pengalaman yang menyakitkan,” katanya. “Orang-orang berharap kota akan mengerem proses itu, mengurangi rasa sakit yang ditimbulkannya.” Kesuksesan besar Jerman sejak 1945 telah memproduksi apa yang disebut oleh warga Jerman sebagai kapitalisme dengan dimensi sosial.
Menjaga keutuhan jiwa sosial kota merupakan inti dari upaya pelarian Berlin dari tekanan modernitas. Inilah paradoks utamanya. Berlin berkembang dengan pengelolaan cermat sebagai sebuah kota merdeka. Athena tumbuh dalam keterbatasan dan terjerat kebudayaan yang, secara mendalam, meragukan nilai otoritas—dan secara konsisten mengikisnya.
Pertanyaan yang sama dihadapi oleh kedua kota ini: Bagaimana cara bertahan dari dominasi pasar yang kian kuat? Dan bagaimana cara menciptakan institusi yang akan dipercaya masyarakat? Tidak ada satu pun jawaban yang tepat.
---
Adam Nicolson menulis Why Hommer Matters, soal Yunani yang merupakan akar dari warga Eropa. Buku terbaru Gerd Ludwig berkisah tentang Chernobyl. Foto-foto Alex Majoli mengilustrasikan Kaisar Nero, pada edisi September 2014.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR