Pada 13 September 2013, dua penelusur gua, Steven Tucker dan Rick Hunter, memasuki sistem gua dolomit bernama Rising Star, sekitar 50 kilometer di barat laut Johannesburg. Rising Star sudah menjadi tempat populer bagi penelusur gua sejak 1960-an. Seluk-beluk jalur dan guanya terpetakan dengan baik. Tucker dan Hunter berharap menemukan jalan yang masih asing.
Di benak mereka ada misi lain. Pada paruh awal abad ke-20 wilayah ini menghasilkan begitu banyak fosil leluhur awal kita sehingga kemudian disebut Cradle of Human Kind atau Buaian Umat Manusia. Meski masa gemilang perburuan fosil telah lama berlalu, kedua penelusur gua itu tahu bahwa seorang ilmuwan di University of the Witwatersrand di Johannesburg sedang mencari tulang. Kemungkinannya sangat kecil, tapi siapa tahu.
Jauh di dalam gua, Tucker dan Hunter bersusah payah melalui lubang sempit bernama Superman’s Crawl—karena kebanyakan orang hanya bisa muat dengan merapatkan satu tangan ke tubuh dan mengulurkan satu lagi di atas kepala, seperti si manusia baja saat sedang terbang. Setelah menyeberangi ruangan besar, mereka memanjat tembok batu bergerigi. Di puncak mereka mendapati diri mereka berada di rongga kecil cantik yang berhias stalaktit. Tucker turun perlahan-lahan ke dalam celah di dasar gua. Kakinya menemukan tonjolan batu seperti jari, lalu satu lagi di bawahnya, lalu—ruang kosong.
Saat melompat turun, dia mendapati dirinya di lubang vertikal sempit, di beberapa tempat hanya selebar 20 cm. Dia berseru mengajak Hunter turut ke situ. Kedua lelaki itu berperawakan super-langsing, hanya tulang dan otot liat. Andai saja tubuh mereka agak lebih besar, tentu mereka tidak muat di cerobong itu, dan penemuan fosil manusia yang mungkin paling mencengangkan dalam setengah abad ini—dan sudah pasti paling membingungkan—tentu tidak terjadi.
!break!
Lee Berger, paleoantropolog yang meminta penelusur gua memasang mata kalau-kalau ada fosil, adalah orang Amerika bertulang besar. Pipinya mengembang saat dia tersenyum, sesuatu yang sering terjadi. Pada awal 1990-an, ketika Berger mendapat pekerjaan di University of the Witwatersrand (“Wits”) dan mulai berburu fosil, pusat perhatian evolusi manusia sudah lama bergeser ke Lembah Great Rift di Afrika Timur.
Sebagian besar peneliti memandang Afrika Selatan sebagai tambahan menarik pada kisah evolusi manusia, namun bukan cerita utamanya. Berger bertekad membuktikan bahwa mereka keliru. Namun, selama hampir 20 tahun, berbagai temuannya yang relatif remeh malah menegaskan betapa sedikitnya sumbangsih Afrika Selatan yang masih tersisa.
Yang paling ingin ia temukan adalah fosil yang dapat menyingkapkan misteri utama yang belum terpecahkan dalam evolusi manusia: asal-usul genus kita, Homo, antara dua hingga tiga juta tahun silam. Di sisi jauh kesenjangan itu ada australopithecine mirip kera, yang dilambangkan oleh Australopithecus afarensis dan perwakilannya yang paling terkenal, Lucy, kerangka tulang yang ditemukan di Etiopia pada 1974. Di sisi dekat ada Homo erectus, spesies pengguna alat, pembuat api, penjelajah dunia dengan otak besar dan proporsi tubuh mirip kita. Dalam masa sejuta tahun yang kabur itu, hewan berkaki dua berubah menjadi manusia yang baru muncul, makhluk yang bukan saja sudah beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi mampu mengerahkan pikirannya untuk menguasainya. Bagaimana terjadinya revolusi itu?
Catatan fosil bersifat ambigu, membuat frustrasi. Agak lebih tua daripada H. erectus terdapat spesies yang bernama Homo habilis, atau “handy man” atau “si tukang.” Dinamai demikian oleh Louis Leakey dan rekan-rekannya pada 1964 karena mereka meyakini spesies inilah yang membuat alat batu yang mereka temukan di Ngarai Olduvai di Tanzania. spesies itu menyumbangkan dasar yang goyah dalam pohon keluarga manusia, dan mengakarkannya di Afrika Timur. Pada masa sebelum H. habilis, kisah manusia adalah sesuatu yang gelap, hanya diwakili oleh beberapa fragmen fosil Homo yang terlalu sedikit jumlahnya untuk menjadi spesies baru.
Berger sudah lama berpendapat bahwa H. habilis terlalu primitif, tidak layak mendapat tempat istimewa di akar genus kita. Sebagian ilmuwan lain sepakat bahwa spesies itu semestinya disebut Australopithecus. Namun, Berger hampir sendirian dalam pendapatnya bahwa Afrika Selatan-lah tempat yang tepat untuk mencari Homo tertua yang sebenarnya. Dan selama bertahun-tahun semangatnya yang menggebu-gebu dalam mempromosikan temuannya yang relatif minor malah cenderung menjauhkan sebagian rekan profesionalnya. Berger tidak punya tulangnya.
!break!Lalu, pada 2008, dia menemukan sesuatu yang amat penting. Saat mencari di tempat yang kemudian disebut Malapa, sekitar 16 kilometer dari Rising Star, dia dan anaknya yang berumur 14 tahun, Matthew, menemukan beberapa fosil hominin mencuat dari bongkah dolomit.
Selama tahun berikutnya tim Berger dengan susah payah mengerik batu itu untuk mengeluarkan dua kerangka yang hampir lengkap. Bertanggal sekitar dua juta tahun yang lalu, kedua kerangka itu adalah temuan besar pertama dari Afrika Selatan yang diterbitkan setelah puluhan tahun. Dalam banyak segi, kedua kerangka itu sangat primitif, tetapi anehnya, ada juga beberapa ciri modern.
Berger memutuskan bahwa kerangka itu adalah spesies baru australopithecine, yang dinamainya Australopithecus sediba. Tetapi, dia juga mengklaim bahwa kerangka itu “batu Rosetta” untuk asal-usul Homo. Meskipun para sesepuh paleoantropologi mengakui bahwa temuan itu “mencengangkan”, sebagian besar menepiskan penafsirannya tentang temuan itu. A. sediba terlalu muda, terlalu aneh, dan tak berada di tempat yang tepat untuk menjadi leluhur Homo. Setelah itu, makalah tentang Homo awal yang diterbitkan peneliti terkemuka bahkan tak menyebut Berger atau temuannya.
Lalu pada suatu malam, Pedro Boshoff, penelusur gua dan geolog yang dibayar Berger untuk mencari fosil, mengetuk pintu. Dia ditemani Steven Tucker. Sekali melihat foto-foto yang mereka tunjukkan dari Rising Star, Berger menyadari bahwa Malapa harus disisihkan terlebih dahulu.
!break!
Setelah menggeliat-geliut sejauh 12 meter menuruni cerobong sempit di gua Rising Star, Tucker dan Rick Hunter melompat turun ke ruangan lain. Sebuah lorong mengantar mereka ke rongga yang lebih besar lagi, sepanjang sekitar sembilan meter dan selebar satu meter.
Dinding dan langit-langitnya membentuk pemandangan rumit dari bonggol kalsit dan jemari batu alir yang mencuat. Tetapi, benda yang berada di dasar rongga itulah yang menyedot perhatian mereka berdua. Tulang terserak di mana-mana. Mula-mula mereka mengira itu tulang modern. Tulang itu tidak seberat batu, seperti kebanyakan fosil. Tidak pula terbungkus batu—tergeletak begitu saja di permukaan, seolah-olah dilempar orang ke situ. Mereka melihat ada satu rahang bawah, giginya utuh; bentuknya seperti tulang manusia.
Berger dapat melihat dari foto bahwa tulang belulang itu bukan milik manusia modern. Beberapa ciri, terutama pada tulang rahang dan gigi, terlalu primitif. Foto itu menunjukkan tulang-tulang lain yang menanti ditemukan; Berger dapat melihat tepi tempurung kepala yang terkubur sebagian. Tampaknya besar kemungkinan tulang belulang itu membentuk kerangka yang hampir lengkap. Dia terpana. Dalam catatan fosil hominin awal, jumlah kerangka yang hampir lengkap, termasuk dua miliknya dari Malapa, dapat dihitung dengan jari pada satu tangan. Dan sekarang ada ini. Tetapi, ini apa? Berapa usianya? Dan bagaimana bisa sampai masuk ke gua itu?
Berger memasang pengumuman di Facebook: Dicari orang kurus, memiliki pengalaman ilmiah dan menelusur gua; harus “bersedia bekerja di tempat sempit.” Dalam satu setengah minggu dia sudah dihubungi oleh hampir 60 pelamar. Dia memilih enam orang yang paling memenuhi syarat; semuanya perempuan muda. Berger menyebut mereka “astronaut bawah tanah.”
Dengan pendanaan dari National Geographic (Berger juga merupakan National Geographic explorer-in-residence), dia mengumpulkan sekitar 60 ilmuwan dan mendirikan pusat komando di permukaan. Penelusur gua setempat membantu membawa tiga kilometer kabel komunikasi dan listrik turun ke ruang fosil. Apa pun yang terjadi di situ kini dapat dilihat dengan kamera di pusat komando. Marina Elliott, yang waktu itu mahasiswa pascasarjana, adalah ilmuwan pertama yang menuruni cerobong.
!break!“Saat melihat ke dalamnya, saya tidak yakin akan selamat,” Elliott mengenang. “Rasanya seperti melihat ke dalam mulut hiu. Ada jari dan lidah dan gigi batu.”
Elliott dan dua rekannya, Becca Peixotto dan Hannah Morris, beringsut-ingsut ke “zona pendaratan” di dasar, lalu merunduk masuk ke ruangan fosil. Bekerja bergantian tiap dua jam dengan satu tim lain yang juga beranggota tiga perempuan, mereka memetakan dan mengantongi lebih dari 400 fosil di permukaan, lalu mulai dengan hati-hati menyingkirkan tanah di sekitar tengkorak yang setengah terkubur. Di bawah dan sekitarnya ada tulang-tulang lain, padat berjejal.
Selama beberapa hari berikutnya, sementara keenam perempuan itu memeriksa petak satu meter persegi di sekitar tengkorak, para ilmuwan lain mengerumuni siaran video di permukaan dalam suasana yang hampir selalu penuh gairah. Berger, kadang-kadang pindah ke tenda sains untuk mempelajari tulang yang menumpuk—sampai seruan kaget serentak dari pusat komando mendorongnya bergegas kembali untuk menyaksikan temuan lain.
Tulang-tulang itu terawetkan dengan baik, dan menilik dari adanya beberapa bagian tubuh yang sama, segera jelaslah bahwa di gua itu tidak hanya ada satu kerangka, tetapi dua, lalu tiga, lalu lima… lalu begitu banyak sehingga sulit dihitung dengan jelas. Para penggali telah mengangkat sekitar 1.200 tulang, lebih banyak jumlahnya dari yang ada pada situs leluhur manusia mana pun di Afrika. Padahal belum semuanya terangkat dari satu meter persegi di sekitar tengkorak itu saja. Setelah penggalian dilanjutkan beberapa hari lagi pada Maret 2014, barulah sedimen tersebut kehabisan tulang, pada kedalaman 15 sentimeter.
Seluruhnya terdapat sekitar 1.550 spesimen, mewakili sekurangnya 15 individu. Tengkorak. Rahang. Iga. Puluhan gigi. Kaki yang hampir lengkap. Sebuah tangan, hampir semua tulangnya utuh, tersusun seperti saat masih hidup. Tulang mungil dari telinga dalam. Dewasa tua. Remaja. Anak kecil, dikenali dari vertebra yang amat mungil. Beberapa bagian kerangka itu anehnya tampak modern. Namun, beberapa bagian lainnya anehnya tampak primitif—pada beberapa bagian, bahkan lebih mirip kera daripada australopithecine.
“Kami menemukan makhluk yang luar biasa,” kata Berger. Seringainya hampir saja sampai ke telinga.
!break!
Dalam paleoantropologi, spesimen yang baru ditemukan biasanya dirahasiakan sampai dapat dianalisis dengan saksama dan hasilnya dipublikasikan. Berger ingin pekerjaan itu beres dan dipublikasikan sebelum akhir tahun itu. Menurut pandangannya, semua orang di bidang paleoantropologi semestinya dapat secepatnya mengakses informasi baru yang penting.
Hanya ada satu cara agar analisis itu cepat selesai: Izinkan sebanyak-banyaknya mata melihat tulang itu. Bersama dua puluhan ilmuwan senior yang membantunya mengevaluasi kerangka Malapa, Berger mengundang lebih dari 30 ilmuwan muda, beberpa bahkan belum kering tinta ijazah doktoralnya, ke Johannesburg dari sekitar 15 negara, untuk pesta fosil kilat yang berlangsung selama enam pekan. Bagi sebagian ilmuwan tua yang tidak terlibat, menempatkan anak muda di garis depan hanya untuk mempercepat penerbitan makalah terkesan sembrono. Namun, bagi anak-anak muda tersebut, ini “impian paleontologi yang terwujud,” kata Lucas Delezene, yang baru diangkat sebagai profesor di University of Arkansas. “Di sekolah pascasarjana, kita berkhayal tentang setumpuk fosil yang belum pernah dilihat orang, dan kita berkesempatan menguak misterinya.”
Lokakarya itu diadakan di ruangan tak berjendela yang dindingnya dipenuhi rak berpanel kaca yang berisi fosil dan cetakan. Tim analisis dibagi-bagi berdasarkan bagian tubuh. Para spesialis tempurung kepala berkerumun di satu sudut, mengelilingi meja persegi besar yang penuh tengkorak dan fragmen rahang dan cetakan tengkorak fosil lain yang terkenal. Meja-meja kecil dikhususkan bagi tangan, kaki, tulang panjang, dan seterusnya. Udaranya sejuk, suasananya hening. Para ilmuwan muda berkutat dengan tulang dan kaliper. Berger dan para penasihat dekatnya berkeliling di antara mereka, berdiskusi dengan suara lirih.
Tumpukan fosil Delezene sendiri berisi 190 gigi—bagian penting dalam analisis apa pun, karena gigi saja biasanya sudah cukup untuk mengidentifikasi spesies baru. Namun, gigi-geligi ini tidak seperti apa pun yang pernah dilihat oleh para ilmuwan di “stan gigi”. Beberapa cirinya mirip manusia secara mencengangkan—mahkota gerahamnya kecil, misalnya, dengan lima tonjolan seperti geraham kita. Tetapi, akar geraham depannya primitif. “Kami bingung menafsirkannya,” kata Delezene. “Ini gila.”
Pola percampuran modern dan primitif serupa bermunculan di meja-meja lain. Tangan yang sepenuhnya modern memiliki jari yang melengkung secara ajaib, cocok untuk makhluk pemanjat pohon. Bahunya juga mirip kera, dan tulang panggul yang melebar pun sama primitifnya dengan tulang panggul Lucy—tetapi bagian bawah panggul itu mirip dengan panggul manusia modern. Pangkal tulang kaki berbentuk seperti tulang australopithecine, tetapi makin ke ujung makin modern. Kakinya hampir tak bisa dibedakan dengan kaki kita.
!break!“Seolah-olah ada garis batas di pinggul—di atas primitif, di bawah modern,” kata Steve Churchill, seorang paleontolog dari Duke University. “Andai kaki ini ditemukan secara sendirian, kita tentu mengira ini milik orang Bushman yang meninggal.”
Lalu, ada kepalanya. Telah ditemukan empat tengkorak yang tidak utuh—dua kemungkinan lelaki, dua perempuan. Dari segi morfologi umum, keempatnya jelas tampak cukup maju untuk disebut Homo. Tetapi, rongga tempat otaknya, kecil—hanya 560 sentimeter kubik untuk lelaki dan 465 untuk perempuan, jauh lebih kecil daripada rata-rata H. erectus yang sebesar 900 sentimeter kubik, dan jauh di bawah setengah ukuran rongga untuk otak kita. Otak yang besar adalah syarat mutlak kemanusiaan, ciri spesies yang telah berevolusi untuk hidup dengan mengandalkan akal. Mereka bukanlah manusia.
“Benar-benar aneh,” kata ahli paleoantropologi Fred Grine dari State University of New York at Stony Brook. “Otak kecil mungil di dalam tubuh yang tidak mungil.” Lelaki dewasanya setinggi sekitar 1,5 meter dan seberat 45 kilogram, perempuannya lebih pendek dan lebih ringan. “Pesan yang kami tangkap adalah bahwa ini hewan yang berada tepat di ambang perubahan dari Australopithecus ke Homo,” kata Berger
Dalam beberapa segi, hominin baru dari Rising Star ini lebih dekat dengan manusia modern dibandingkan dengan Homo erectus. Bagi Berger dan timnya, spesimen ini jelas termasuk genus Homo, tetapi tidak mirip dengan anggota lain genus itu. Mereka tidak punya pilihan selain menamai spesies baru. Mereka menyebutnya Homo naledi, menghormati gua tempat tulang-tulang itu ditemukan: Dalam bahasa Sotho setempat, naledi berarti “bintang.”
!break!
Pada bulan November sebelumnya, ketika Marina Elliott dan rekan-rekannya menyingkap harta karun tulang yang mengejutkan itu, mereka hampir sama kagetnya oleh hal-hal yang tidak mereka temukan. “Waktu itu hari ketiga atau keempat, dan kami masih belum menemukan fauna,” kata Elliott. Pada hari pertama ditemukan beberapa tulang burung kecil di permukaan, tetapi selain itu hanya ada tulang hominin.
Bagaimana tulang belulang itu bisa sampai di ruangan yang begitu terpencil? Jelas orang-orang itu tidak tinggal di gua itu; tidak ada alat batu atau sisa makanan yang menyiratkan permukiman seperti itu. Mungkin saja sekelompok H. naledi pernah tersesat ke dalam gua itu dan entah bagaimana terperangkap—tetapi persebaran tulangnya tampaknya menandakan bahwa semua tulang itu sampai ke situ dalam masa yang panjang, mungkin berabad-abad. Jika karnivor menyeret mangsa hominin ke dalam gua, tentu ada tanda bekas gigi pada tulang, padahal tidak ada tanda seperti itu. Dan akhirnya, jika tulang itu dihanyutkan air yang mengalir ke dalam gua, air itu tentu membawa batu dan puing lain juga ke sana. Namun, tidak ada puing—hanya sedimen halus yang terkikis cuaca dari dinding gua atau tertiup masuk melalui celah-celah kecil.
“Ketika kita sudah menyingkirkan hal yang mustahil,” Sherlock pernah mengingatkan temannya Watson, “apa pun yang tersisa, betapapun kecil kemungkinan hal itu akan terjadi, pastilah kebenaran.”
Setelah menyingkirkan semua penjelasan lain, Berger dan timnya terpaksa menerima kesimpulan yang berpeluang kecil, bahwa jasad H. naledi sengaja dimasukkan ke situ, oleh H. naledi lain. Hingga saat ini hanya Homo sapiens, dan mungkin beberapa manusia purba seperti Neanderthal, yang diketahui memperlakukan jenazah kaumnya dengan ritual seperti itu. Mungkin pada masa itu Superman’s Crawl cukup lebar dan bisa dilalui dengan berjalan kaki, dan mungkin para hominin itu langsung saja menjatuhkan jenazah ke dalam cerobong tanpa menuruninya sendiri. Seiring waktu tulang yang kian menumpuk mungkin perlahan-lahan jatuh ke ruangan tetangga.
Penempatan jenazah secara sengaja tetap berarti bangsa hominin itu mencari jalan ke puncak cerobong dalam gelap gulita dan pulang lagi, yang hampir pasti memerlukan cahaya—obor, atau api yang dinyalakan pada jarak-jarak tertentu. Membayangkan bahwa makhluk berotak kecil seperti itu menunjukkan perilaku serumit itu terasa begitu kecil kemungkinannya, sehingga banyak peneliti lain tidak mau percaya akan hal itu. Mereka berargumen, pada masa lalu pasti ada lubang masuk ke gua itu yang memberi jalan lebih langsung ke ruangan fosil—lubang yang mungkin dilewati tulang yang dihanyutkan air. “Pasti ada lubang masuk lain,” kata Richard Leakey setelah dia berkunjung ke Johannesburg untuk melihat fosil-fosil itu. “Lee belum menemukannya saja.”
Namun, air tentu menghanyutkan puing, materi tumbuhan, dan reruntuhan lain ke ruangan fosil bersama tulang, dan hal-hal itu jelas tidak ada. “Hal ini tidak melibatkan banyak subjektivitas,” kata Eric Roberts, geolog dari James Cook University di Australia, yang cukup ramping untuk menelaah sendiri ruangan itu. “Sedimen tidak berdusta.”
Penempatan jenazah memberi kesembuhan emosi bagi orang-orang yang ditinggalkan, menunjukkan rasa hormat untuk yang meninggalkan, atau membantu peralihan mereka ke kehidupan selanjutnya.
“H. naledi adalah hewan yang tampaknya memiliki kemampuan kognitif untuk menyadari perpisahannya dari alam,” katanya.
!break!Misteri tentang identitas H. naledi, dan bagaimana tulangnya sampai ke dalam gua, berjalin kelindan dengan pertanyaan soal umurnya—dan saat ini tidak ada yang tahu. Di Afrika Timur, fosil dapat ditentukan tanggalnya dengan tepat jika ditemukan di atas atau di bawah lapisan abu vulkanis, yang umurnya bisa diukur dari peluruhan unsur radioaktif dalam abu yang tepat, layaknya jam. Namun, tulang di ruangan Rising Star hanya tergeletak di dasar gua atau terkubur dalam campuran sedimen dangkal. Kapan tulang itu masuk ke gua adalah masalah yang lebih sukar lagi dipecahkan daripada bagaimana.
Sebagian besar ilmuwan lokakarya itu cemas soal penerimaan analisis mereka jika tidak disertai tanggal. (Ternyata ketiadaan tanggal turut menghambat penerbitan cepat makalah ilmiah yang memaparkan temuan itu.) Tetapi, Berger tidak risau sama sekali. Jika H. naledi kelak terbukti berumur setua yang disiratkan oleh morfologinya, ini mungkin berarti bahwa dia telah menemukan akar pohon keluarga Homo. Tetapi, jika spesies baru itu ternyata jauh lebih muda, penemuan itu sama saja pentingnya bagi usaha kita untuk mengerti soal evolusi manusia. Itu dapat berarti bahwa sementara spesies kita sendiri berevolusi, ada Homo lain yang berotak kecil dan tampak lebih primitif yang berkeliaran di benua, mungkin pada masa yang belum terlalu lama, sebatas yang berani dibayangkan orang. Seratus ribu tahun yang lalu? Lima puluh ribu? Sepuluh ribu? Ketika lokakarya menggairahkan itu berakhir dengan menyisakan pertanyaan mendasar tersebut, Berger riang seperti biasa. “Berapa pun umurnya, ini akan berdampak dahsyat,” katanya sambil mengangkat bahu.
Beberapa minggu kemudian, pada bulan Agustus tahun lalu, dia pergi ke Afrika Timur. Untuk memperingati acara ulang tahun ke-50 deskripsi Louis Leakey tentang H. habilis, Richard Leakey mengundang para pemikir terkemuka tentang evolusi manusia awal ke simposium di Turkana Basin Institute, pusat penelitian yang didirikannya di dekat pesisir barat Danau Turkana di Kenya.
Tujuan pertemuan itu adalah berupaya mencapai konsensus tentang catatan fosil yang membingungkan tentang Homo awal, tanpa meninggikan diri atau mendendam—dua penyakit yang mewabah di bidang paleoantropologi. Sebagian pengkritik terkeras Lee Berger akan hadir, termasuk beberapa yang pernah menulis ulasan pedas soal penafsirannya tentang fosil A. sediba. Bagi mereka, dia orang luar atau pembual. Sebagian mengancam tidak akan datang kalau dia hadir. Tetapi, dengan adanya temuan Rising Star, Leakey tidak mungkin tidak mengundangnya.
“Tidak ada orang di bumi ini yang menemukan fosil seperti Lee saat ini,” kata Leakey.
!break!Selama empat hari para ilmuwan berkerumun di ruang lab luas, cetakan semua bukti penting tentang Homo awal tersebar di atas meja. Bill Kimbel dari Institute of Human Origins menggambarkan rahang Homo baru dari Etiopia yang bertanggal 2,8 juta tahun yang lalu—anggota tertua genus kita sampai saat itu. Arkeolog Sonia Harmand dari Stony Brook University menyampaikan berita yang lebih mengejutkan lagi—penemuan puluhan alat batu kasar di dekat Danau Turkana yang bertanggal 3,3 juta tahun yang lalu. Jika alat batu sudah ada setengah juta tahun sebelum kemunculan pertama genus kita, sulit mempertahankan pendapat bahwa ciri penentu Homo adalah kecerdasan teknologinya.
Sementara itu, tidak seperti biasanya, Berger pendiam, sampai topiknya beralih ke perbandingan antara A. sediba dan H. habilis. Ini dia waktunya.
“Mungkin Rising Star cukup menarik untuk debat ini,” dia menawarkan. Selama dua puluh menit selanjutnya dia memaparkan semua yang terjadi—penemuan gua secara kebetulan, analisis kilat pada bulan Juni, dan intisari temuannya. Sementara dia berbicara, beberapa cetakan tengkorak Rising Star diedarkan.
Lalu, datanglah pertanyaan. Anda sudah melakukan analisis tengkorak-gigi? Sudah. Tengkorak dan gigi H. naledi menempatkannya satu kelompok dengan Homo erectus, Neanderthal, dan manusia modern. Lebih dekat dengan H. erectus daripada H. habilis? Ya. Apakah ada tanda bekas gigi pada tulang itu dari karnivor? Tidak, ini jasad paling sehat yang pernah kita lihat. Apakah sudah ada kemajuan soal penanggalan? Belum. Kelak pasti ada tanggalnya. Tak usah cemas.
Lalu, saat pertanyaan berakhir, para sesepuh yang hadir melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka, apalagi oleh Berger. Mereka bertepuk tangan.
Berger tidak mengklaim bahwa fosilnya mengembalikan gelar “Buaian Umat Manusia” dari Afrika Timur ke Selatan. Namun, fosil-fosil itu memang menyiratkan bahwa kedua wilayah tersebut, dan semua tempat di antaranya, mungkin menyimpan petunjuk tentang kisah yang lebih rumit.
!break!“Makna naledi bagi saya adalah bahwa kita mungkin mengira catatan fosil sudah cukup lengkap untuk menyusun kisah kita, tetapi ternyata tidak,” kata Fred Grine dari Stony Brook. Mungkin spesies awal Homo muncul di Afrika Selatan, lalu pindah ke Afrika Timur. “Atau mungkin sebaliknya.”
Berger sendiri berpendapat bahwa metafora yang cocok bagi evolusi manusia, alih-alih satu pohon yang bercabang dari satu akar, adalah sungai berjalin: sungai yang terbagi menjadi beberapa aliran, kemudian menyatu lagi di hilir. Demikian pula, berbagai jenis hominin yang menghuni bentang Afrika tentu di suatu titik terpecah-pecah dari satu leluhur. Tetapi, kemudian di bagian hilir sungai waktu, pecahan tersebut mungkin berbaur lagi, sehingga kita sekarang, di muara sungai itu, mewarisi sedikit Afrika Timur, sedikit Afrika Selatan, dan segudang sejarah yang tidak kita ketahui sama sekali. Karena ada satu hal yang pasti: Kalau kita bisa mengenal satu bentuk hominin yang sama sekali baru hanya karena dua penelusur gua bertubuh cukup kurus untuk muat ke dalam celah di gua Afrika Selatan yang sudah sering dijelajahi, benar-benar tak terbayangkan ada apa lagi di luar sana.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR