Lee Berger, paleoantropolog yang meminta penelusur gua memasang mata kalau-kalau ada fosil, adalah orang Amerika bertulang besar. Pipinya mengembang saat dia tersenyum, sesuatu yang sering terjadi. Pada awal 1990-an, ketika Berger mendapat pekerjaan di University of the Witwatersrand (“Wits”) dan mulai berburu fosil, pusat perhatian evolusi manusia sudah lama bergeser ke Lembah Great Rift di Afrika Timur.
Sebagian besar peneliti memandang Afrika Selatan sebagai tambahan menarik pada kisah evolusi manusia, namun bukan cerita utamanya. Berger bertekad membuktikan bahwa mereka keliru. Namun, selama hampir 20 tahun, berbagai temuannya yang relatif remeh malah menegaskan betapa sedikitnya sumbangsih Afrika Selatan yang masih tersisa.
Yang paling ingin ia temukan adalah fosil yang dapat menyingkapkan misteri utama yang belum terpecahkan dalam evolusi manusia: asal-usul genus kita, Homo, antara dua hingga tiga juta tahun silam. Di sisi jauh kesenjangan itu ada australopithecine mirip kera, yang dilambangkan oleh Australopithecus afarensis dan perwakilannya yang paling terkenal, Lucy, kerangka tulang yang ditemukan di Etiopia pada 1974. Di sisi dekat ada Homo erectus, spesies pengguna alat, pembuat api, penjelajah dunia dengan otak besar dan proporsi tubuh mirip kita. Dalam masa sejuta tahun yang kabur itu, hewan berkaki dua berubah menjadi manusia yang baru muncul, makhluk yang bukan saja sudah beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi mampu mengerahkan pikirannya untuk menguasainya. Bagaimana terjadinya revolusi itu?
Catatan fosil bersifat ambigu, membuat frustrasi. Agak lebih tua daripada H. erectus terdapat spesies yang bernama Homo habilis, atau “handy man” atau “si tukang.” Dinamai demikian oleh Louis Leakey dan rekan-rekannya pada 1964 karena mereka meyakini spesies inilah yang membuat alat batu yang mereka temukan di Ngarai Olduvai di Tanzania. spesies itu menyumbangkan dasar yang goyah dalam pohon keluarga manusia, dan mengakarkannya di Afrika Timur. Pada masa sebelum H. habilis, kisah manusia adalah sesuatu yang gelap, hanya diwakili oleh beberapa fragmen fosil Homo yang terlalu sedikit jumlahnya untuk menjadi spesies baru.
Berger sudah lama berpendapat bahwa H. habilis terlalu primitif, tidak layak mendapat tempat istimewa di akar genus kita. Sebagian ilmuwan lain sepakat bahwa spesies itu semestinya disebut Australopithecus. Namun, Berger hampir sendirian dalam pendapatnya bahwa Afrika Selatan-lah tempat yang tepat untuk mencari Homo tertua yang sebenarnya. Dan selama bertahun-tahun semangatnya yang menggebu-gebu dalam mempromosikan temuannya yang relatif minor malah cenderung menjauhkan sebagian rekan profesionalnya. Berger tidak punya tulangnya.
!break!Lalu, pada 2008, dia menemukan sesuatu yang amat penting. Saat mencari di tempat yang kemudian disebut Malapa, sekitar 16 kilometer dari Rising Star, dia dan anaknya yang berumur 14 tahun, Matthew, menemukan beberapa fosil hominin mencuat dari bongkah dolomit.
Selama tahun berikutnya tim Berger dengan susah payah mengerik batu itu untuk mengeluarkan dua kerangka yang hampir lengkap. Bertanggal sekitar dua juta tahun yang lalu, kedua kerangka itu adalah temuan besar pertama dari Afrika Selatan yang diterbitkan setelah puluhan tahun. Dalam banyak segi, kedua kerangka itu sangat primitif, tetapi anehnya, ada juga beberapa ciri modern.
Berger memutuskan bahwa kerangka itu adalah spesies baru australopithecine, yang dinamainya Australopithecus sediba. Tetapi, dia juga mengklaim bahwa kerangka itu “batu Rosetta” untuk asal-usul Homo. Meskipun para sesepuh paleoantropologi mengakui bahwa temuan itu “mencengangkan”, sebagian besar menepiskan penafsirannya tentang temuan itu. A. sediba terlalu muda, terlalu aneh, dan tak berada di tempat yang tepat untuk menjadi leluhur Homo. Setelah itu, makalah tentang Homo awal yang diterbitkan peneliti terkemuka bahkan tak menyebut Berger atau temuannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR