Pada bulan November sebelumnya, ketika Marina Elliott dan rekan-rekannya menyingkap harta karun tulang yang mengejutkan itu, mereka hampir sama kagetnya oleh hal-hal yang tidak mereka temukan. “Waktu itu hari ketiga atau keempat, dan kami masih belum menemukan fauna,” kata Elliott. Pada hari pertama ditemukan beberapa tulang burung kecil di permukaan, tetapi selain itu hanya ada tulang hominin.
Bagaimana tulang belulang itu bisa sampai di ruangan yang begitu terpencil? Jelas orang-orang itu tidak tinggal di gua itu; tidak ada alat batu atau sisa makanan yang menyiratkan permukiman seperti itu. Mungkin saja sekelompok H. naledi pernah tersesat ke dalam gua itu dan entah bagaimana terperangkap—tetapi persebaran tulangnya tampaknya menandakan bahwa semua tulang itu sampai ke situ dalam masa yang panjang, mungkin berabad-abad. Jika karnivor menyeret mangsa hominin ke dalam gua, tentu ada tanda bekas gigi pada tulang, padahal tidak ada tanda seperti itu. Dan akhirnya, jika tulang itu dihanyutkan air yang mengalir ke dalam gua, air itu tentu membawa batu dan puing lain juga ke sana. Namun, tidak ada puing—hanya sedimen halus yang terkikis cuaca dari dinding gua atau tertiup masuk melalui celah-celah kecil.
“Ketika kita sudah menyingkirkan hal yang mustahil,” Sherlock pernah mengingatkan temannya Watson, “apa pun yang tersisa, betapapun kecil kemungkinan hal itu akan terjadi, pastilah kebenaran.”
Setelah menyingkirkan semua penjelasan lain, Berger dan timnya terpaksa menerima kesimpulan yang berpeluang kecil, bahwa jasad H. naledi sengaja dimasukkan ke situ, oleh H. naledi lain. Hingga saat ini hanya Homo sapiens, dan mungkin beberapa manusia purba seperti Neanderthal, yang diketahui memperlakukan jenazah kaumnya dengan ritual seperti itu. Mungkin pada masa itu Superman’s Crawl cukup lebar dan bisa dilalui dengan berjalan kaki, dan mungkin para hominin itu langsung saja menjatuhkan jenazah ke dalam cerobong tanpa menuruninya sendiri. Seiring waktu tulang yang kian menumpuk mungkin perlahan-lahan jatuh ke ruangan tetangga.
Penempatan jenazah secara sengaja tetap berarti bangsa hominin itu mencari jalan ke puncak cerobong dalam gelap gulita dan pulang lagi, yang hampir pasti memerlukan cahaya—obor, atau api yang dinyalakan pada jarak-jarak tertentu. Membayangkan bahwa makhluk berotak kecil seperti itu menunjukkan perilaku serumit itu terasa begitu kecil kemungkinannya, sehingga banyak peneliti lain tidak mau percaya akan hal itu. Mereka berargumen, pada masa lalu pasti ada lubang masuk ke gua itu yang memberi jalan lebih langsung ke ruangan fosil—lubang yang mungkin dilewati tulang yang dihanyutkan air. “Pasti ada lubang masuk lain,” kata Richard Leakey setelah dia berkunjung ke Johannesburg untuk melihat fosil-fosil itu. “Lee belum menemukannya saja.”
Namun, air tentu menghanyutkan puing, materi tumbuhan, dan reruntuhan lain ke ruangan fosil bersama tulang, dan hal-hal itu jelas tidak ada. “Hal ini tidak melibatkan banyak subjektivitas,” kata Eric Roberts, geolog dari James Cook University di Australia, yang cukup ramping untuk menelaah sendiri ruangan itu. “Sedimen tidak berdusta.”
Penempatan jenazah memberi kesembuhan emosi bagi orang-orang yang ditinggalkan, menunjukkan rasa hormat untuk yang meninggalkan, atau membantu peralihan mereka ke kehidupan selanjutnya.
“H. naledi adalah hewan yang tampaknya memiliki kemampuan kognitif untuk menyadari perpisahannya dari alam,” katanya.
!break!Misteri tentang identitas H. naledi, dan bagaimana tulangnya sampai ke dalam gua, berjalin kelindan dengan pertanyaan soal umurnya—dan saat ini tidak ada yang tahu. Di Afrika Timur, fosil dapat ditentukan tanggalnya dengan tepat jika ditemukan di atas atau di bawah lapisan abu vulkanis, yang umurnya bisa diukur dari peluruhan unsur radioaktif dalam abu yang tepat, layaknya jam. Namun, tulang di ruangan Rising Star hanya tergeletak di dasar gua atau terkubur dalam campuran sedimen dangkal. Kapan tulang itu masuk ke gua adalah masalah yang lebih sukar lagi dipecahkan daripada bagaimana.
Sebagian besar ilmuwan lokakarya itu cemas soal penerimaan analisis mereka jika tidak disertai tanggal. (Ternyata ketiadaan tanggal turut menghambat penerbitan cepat makalah ilmiah yang memaparkan temuan itu.) Tetapi, Berger tidak risau sama sekali. Jika H. naledi kelak terbukti berumur setua yang disiratkan oleh morfologinya, ini mungkin berarti bahwa dia telah menemukan akar pohon keluarga Homo. Tetapi, jika spesies baru itu ternyata jauh lebih muda, penemuan itu sama saja pentingnya bagi usaha kita untuk mengerti soal evolusi manusia. Itu dapat berarti bahwa sementara spesies kita sendiri berevolusi, ada Homo lain yang berotak kecil dan tampak lebih primitif yang berkeliaran di benua, mungkin pada masa yang belum terlalu lama, sebatas yang berani dibayangkan orang. Seratus ribu tahun yang lalu? Lima puluh ribu? Sepuluh ribu? Ketika lokakarya menggairahkan itu berakhir dengan menyisakan pertanyaan mendasar tersebut, Berger riang seperti biasa. “Berapa pun umurnya, ini akan berdampak dahsyat,” katanya sambil mengangkat bahu.
Beberapa minggu kemudian, pada bulan Agustus tahun lalu, dia pergi ke Afrika Timur. Untuk memperingati acara ulang tahun ke-50 deskripsi Louis Leakey tentang H. habilis, Richard Leakey mengundang para pemikir terkemuka tentang evolusi manusia awal ke simposium di Turkana Basin Institute, pusat penelitian yang didirikannya di dekat pesisir barat Danau Turkana di Kenya.
Tujuan pertemuan itu adalah berupaya mencapai konsensus tentang catatan fosil yang membingungkan tentang Homo awal, tanpa meninggikan diri atau mendendam—dua penyakit yang mewabah di bidang paleoantropologi. Sebagian pengkritik terkeras Lee Berger akan hadir, termasuk beberapa yang pernah menulis ulasan pedas soal penafsirannya tentang fosil A. sediba. Bagi mereka, dia orang luar atau pembual. Sebagian mengancam tidak akan datang kalau dia hadir. Tetapi, dengan adanya temuan Rising Star, Leakey tidak mungkin tidak mengundangnya.
“Tidak ada orang di bumi ini yang menemukan fosil seperti Lee saat ini,” kata Leakey.
!break!Selama empat hari para ilmuwan berkerumun di ruang lab luas, cetakan semua bukti penting tentang Homo awal tersebar di atas meja. Bill Kimbel dari Institute of Human Origins menggambarkan rahang Homo baru dari Etiopia yang bertanggal 2,8 juta tahun yang lalu—anggota tertua genus kita sampai saat itu. Arkeolog Sonia Harmand dari Stony Brook University menyampaikan berita yang lebih mengejutkan lagi—penemuan puluhan alat batu kasar di dekat Danau Turkana yang bertanggal 3,3 juta tahun yang lalu. Jika alat batu sudah ada setengah juta tahun sebelum kemunculan pertama genus kita, sulit mempertahankan pendapat bahwa ciri penentu Homo adalah kecerdasan teknologinya.
Sementara itu, tidak seperti biasanya, Berger pendiam, sampai topiknya beralih ke perbandingan antara A. sediba dan H. habilis. Ini dia waktunya.
“Mungkin Rising Star cukup menarik untuk debat ini,” dia menawarkan. Selama dua puluh menit selanjutnya dia memaparkan semua yang terjadi—penemuan gua secara kebetulan, analisis kilat pada bulan Juni, dan intisari temuannya. Sementara dia berbicara, beberapa cetakan tengkorak Rising Star diedarkan.
Lalu, datanglah pertanyaan. Anda sudah melakukan analisis tengkorak-gigi? Sudah. Tengkorak dan gigi H. naledi menempatkannya satu kelompok dengan Homo erectus, Neanderthal, dan manusia modern. Lebih dekat dengan H. erectus daripada H. habilis? Ya. Apakah ada tanda bekas gigi pada tulang itu dari karnivor? Tidak, ini jasad paling sehat yang pernah kita lihat. Apakah sudah ada kemajuan soal penanggalan? Belum. Kelak pasti ada tanggalnya. Tak usah cemas.
Lalu, saat pertanyaan berakhir, para sesepuh yang hadir melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka, apalagi oleh Berger. Mereka bertepuk tangan.
Berger tidak mengklaim bahwa fosilnya mengembalikan gelar “Buaian Umat Manusia” dari Afrika Timur ke Selatan. Namun, fosil-fosil itu memang menyiratkan bahwa kedua wilayah tersebut, dan semua tempat di antaranya, mungkin menyimpan petunjuk tentang kisah yang lebih rumit.
!break!“Makna naledi bagi saya adalah bahwa kita mungkin mengira catatan fosil sudah cukup lengkap untuk menyusun kisah kita, tetapi ternyata tidak,” kata Fred Grine dari Stony Brook. Mungkin spesies awal Homo muncul di Afrika Selatan, lalu pindah ke Afrika Timur. “Atau mungkin sebaliknya.”
Berger sendiri berpendapat bahwa metafora yang cocok bagi evolusi manusia, alih-alih satu pohon yang bercabang dari satu akar, adalah sungai berjalin: sungai yang terbagi menjadi beberapa aliran, kemudian menyatu lagi di hilir. Demikian pula, berbagai jenis hominin yang menghuni bentang Afrika tentu di suatu titik terpecah-pecah dari satu leluhur. Tetapi, kemudian di bagian hilir sungai waktu, pecahan tersebut mungkin berbaur lagi, sehingga kita sekarang, di muara sungai itu, mewarisi sedikit Afrika Timur, sedikit Afrika Selatan, dan segudang sejarah yang tidak kita ketahui sama sekali. Karena ada satu hal yang pasti: Kalau kita bisa mengenal satu bentuk hominin yang sama sekali baru hanya karena dua penelusur gua bertubuh cukup kurus untuk muat ke dalam celah di gua Afrika Selatan yang sudah sering dijelajahi, benar-benar tak terbayangkan ada apa lagi di luar sana.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR