Dalam paleoantropologi, spesimen yang baru ditemukan biasanya dirahasiakan sampai dapat dianalisis dengan saksama dan hasilnya dipublikasikan. Berger ingin pekerjaan itu beres dan dipublikasikan sebelum akhir tahun itu. Menurut pandangannya, semua orang di bidang paleoantropologi semestinya dapat secepatnya mengakses informasi baru yang penting.
Hanya ada satu cara agar analisis itu cepat selesai: Izinkan sebanyak-banyaknya mata melihat tulang itu. Bersama dua puluhan ilmuwan senior yang membantunya mengevaluasi kerangka Malapa, Berger mengundang lebih dari 30 ilmuwan muda, beberpa bahkan belum kering tinta ijazah doktoralnya, ke Johannesburg dari sekitar 15 negara, untuk pesta fosil kilat yang berlangsung selama enam pekan. Bagi sebagian ilmuwan tua yang tidak terlibat, menempatkan anak muda di garis depan hanya untuk mempercepat penerbitan makalah terkesan sembrono. Namun, bagi anak-anak muda tersebut, ini “impian paleontologi yang terwujud,” kata Lucas Delezene, yang baru diangkat sebagai profesor di University of Arkansas. “Di sekolah pascasarjana, kita berkhayal tentang setumpuk fosil yang belum pernah dilihat orang, dan kita berkesempatan menguak misterinya.”
Lokakarya itu diadakan di ruangan tak berjendela yang dindingnya dipenuhi rak berpanel kaca yang berisi fosil dan cetakan. Tim analisis dibagi-bagi berdasarkan bagian tubuh. Para spesialis tempurung kepala berkerumun di satu sudut, mengelilingi meja persegi besar yang penuh tengkorak dan fragmen rahang dan cetakan tengkorak fosil lain yang terkenal. Meja-meja kecil dikhususkan bagi tangan, kaki, tulang panjang, dan seterusnya. Udaranya sejuk, suasananya hening. Para ilmuwan muda berkutat dengan tulang dan kaliper. Berger dan para penasihat dekatnya berkeliling di antara mereka, berdiskusi dengan suara lirih.
Tumpukan fosil Delezene sendiri berisi 190 gigi—bagian penting dalam analisis apa pun, karena gigi saja biasanya sudah cukup untuk mengidentifikasi spesies baru. Namun, gigi-geligi ini tidak seperti apa pun yang pernah dilihat oleh para ilmuwan di “stan gigi”. Beberapa cirinya mirip manusia secara mencengangkan—mahkota gerahamnya kecil, misalnya, dengan lima tonjolan seperti geraham kita. Tetapi, akar geraham depannya primitif. “Kami bingung menafsirkannya,” kata Delezene. “Ini gila.”
Pola percampuran modern dan primitif serupa bermunculan di meja-meja lain. Tangan yang sepenuhnya modern memiliki jari yang melengkung secara ajaib, cocok untuk makhluk pemanjat pohon. Bahunya juga mirip kera, dan tulang panggul yang melebar pun sama primitifnya dengan tulang panggul Lucy—tetapi bagian bawah panggul itu mirip dengan panggul manusia modern. Pangkal tulang kaki berbentuk seperti tulang australopithecine, tetapi makin ke ujung makin modern. Kakinya hampir tak bisa dibedakan dengan kaki kita.
“Seolah-olah ada garis batas di pinggul—di atas primitif, di bawah modern,” kata Steve Churchill, seorang paleontolog dari Duke University. “Andai kaki ini ditemukan secara sendirian, kita tentu mengira ini milik orang Bushman yang meninggal.”
Lalu, ada kepalanya. Telah ditemukan empat tengkorak yang tidak utuh—dua kemungkinan lelaki, dua perempuan. Dari segi morfologi umum, keempatnya jelas tampak cukup maju untuk disebut Homo. Tetapi, rongga tempat otaknya, kecil—hanya 560 sentimeter kubik untuk lelaki dan 465 untuk perempuan, jauh lebih kecil daripada rata-rata H. erectus yang sebesar 900 sentimeter kubik, dan jauh di bawah setengah ukuran rongga untuk otak kita. Otak yang besar adalah syarat mutlak kemanusiaan, ciri spesies yang telah berevolusi untuk hidup dengan mengandalkan akal. Mereka bukanlah manusia.
“Benar-benar aneh,” kata ahli paleoantropologi Fred Grine dari State University of New York at Stony Brook. “Otak kecil mungil di dalam tubuh yang tidak mungil.” Lelaki dewasanya setinggi sekitar 1,5 meter dan seberat 45 kilogram, perempuannya lebih pendek dan lebih ringan. “Pesan yang kami tangkap adalah bahwa ini hewan yang berada tepat di ambang perubahan dari Australopithecus ke Homo,” kata Berger
Dalam beberapa segi, hominin baru dari Rising Star ini lebih dekat dengan manusia modern dibandingkan dengan Homo erectus. Bagi Berger dan timnya, spesimen ini jelas termasuk genus Homo, tetapi tidak mirip dengan anggota lain genus itu. Mereka tidak punya pilihan selain menamai spesies baru. Mereka menyebutnya Homo naledi, menghormati gua tempat tulang-tulang itu ditemukan: Dalam bahasa Sotho setempat, naledi berarti “bintang.”
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR