Mereka yang pernah melakukan perjalanan melintasi sungai mengetahui hal ini, mengetahui risikonya. Eksploitasi hutan di lembah sungai yang berlangsung untuk kepentingan lokal dan asing, telah berperan cukup besar atas erosi yang terjadi. Realitas ini—kegagalan pemerintah mengeruk sungai, awak kapal menyuap otoritas pelabuhan—menyebabkan setiap penumpang kapal menghadapi risiko besar ketika melakukan perjalanan melintasi sungai. “Setiap tahun, rata-rata lima kapal tenggelam akibat kelebihan beban,” kata Mayele. Dua bulan sebelum kami naik kapal Joseph, sebuah kapal serupa terbalik tidak jauh dari Kinshasa. Menurut Mayele, “Kaptennya mabuk dan kapal menghantam batu. Di kapal besar seperti itu, tidak ada cara untuk mengetahui berapa banyak penumpang tenggelam, karena tidak ada catatannya.”
Dia menambahkan, “Angka yang dikeluarkan pemerintah menyatakan korban meninggal mencapai 30 atau 40 orang.” Tawa skeptisnya menunjukkan sejatinya korban jauh melebihi angka resmi itu.
namun, kerawanan lalu lintas sungai hanyalah petunjuk kecil tentang bagaimana pemerintah RDK benar-benar mengabaikan potensi Sungai Kongo. Untuk menemukan bukti yang paling jelas tentang pengabaian itu, kita hanya perlu melakukan perjalanan lebih jauh ke lembah sungai, sebagaimana yang saya dan Pascal lakukan sekian bulan kemudian, di atas kapal yang jauh lebih kecil daripada sebuah desa terapung. Kami harus siap melupakan jadwal dan rencana perjalanan yang dibuat dengan cermat, melakukan perjalanan dengan gagah berani mengikuti arus sampai akhirnya informasi yang diperoleh dari obrolan sehari-hari dengan penghuni sungai lainnya memaksa kami berbalik arah. Cermati garis pantai untuk mencari tanda-tanda kehidupan di semak. Mendarat. Dan melanjutkan perjalanan dengan hanya mengandalkan keyakinan.
Kami menemukan desa Yailombo, komunitas yang terdiri atas 200 keluarga nelayan, setelah menyewa sampan bermotor tempel di Kisangani, menyusuri sungai selama tiga jam ke arah hilir menuju Isangi, lalu berbelok ke selatan di Sungai Lomami, anak sungai utama Sungai Kongo yang kami jelajahi selama sehari penuh. Sekarang bulan November dan, pada penghujung pagi, sinar matahari sedemikian terik sehingga para wanita yang kami lihat mengangkut pisang dan singkong di atas sampannya menggunakan payung untuk melindungi bayi yang digendongnya.
!break!Setelah mendarat, saya mengikuti suara nyanyian anak-anak sekolah. Mereka tampak sedang duduk di kursi plastik, berjejalan di dalam sesuatu yang tampak seperti kandang bambu besar yang bobrok. Gurunya bernama Cesar, 23 tahun, berkumis tipis dan tersenyum malu-malu. Saya bisa menilai dari lengannya yang berotot bahwa dia pun bekerja di sungai.
“Begini,” ujarnya menjelaskan, “Saya memancing dari pukul enam sore sampai enam pagi. Lalu, saya mengajar dari pukul tujuh sampai tengah hari. Mengajar saja tidak cukup untuk memberi makan keluarga saya.” Ikan yang ditangkapnya, diawetkan dengan cara diasap, kemudian istrinya mengangkut ikan kering itu lewat sungai ke Kisangani—lima atau enam hari sekali jalan. Kisangani, demikian ujar Cesar, merupakan tempat paling jauh yang pernah disinggahinya.
Untuk mengajar 53 murid kelas ketiga Yailombo, ujarnya, penduduk desa membayarnya sekitar Rp250.000 per bulan. Satu-satunya yang dimiliki desa itu hanya bangunan sekolah bambu, karena mereka membutuhkan waktu lebih dari satu hari naik sampan untuk mencapai sekolah negeri terdekat.
“Apakah petugas pemerintah Kongo pernah mengunjungi Yailombo?” tanya saya.
Cesar mengangguk. “Pada musim pemilu, ketika mereka mengampanyekan propagandanya,” katanya. “Mereka datang dan mengumbar janji untuk membangun klinik atau sekolah. Semua janji itu tidak pernah dipenuhi.”
Seperti setiap desa lain yang kami kunjungi, di Yailombo tidak ada klinik, jalan beraspal, mobil, air bersih, listrik, telepon, internet, polisi, koran. Yang ada hanyalah sungai dan semak. Namun, lokasinya yang terpencil telah melindungi dusun tersebut dari pembantaian yang dilakukan milisi di RDK timur.
Beberapa hari sebelum tiba di Yailombo, di pinggiran Kisangani, kami menemui sejumlah nelayan Wagenia, yang terkenal karena cara memancing ikannya yang berani dengan bergantung pada perancah bambu tepat di atas buih Sungai Kongo. Ketika saya bertanya kepada kepala suku Wagenia, Beaka Aifila, yang berusia 47 tahun, apakah warga sukunya pernah merasakan kehadiran otoritas eksternal, dia menjawab tanpa ragu.
“Selama perang enam hari,” jawabnya, membicarakan konflik Juni 2000 antara Uganda dan Rwanda pada Perang Kongo Kedua (1998-2003), ketika pertempuran sengit mencapai Kisangani. “Di pagi hari, ketika kami memeriksa jaring, kami menemukan tubuh manusia, bukan ikan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR