Dari Garamba, Kony mengirim tim ke Darfur untuk berusaha menjalin hubungan baru dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Dia berharap menukar gading dengan granat berpeluncur roket dan senjata lainnya. Sementara itu, menurut Onen, anak buah Kony menyembunyikan gading dengan menguburnya dalam tanah atau merendamnya di sungai. Ceritanya dikuatkan oleh Caesar Achellam, mantan kepala intelijen Kony yang kini ditahan pemerintah Uganda. “Mereka bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan saat ini,” katanya, “dan menyimpannya di situ selama dua, tiga, atau bahkan lebih dari lima tahun.”
Pasukan Uganda akhirnya menyerang markas Kony di Garamba pada akhir 2008. Serangan udara didukung DRC, Sudan Selatan, dan Amerika Serikat. Namun, serangan itu gagal menghancurkan Kony atau menggulingkan kepemimpinannya. Balasan Kony berlangsung cepat dan buas. Tentaranya menyebar dalam beberapa tim kecil dan membunuhi warga sipil. Dalam waktu tiga minggu, anak buah Kony membantai lebih dari 800 orang dan menculik lebih dari 160 orang anak.
Badan pengungsi PBB memperkirakan pembantaian itu menyebabkan 130.000 warga Kongo dan 10.000 warga Sudan terusir dari kampung halaman mereka. Enam tahun kemudian, pada 25 Oktober 2014, begitu cerita Onen, misi perburuan gajahnya di Garamba dijadwalkan mengirim gading kepada Kony di Sudan. Onen bercerita bahwa Kony berencana membawa gading ke Songo, kota pasar di Darfur, tak jauh dari garnisun Angkatan Bersenjata Sudan di Dafaq. Di tempat itu, menurut Onen, anak buah Kony menukar gading dengan garam, gula, dan persenjataan dengan militer Sudan. Hubungan mereka akrab: “SAF selalu memperingatkan Kony jika ada masalah,” kata Onen.
Sepengetahuan Onen, kelompok pemburu yang ditinggalkannya masih suka melakukan perjalanan ke utara dari Garamba melalui CAR menuju Sudan. Menurut saya, tampaknya cukup masuk akal untuk mengatakan bahwa pembelotan awak radio ini mungkin telah memperlambat perjalanan pengiriman 25 gading gajah kepada Kony.
Mungkin saya juga bisa mengirimkan gading palsu saya kepada Kony.
!break!“Kamu bohong!”
Seorang pejabat di Bandara Internasional Dar es Salaam, Tanzania—salah satu dari beberapa negara yang saya bidik untuk memasukkan gading palsu saya ke perdagangan ilegal—menatap layar sinar-x saat koper saya bergulir melewati alat pemindai.
“Buka koper itu,” perintahnya.
Saya membuka koper untuk memperlihatkan dua gading palsu dan menyerahkan surat dari Dinas Perikanan dan Margasatwa AS serta National Geographic yang menyatakan bahwa gading ini palsu.
Orang-orang mulai berkerumun. Petugas bandara dan pemerintahan saling menuduh dan berdebat. Orang-orang yang melihat gading itu pasti berpikir saya pedagang gading. Mereka yang dapat melihat layar sinar-x, yang menunjukkan alat pelacak di dalamnya, berpikir saya menyelundupkan bom. Setelah perdebatan sengit selama lebih dari satu jam, mereka menelepon pakar satwa liar bandara. Ketika muncul, dia meraih gading dan menyentuh bagian bawah gading tersebut. “Garis Schreger,” katanya.
“Betul,” kata saya. “Saya meminta mereka...”
Dia menunjuk saya dan berteriak, “Kamu bohong, bwana!” (Bwana adalah bahasa Swahili untuk ‘Sir’”).
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR