Kami meninggalkan sungai lomami dan kembali ke Sungai Kongo. Sekarang musim hujan dan hanya kami saja yang mengarungi sungai besar itu saat mengarahkan kapal ke barat laut mengikuti arus. Hari-hari berlalu tanpa kehadiran kapal bermotor lain. Entah mengapa, perdagangan merosot, jarang terlihat tongkang. Pada saat yang bersamaan, para nelayan di sampannya tidak begitu beruntung, di sungai yang membengkak akibat hujan. Kami membeli semua hasil pancingan mereka. Setiap kali mendengar keberadaan sebuah pasar, kami langsung mendatanginya—bazar ramai yang terletak beberapa kilometer menembus semak—dan membeli kacang, pisang, roti, tomat, arang.
Setiap pemberhentian di salah satu kota sungai yang lebih besar—yang hanya kami kunjungi jika perlu membeli bensin dan persediaan penting lainnya—selalu disertai pertemuan tidak menyenangkan dengan beberapa petugas berseragam dari Direction Générale de Migration, yang meneliti dokumen kami, lalu mengajukan pertanyaan skeptis yang sama, dan akhirnya menyebutkan harga yang diminta sebagai imbalan untuk tidak mengganggu kami lebih lanjut. Kelompok kami menyertakan seorang petugas ramah dari kantor Agence Nationale de Renseignements (ANR) di Kisangani, FBI versi Kongo. Kami membayarnya untuk memastikan agar kami dapat melintasi sungai dengan mulus. Namun, pada kenyataannya, dia hadir hanya untuk membantu menghabiskan bir yang kami bawa.
Setelah menghabiskan satu hari yang panjang menembus Sungai Mongala, anak sungai Kongo, yang bergejolak liar, kami tiba di kota pelabuhan Binga. Saat itu malam sudah cukup larut. Seorang pria botak bertubuh besar turun dari truk bak terbuka dan menyambut kami di dermaga. Ternyata Celestin, penumpang di kapal Joseph yang memimpikan dua orang asing akan datang mengunjunginya.
Untuk beberapa malam berikutnya di Binga, saya dan Pascal dijamu dengan kenyamanan yang mencengangkan, beristirahat di rumah berkamar tidur empat yang nyaman, rumah yang terbuat dari kayu dan beton dengan langit-langit berkubah. Rumah ini milik CEO perusahaan perkebunan berkebangsaan Amerika yang mendominasi Binga.
!break!Kami tidak pernah tahu bagaimana Celestin memperoleh izin agar kami dapat menempati rumah itu. Penghuni asli tempat itu adalah orang Belgia yang mendirikan perusahaan karet pada 1914 di tempat yang dahulu merupakan desa nelayan tidak dikenal bernama Mbinkya, yang kemudian namanya diubah oleh para pendatang menjadi Binga.
Waktu itu dinding rumah dihiasi sejumlah lukisan indah. Sebuah meja Ping-Pong. Mercedes di jalan masuk. Tenaga listrik sepanjang hari, di sini dan di seluruh kota. Kemudian, pada 1997, rezim Mobutu jatuh; dua tahun kemudian, orang-orang Belgia itu meninggalkan Binga. Pemberontak menjarah rumah juragan karet ini. Sekarang, CEO Amerika itu hanya sesekali saja mengunjungi tempat itu.
Perkebunan itu sekarang sebagian besar ditanami pohon kelapa sawit untuk diambil minyaknya. Jumlah pekerja bergaji purnawaktu telah berkurang dari 4.000 menjadi 650 orang. Kota itu tidak lagi dialiri listrik. Tiga mobil—semua milik perusahaan— menggunakan jalan desa Binga yang berlumpur bersama pejalan kaki dan pengendara sepeda motor. Kerinduan pada zaman keemasan masih tetap terasa di kota tersebut.
Perusahaan tetap bertahan untuk satu alasan. Iklim tropis yang optimal untuk berkebun karet dan pohon kelapa sawit, tenaga kerja yang murah, dan sungai yang memungkinkan mengirim produk sejauh 1.300 kilometer ke hilir menuju pasar Barat. Sebagai imbalannya, Binga mempertahankan etos sebuah kota perusahaan—meskipun dengan margin tipis. Bagi 67.000 penduduknya, 2.000 pekerjaan musiman di perkebunan adalah satu-satunya alternatif bagi kehidupan seadanya dari memancing, berburu, dan bertani. Perusahaan masih memiliki sekolah dan klinik.
Namun, struktur tradisional Ngombe tetap bertahan. Seorang warga bercerita bahwa baru-baru ini kepala suku marah karena nelayan setempat tidak menghormati budaya Ngombe dan menghukum mereka dengan menjatuhkan kutukan pada kota nelayan tersebut. Selama tiga tahun, katanya, tidak banyak ikan yang terjaring dan banyak orang kelaparan.
!break!Para nelayan akhirnya memohon maaf dan kepala suku akhirnya menarik kembali kutukannya. Semua ini mengingatkan kami pada pamer kekuatan yang dahulu dikenal pada diri para ksatria Ngombe, sebelum anak buah Raja Leopold datang untuk mengeksploitasi lembah sungai tersebut.
“Penjajahan bangsa Belgia membunuh jiwa warga Kongo,” kata sejarawan Kambayi Bwatshia. “Di perkebunan ini, mereka memperbudak bangsa saya dan memotong tangan warga jika tidak bekerja cukup keras. Mereka yang mengatakan bahwa masa penjajahan lebih baik daripada masa sekarang hanya lelah dengan semua kekacauan ini. Namun, di balik itu semua, mereka ingin memulihkan martabatnya.”
Kata-kata terakhir itu sangat mencerminkan kehidupan Celestin. Suatu pagi, saya membonceng sepeda motornya dan kami berkendara selama setengah jam menyusuri jalan tanah yang basah tepercik hujan. Kami pun sampai tiba di perkebunan keluarganya. Perkebunan yang luas, tetapi tidak terurus, jauh dari rapinya perkebunan pengusaha Amerika
Namun, dengan bangga, Celestin bercerita, “Konsesi ini dibeli ayah saya pada 1980. Perkebunan ini terhampar 800 meter di sepanjang jalan dan memanjang 6,4 km ke dalam hutan. Semua tanah itu masih semak-semak ketika dia membelinya. Dia dahulu bekerja di perusahaan Belgia dan menabung gajinya. Saya anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Kami dibesarkan dengan nyaman, memiliki AC dan mobil jip, makan sosis dan keju—semua kemewahan itu. Kami benar-benar beruntung dibesarkan dalam kondisi seperti itu, ketika semua warga Kongo lainnya yang tinggal di sepanjang sungai mengalami kehidupan yang sangat sulit. Kami meniru kehidupan orang Barat. Saya melihat seorang pria kulit putih memulai perkebunan dan saya berpikir, bahkan seandainya saya tidak bisa menjadi seperti dirinya pun, setidaknya saya bisa mulai dengan perkebunan kecil sendiri dan memberi makan keluarga saya.”
Ekspresinya murung saat mengakui bahwa hari-hari terbaik Binga sudah berlalu dan masa depan untuk anaknya yang berusia 12 tahun, Celestin Jr, berada di tempat lain.
“Saya ingin anak saya tinggal di Binga, untuk mengembangkan diri,” kata Celestin. “Kemudian, dia bisa menemukan kehidupan yang baik. Mungkin di Eropa atau Amerika. Sayangnya tidak di sini.”
---
Sebagai kontributor tulis untuk National Geographic, Robert Draper telah menulis lebih dari selusin cerita untuk majalah ini, bepergian ke tempat terpencil seperti hutan tropis Madagaskar dan biara di Yunani.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR