Satu jam kemudian kami berdiri di gletser, sementara pesawat kembali mengangkasa. Selama lima minggu berikutnya, telepon satelit menjadi satu-satunya penghubung kami dengan peradaban. Dengan sekop dan gergaji, kami mulai membangun kamp dari balok salju keras. Menjelang senja, kami berhasil mendirikan dinding melingkar dengan tinggi 1,5 meter dan diameter 10 meter.
Sore berikutnya, angin memberi kami pelajaran lain. Untuk mempercepat perjalanan, Libecki membawa layang-layang untuk menarik kami meluncur dengan ski. Saat kami berangkat untuk meninjau puncak-puncak yang paling menjanjikan, kami menyaksikan Libecki dengan berani membentangkan salah satu layang-layang kecil dari kain parasut dan meluncurkannya ke udara. Dalam hitungan detik, dia melesat melintasi padang es. Dia merendahkan tubuhnya yang terikat tali pengaman, kaki dipentang untuk menambah kendali. Namun, setelah beberapa ratus meter, dia terpaksa meniarapkan tubuh untuk menurunkan kecepatan. Angin menyentak tongkat pengendali layang-layang hingga lepas dari genggamannya. Layang-layangnya terpaksa disimpan dahulu.
Ada banyak tempat mendaki yang menarik di sini: sekelompok piramida batu yang kami juluki Benteng; dinding batu setinggi 900 meter lebih yang menjulang di atas es yang kami sebut Haluan Kapal; dan dinding segitiga besar yang kami namai Layar. Setelah berkeliling dua minggu, kami sepakat bahwa tujuan pertama kami adalah menara ramping yang terletak persis di belakang kamp.
Puncak menara itu, gigi batu raksasa yang terbentuk oleh angin, tidak bersalju. Dinding barat laut yang menjulang di atas kamp tampak berhias urat merah dan bopeng misterius. Di sebelah kiri, dinding yang menghadap ke timur—sisi yang menahan angin—berwarna kelabu pualam dan melengkung rapi. Dua sisi itu bertemu dan membentuk tiang batu runcing yang menjorok ke utara. Kami hanya dapat menebak tinggi menara itu dari dasar ke puncak: mungkin 600 meter, mungkin lebih.
Saya merasa bersemangat sekaligus kebat-kebit. Inilah tujuan kedatangan kami, kesempatan untuk melakukan pendakian pertama di tempat terpencil yang sangat asing ini. Namun, kami sudah sempat mencicipi angin katabatik di tanah datar. Bagaimana kalau angin itu menerjang kembali saat kami sedang mendaki tebing? Seperti biasa, Libecki ingin segera mulai mendaki.
!break!Strategi kami adalah saya bersama Richards dan Libecki memasang tali ke bivak yang terletak di belebas sekitar dua-pertiga perjalanan ke puncak, sementara Ladzinski memotret kami dari bawah. Namun, angin menjadi penghalang pada semua tahap pendakian, dan baru dua minggu kemudian kami mencapai belebas tersebut.
Kamp baru kami berupa tenggeran sebesar teras rumah, 350 meter di atas permukaan tanah. Suatu malam sambil menikmati makanan Richards melemparkan beberapa batu ke bawah. Batu itu jatuh selama 20 detik sebelum mengenai permukaan diiringi kepulan debu.
“Siapa yang tidur di kasur bawah malam ini?” tanyanya bercanda. Kemah portaledge kami, gabungan antara tenda dan pelbet yang dipasang ke dinding batu, hanya muat dua orang, jadi satu orang harus bermalam di luar, hanya berbekal kantong tidur.
Selama tiga hari berikutnya, kami terus maju dengan pasti, memasang tali ke atas tebing siang harinya, dan setiap malam kembali ke belebas. Namun, kami tahu betapa rentannya posisi kami jika angin meraung itu datang lagi. Selama satu dasawarsa mendaki, saya belum pernah kehilangan tenda karena tersapu badai. Dalam ekspedisi ini kami kehilangan tiga tenda: dua terkubur salju dan yang ketiga terbawa angin saat saya berada di dalamnya. Libecki menarik saya keluar dari tenda yang robek itu setelah mendengar saya berseru minta tolong.
Keesokan paginya giliran saya memimpin. Saat memanjat tali ke tempat terakhir kami, tonjolan batu membuat saya menggantung 500 meter di atas permukaan tanah. Libecki menambat tali saya, bersiap-siap menahan sekiranya saya jatuh. Sambil mencari-cari pegangan terbaik bagi jari saya yang terbungkus, saya mulai bergerak hati-hati di permukaan batu vertikal. Untuk mencapai puncak, saya harus melintasi bagian yang paling terbuka di tiang itu.
“Siap-siap ya—ini makin sulit,” saya berseru kepada Libecki di bawah. Tiba-tiba angin turun menerpa, menarik tali di antara kami. Ternyata angin turun yang mendadak bisa terjadi kapan saja, bahkan pada hari cerah. Puncak menara ramping, yang kemudian kami namai Menara Bertha, adalah batu jamur sebesar meja. Saya berdiri di atasnya dan melihat, jauh di bawah, titik kuning kecil tenda saya. Segala sesuatu di gurun es ini terbukti jauh lebih sulit dihadapi daripada yang kami kira. Namun, kami berempat berhasil menghadapinya.
---
Ini artikel pertama Freddie Wilkinson untuk majalah ini. Cory Richards menjelajahi gua di Nepal untuk edisi Oktober 2012.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR