Kapal kami menempuh perjalanan di bawah naungan langit yang diterangi cahaya bintang. Kapal itu meraung keras ketika berusaha membelah sungai yang kadang sangat luas bagaikan lautan dan, pada waktu lain, tidak lebih dari sekadar sungai yang sangat dangkal. Itulah sebabnya, mengapa bepergian dalam kegelapan adalah tindakan bodoh—dan bahkan ilegal. Untuk para penumpang dan awak kapal, pertimbangan tersebut—mana pilihan yang bijaksana, mana yang legal—sesungguhnya cukup
penting. Namun, pada akhirnya, sebuah aturan mengungguli semua aturan lainnya: Di Sungai Kongo, kita harus melakukan apa yang memang harus dilakukan.
Beban yang dibawa nyaris tidak tertampung oleh kapal tersebut. Kapal itu mendorong tiga tongkang hanya dengan mesin yang dibuat untuk menanggung beban sekitar 675 ton. Kargonya saat ini—batang besi, berkarung-karung semen, bahan pangan—melebihi 815 ton. Atap tambal sulam terbuat dari terpal dan kain mengepak keras di atas tongkang dan, di bawahnya, meringkuk sekitar 600 orang penumpang. Mungkin setengah dari mereka membayar hingga Rp1.120.000 untuk perjalanan ke hulu. Sisanya menyelinap ke atas kapal tanpa izin.
Banyak di antaranya warga kota yang berharap menemukan pekerjaan memanen jagung dan kacang tanah. Beberapa wanita, yang membawa kompor arang portabel, menerima pekerjaan sebagai juru masak. Lainnya, sebagai pelacur. Kita harus melakukan apa yang memang harus dilakukan. Perjalanan dihiasi suara nyanyian, pertengkaran, doa. Aroma asap arang dan suasana menimbulkan perasaan bahwa ruangan itu sangat sempit dan menyesakkan. Beberapa botol wiski buatan sendiri berpindah-pindah tangan. Sesekali, penumpang yang mabuk jatuh ke laut.
Di sebuah tempat tidur, di lantai atas kapal, seorang pria bertubuh kekar berusia 40-an duduk di sudut membaca Alkitab dengan diterangi lampu senter. Namanya Joseph. Dua tahun lalu, dia membeli kapal senilai Rp11 miliar. Saat itu dia menekuni bisnis angkutan udara dan meyakini bahwa aturan di udara kurang lebih dapat pula diberlakukan di sungai.
!break!Dia akhirnya menyadari kekeliruannya. Sebagian besar awak kapalnya adalah maling, salah satunya adalah keponakannya. Joseph memperkirakan awaknya telah menyelundupkan mungkin sekitar 180 ton kargo ke dalam kapal.
Joseph khawatir awaknya tahu dia mencurigai mereka. Dia takut mereka akan membayar juru masak untuk meracuni makanannya. Dia hanya berani makan roti dan mentega. Dia muak dengan semua kebobrokan itu. Kemarin malam, kapten mematikan mesin selama beberapa jam sehingga dia bisa menyeberang ke tongkang dan menggoda beberapa penumpang perempuan. Dan Joseph menenggelamkan dirinya dalam perlindungan Alkitabnya. Dia dikelilingi oleh para pendosa. Tidak terkecuali dirinya. Anggota keluarganya yang lain adalah pengkhotbah, tetapi Joseph mencintai uang. Pada akhir tahun, setelah semua urusannya selesai, dia akan menjadi lebih kaya Rp1,4 miliar. Pada saat itu, mungkin semuanya akan terasa setimpal.
“Punya aspirin lebih?” tanyanya pada saya.
Saya menyerahkan beberapa butir yang diminumnya dengan rasa syukur dengan Coca-Cola. Saya dan fotografer Pascal Maitre bersimpati pada Joseph. Kami akhirnya ikut kapalnya setelah kekacauan selama sepuluh hari yang melibatkan kapal lain di pelabuhan Kinshasa. Kapal lain itu bernama Kwema Express. Nahkoda kapal, yang mengenakan biaya cukup besar pada kami untuk mendapatkan tambahan sampan bermotor tempel, biaya keamanan, biaya perawatan, suku cadang baru, beraneka macam dokumen resmi, semua yang terpikirkan olehnya. Seluruhnya berjumlah $5.000—atau sekitar Rp70 juta. Itu nyaris menghabiskan semua uang yang kami bawa. Kami menyanggupi permintaannya. Namun, mesin kapalnya tidak mau hidup. Kemudian, kapal tidak bisa melepaskan diri dari lumpur. Setelah itu, sepotong tubuh manusia yang sudah membengkak ditemukan terapung di samping kapalnya.
Kami memutuskan untuk meninggalkan nakhoda dan kapalnya itu. Kami mendengar tentang Joseph dan kapalnya, bertemu dengannya di sebuah hotel di Kinshasa, membuat kesepakatan, mengirimkan berita ke kantor untuk meminta tambahan uang, kemudian terbang bersamanya ke kota pelabuhan Mbandaka yang kumuh. Dua hari kemudian, kami akhirnya mengarungi sungai ke arah hulu menuju Kisangani, kota di tikungan sungai yang cukup terkenal.
Tujuan kami adalah ingin memahami satu hal yang selalu konstan dalam sejarah Republik Demokratik Kongo (RDK) yang bergejolak. Apakah sungai perkasa ini menawarkan janji yang belum dimanfaatkan untuk bangsa yang selama ini dilanda kemiskinan dan korupsi? Atau apakah Sungai Kongo bagaikan alam yang berdiri sendiri?
Saat itu bulan Februari, musim kemarau, dan sungai cukup dangkal serta dipenuhi lumpur. Burung elang terbang melesat tinggi dan unggas air beterbangan di langit. Setiap beberapa kilometer, hutan tropis raksasa yang mengapit sungai digantikan dengan deretan rumah reyot beratap jerami. Anak kecil berhamburan keluar dari dalam rumah, melambaikan tangan.
!break!Pada malam hari, saya dan Pascal berbaring di dalam kantong tidur di bawah kelambu di atap kapal, tepat di atas kami tampak bendera RDK yang sudah compang-camping. Tidak ada listrik yang merusak keindahan langit. Tidak ada suara apa pun kecuali geraman mesin sampai pagi, hingga kami dibangunkan oleh suara nyanyian. Seorang pengkhotbah memimpin penumpang lain berdoa.
Fajar belum terbit, tetapi batu bara sudah dinyalakan dan beberapa penumpang perempuan menggoreng donat. Penumpang lain telah bangun dari kasur busanya dan mulai menghamparkan barang dagangan: sabun, baterai, ramuan herbal, sepatu, wiski tengik. Tak lama kemudian, para pengunjung dari balik semak mendayung sampan dan memanjat tongkang, membawa barang dagangannya sendiri untuk ditukar: pisang, ikan lele, ikan mas, ular boa, babun, bebek, buaya.
Pasar apung ini berlangsung sepanjang hari, dengan sekitar selusin sampan mendekati kapal pada saat yang bersamaan. Tak lama kemudian, jelas bagi kami bahwa interaksi ini benar-benar saling menguntungkan dan kedua pihak saling memerlukan. Jika pasar ini tidak ada, para penumpang tidak akan makan dan penduduk desa tidak memiliki obat untuk bayi yang terserang demam atau panci baru untuk menggantikan panci yang sudah berkarat.
Sang pengkhotbah, Simon, menjual celana jin dan kemeja bekas. Dia bepergian ke sebuah gereja di Lisala, tempat kelahiran mantan ditaktor Mobutu Sese Seko. “Di masa Mobutu, saya bisa memiliki ruangan yang bagus untuk saya sendiri,” keluhnya, membicarakan tongkang—tetapi mungkin juga merujuk ke kekacauan yang terjadi di bawah pimpinan presiden RDK saat ini, Joseph Kabila. “Sulit menikmati kondisi ini. Yang bisa kami lakukan adalah berdoa dan menitipkan perjalanan ini ke tangan Tuhan.”
Simon mengajak seorang teman, pria berbahu lebar bernama Celestin yang memiliki perkebunan karet dan kelapa sawit di Binga, desa di sisi Sungai Mongala. “Saya semalam bermimpi dua orang asing datang mengunjungi perkebunan saya,” kata Celestin. “Jadi, mungkin Tuhan mengirim Anda!”
Kami membalas senyumannya dan menggumamkan ucapan terima kasih atas undangannya. Namun, kami tidak menjanjikan apa pun. Hal pertama yang Anda pelajari ketika berada di Sungai Kongo adalah tidak ada yang bisa diatur, apalagi kecepatan. Sungai cukup dangkal, kapal berat oleh muatan, kapten menenggak wiski Kongo dari botolnya, sang pemilik kembali menekuni Alkitabnya. Di tempat ini keberuntungan dapat berubah dalam sekejap mata.
!break!
Sungai ini menghubungkan sembilan negara Afrika di sepanjang bantarannya yang mengular sekitar 4.700 kilometer menuju Samudra Atlantik. Namun, identitasnya tidak terlepas dari Republik Demokratik Kongo.
“Sungai Kongo adalah tulang punggung negara kami,” kata Isidorus Ndaywel è Nziem, profesor sejarah di Universitas Kinshasa. “Tanpa tulang belakang, manusia tidak bisa berdiri.” Jika dilihat seperti itu, alur sungai tersebut terlihat bagaikan sosok petani yang gigih, tetapi sangat bongkok. Tidak adanya hukum yang berlaku di sungai ini menyebabkan derajat semua orang setara di Sungai Kongo. Hal ini juga sangat mengurangi nilai sungai sebagai sumber daya. Mengingat potensi tenaga air untuk pembangkit listrik dan pertanian seluas 3,9 juta kilometer persegi ini, seluruh benua Afrika sesungguhnya dapat bergantung padanya dan, dengan demikian, pada RDK. Namun, sungai ini dibiarkan liar dan RDK terhuyung-huyung dibebani populasi yang terus membengkak, kemiskinan, pelanggaran hukum, dan korupsi.
Sungai dan anak-anak sungainya ini telah menjadi jalur migrasi manusia dengan sejarah yang dapat dilacak hingga zaman pemukiman berbahasa Bantu pada tahun 400 SM. Untuk RDK di zaman sekarang, sungai ini berfungsi sebagai jaringan transportasi utama antara sejumlah pedesaan, kota, laut, dan dunia luar. Namun, fakta tersebut tidak sepenuhnya mengungkap betapa pentingnya sungai ini. Fakta bahwa Sungai Kongo sudah lama dipandang lebih dari sekadar sungai dengan volume air yang dahsyat, dan kenyataan bahwa sungai ini mungkin mengandung berlian atau mineral lain, sudah menjadi catatan sejarah.
Pada 1885, Raja Leopold II dari Belgia menjajah Negara Merdeka Kongo, negara yang berukuran hampir 80 kali negaranya sendiri, tanpa memedulikan semua biaya dan hak asasi manusia dalam misinya untuk mengeksploitasi perdagangan karet di lembah sungai itu. Novel klasik karya Joseph Conrad pada 1902, Heart of Darkness, mengisahkan kerakusan pedagang gading negara Barat yang menjarah lembah sungai kelam itu. Lebih dari satu abad kemudian, Kongo dalam bayangan kita masih belum berubah. Selama beberapa dekade, Office National des Transports milik pemerintah, atau ONATRA, memonopoli semua lalu lintas dan perdagangan sungai. Hal itu berubah pada 1990-an, di akhir masa kekuasaan rezim Mobutu. Sebagai pejabat tinggi ONATRA, Sylvestre Many Transer Naga Hamany mengakui, “Mesin kapal kami semakin tua dan sering rusak, menyebabkan penundaan yang lama dan hilangnya kredibilitas kami.”
Akibatnya, kata Thierry André Mayele dari otoritas manajemen sungai Regie des Voies Fluviales (RVF), “Politisi kami memutuskan untuk meliberalisasi navigasi sungai, terutama agar mereka sendiri dapat memperoleh keuntungan dari bisnis ini.”
Para pejabat Kongo menerbitkan peraturan dan hukum perpajakan yang dapat dielakkan dengan mudah. Gaji yang mereka bayarkan kepada komisaris pelabuhan sangat kecil sehingga penyuapan dan pemerasan merajalela. Mereka mencegah aliran sumber daya alam ke ONATRA, RVF, dan otoritas sungai lainnya. Hal itu masih terus terjadi hingga kini. Pemerintah memastikan bahwa harta karun alam terbesar RDK tidak dikelola dengan baik.
!break!Mereka yang pernah melakukan perjalanan melintasi sungai mengetahui hal ini, mengetahui risikonya. Eksploitasi hutan di lembah sungai yang berlangsung untuk kepentingan lokal dan asing, telah berperan cukup besar atas erosi yang terjadi. Realitas ini—kegagalan pemerintah mengeruk sungai, awak kapal menyuap otoritas pelabuhan—menyebabkan setiap penumpang kapal menghadapi risiko besar ketika melakukan perjalanan melintasi sungai. “Setiap tahun, rata-rata lima kapal tenggelam akibat kelebihan beban,” kata Mayele. Dua bulan sebelum kami naik kapal Joseph, sebuah kapal serupa terbalik tidak jauh dari Kinshasa. Menurut Mayele, “Kaptennya mabuk dan kapal menghantam batu. Di kapal besar seperti itu, tidak ada cara untuk mengetahui berapa banyak penumpang tenggelam, karena tidak ada catatannya.”
Dia menambahkan, “Angka yang dikeluarkan pemerintah menyatakan korban meninggal mencapai 30 atau 40 orang.” Tawa skeptisnya menunjukkan sejatinya korban jauh melebihi angka resmi itu.
namun, kerawanan lalu lintas sungai hanyalah petunjuk kecil tentang bagaimana pemerintah RDK benar-benar mengabaikan potensi Sungai Kongo. Untuk menemukan bukti yang paling jelas tentang pengabaian itu, kita hanya perlu melakukan perjalanan lebih jauh ke lembah sungai, sebagaimana yang saya dan Pascal lakukan sekian bulan kemudian, di atas kapal yang jauh lebih kecil daripada sebuah desa terapung. Kami harus siap melupakan jadwal dan rencana perjalanan yang dibuat dengan cermat, melakukan perjalanan dengan gagah berani mengikuti arus sampai akhirnya informasi yang diperoleh dari obrolan sehari-hari dengan penghuni sungai lainnya memaksa kami berbalik arah. Cermati garis pantai untuk mencari tanda-tanda kehidupan di semak. Mendarat. Dan melanjutkan perjalanan dengan hanya mengandalkan keyakinan.
Kami menemukan desa Yailombo, komunitas yang terdiri atas 200 keluarga nelayan, setelah menyewa sampan bermotor tempel di Kisangani, menyusuri sungai selama tiga jam ke arah hilir menuju Isangi, lalu berbelok ke selatan di Sungai Lomami, anak sungai utama Sungai Kongo yang kami jelajahi selama sehari penuh. Sekarang bulan November dan, pada penghujung pagi, sinar matahari sedemikian terik sehingga para wanita yang kami lihat mengangkut pisang dan singkong di atas sampannya menggunakan payung untuk melindungi bayi yang digendongnya.
!break!Setelah mendarat, saya mengikuti suara nyanyian anak-anak sekolah. Mereka tampak sedang duduk di kursi plastik, berjejalan di dalam sesuatu yang tampak seperti kandang bambu besar yang bobrok. Gurunya bernama Cesar, 23 tahun, berkumis tipis dan tersenyum malu-malu. Saya bisa menilai dari lengannya yang berotot bahwa dia pun bekerja di sungai.
“Begini,” ujarnya menjelaskan, “Saya memancing dari pukul enam sore sampai enam pagi. Lalu, saya mengajar dari pukul tujuh sampai tengah hari. Mengajar saja tidak cukup untuk memberi makan keluarga saya.” Ikan yang ditangkapnya, diawetkan dengan cara diasap, kemudian istrinya mengangkut ikan kering itu lewat sungai ke Kisangani—lima atau enam hari sekali jalan. Kisangani, demikian ujar Cesar, merupakan tempat paling jauh yang pernah disinggahinya.
Untuk mengajar 53 murid kelas ketiga Yailombo, ujarnya, penduduk desa membayarnya sekitar Rp250.000 per bulan. Satu-satunya yang dimiliki desa itu hanya bangunan sekolah bambu, karena mereka membutuhkan waktu lebih dari satu hari naik sampan untuk mencapai sekolah negeri terdekat.
“Apakah petugas pemerintah Kongo pernah mengunjungi Yailombo?” tanya saya.
Cesar mengangguk. “Pada musim pemilu, ketika mereka mengampanyekan propagandanya,” katanya. “Mereka datang dan mengumbar janji untuk membangun klinik atau sekolah. Semua janji itu tidak pernah dipenuhi.”
Seperti setiap desa lain yang kami kunjungi, di Yailombo tidak ada klinik, jalan beraspal, mobil, air bersih, listrik, telepon, internet, polisi, koran. Yang ada hanyalah sungai dan semak. Namun, lokasinya yang terpencil telah melindungi dusun tersebut dari pembantaian yang dilakukan milisi di RDK timur.
Beberapa hari sebelum tiba di Yailombo, di pinggiran Kisangani, kami menemui sejumlah nelayan Wagenia, yang terkenal karena cara memancing ikannya yang berani dengan bergantung pada perancah bambu tepat di atas buih Sungai Kongo. Ketika saya bertanya kepada kepala suku Wagenia, Beaka Aifila, yang berusia 47 tahun, apakah warga sukunya pernah merasakan kehadiran otoritas eksternal, dia menjawab tanpa ragu.
“Selama perang enam hari,” jawabnya, membicarakan konflik Juni 2000 antara Uganda dan Rwanda pada Perang Kongo Kedua (1998-2003), ketika pertempuran sengit mencapai Kisangani. “Di pagi hari, ketika kami memeriksa jaring, kami menemukan tubuh manusia, bukan ikan.”
!break!Kami meninggalkan sungai lomami dan kembali ke Sungai Kongo. Sekarang musim hujan dan hanya kami saja yang mengarungi sungai besar itu saat mengarahkan kapal ke barat laut mengikuti arus. Hari-hari berlalu tanpa kehadiran kapal bermotor lain. Entah mengapa, perdagangan merosot, jarang terlihat tongkang. Pada saat yang bersamaan, para nelayan di sampannya tidak begitu beruntung, di sungai yang membengkak akibat hujan. Kami membeli semua hasil pancingan mereka. Setiap kali mendengar keberadaan sebuah pasar, kami langsung mendatanginya—bazar ramai yang terletak beberapa kilometer menembus semak—dan membeli kacang, pisang, roti, tomat, arang.
Setiap pemberhentian di salah satu kota sungai yang lebih besar—yang hanya kami kunjungi jika perlu membeli bensin dan persediaan penting lainnya—selalu disertai pertemuan tidak menyenangkan dengan beberapa petugas berseragam dari Direction Générale de Migration, yang meneliti dokumen kami, lalu mengajukan pertanyaan skeptis yang sama, dan akhirnya menyebutkan harga yang diminta sebagai imbalan untuk tidak mengganggu kami lebih lanjut. Kelompok kami menyertakan seorang petugas ramah dari kantor Agence Nationale de Renseignements (ANR) di Kisangani, FBI versi Kongo. Kami membayarnya untuk memastikan agar kami dapat melintasi sungai dengan mulus. Namun, pada kenyataannya, dia hadir hanya untuk membantu menghabiskan bir yang kami bawa.
Setelah menghabiskan satu hari yang panjang menembus Sungai Mongala, anak sungai Kongo, yang bergejolak liar, kami tiba di kota pelabuhan Binga. Saat itu malam sudah cukup larut. Seorang pria botak bertubuh besar turun dari truk bak terbuka dan menyambut kami di dermaga. Ternyata Celestin, penumpang di kapal Joseph yang memimpikan dua orang asing akan datang mengunjunginya.
Untuk beberapa malam berikutnya di Binga, saya dan Pascal dijamu dengan kenyamanan yang mencengangkan, beristirahat di rumah berkamar tidur empat yang nyaman, rumah yang terbuat dari kayu dan beton dengan langit-langit berkubah. Rumah ini milik CEO perusahaan perkebunan berkebangsaan Amerika yang mendominasi Binga.
!break!Kami tidak pernah tahu bagaimana Celestin memperoleh izin agar kami dapat menempati rumah itu. Penghuni asli tempat itu adalah orang Belgia yang mendirikan perusahaan karet pada 1914 di tempat yang dahulu merupakan desa nelayan tidak dikenal bernama Mbinkya, yang kemudian namanya diubah oleh para pendatang menjadi Binga.
Waktu itu dinding rumah dihiasi sejumlah lukisan indah. Sebuah meja Ping-Pong. Mercedes di jalan masuk. Tenaga listrik sepanjang hari, di sini dan di seluruh kota. Kemudian, pada 1997, rezim Mobutu jatuh; dua tahun kemudian, orang-orang Belgia itu meninggalkan Binga. Pemberontak menjarah rumah juragan karet ini. Sekarang, CEO Amerika itu hanya sesekali saja mengunjungi tempat itu.
Perkebunan itu sekarang sebagian besar ditanami pohon kelapa sawit untuk diambil minyaknya. Jumlah pekerja bergaji purnawaktu telah berkurang dari 4.000 menjadi 650 orang. Kota itu tidak lagi dialiri listrik. Tiga mobil—semua milik perusahaan— menggunakan jalan desa Binga yang berlumpur bersama pejalan kaki dan pengendara sepeda motor. Kerinduan pada zaman keemasan masih tetap terasa di kota tersebut.
Perusahaan tetap bertahan untuk satu alasan. Iklim tropis yang optimal untuk berkebun karet dan pohon kelapa sawit, tenaga kerja yang murah, dan sungai yang memungkinkan mengirim produk sejauh 1.300 kilometer ke hilir menuju pasar Barat. Sebagai imbalannya, Binga mempertahankan etos sebuah kota perusahaan—meskipun dengan margin tipis. Bagi 67.000 penduduknya, 2.000 pekerjaan musiman di perkebunan adalah satu-satunya alternatif bagi kehidupan seadanya dari memancing, berburu, dan bertani. Perusahaan masih memiliki sekolah dan klinik.
Namun, struktur tradisional Ngombe tetap bertahan. Seorang warga bercerita bahwa baru-baru ini kepala suku marah karena nelayan setempat tidak menghormati budaya Ngombe dan menghukum mereka dengan menjatuhkan kutukan pada kota nelayan tersebut. Selama tiga tahun, katanya, tidak banyak ikan yang terjaring dan banyak orang kelaparan.
!break!Para nelayan akhirnya memohon maaf dan kepala suku akhirnya menarik kembali kutukannya. Semua ini mengingatkan kami pada pamer kekuatan yang dahulu dikenal pada diri para ksatria Ngombe, sebelum anak buah Raja Leopold datang untuk mengeksploitasi lembah sungai tersebut.
“Penjajahan bangsa Belgia membunuh jiwa warga Kongo,” kata sejarawan Kambayi Bwatshia. “Di perkebunan ini, mereka memperbudak bangsa saya dan memotong tangan warga jika tidak bekerja cukup keras. Mereka yang mengatakan bahwa masa penjajahan lebih baik daripada masa sekarang hanya lelah dengan semua kekacauan ini. Namun, di balik itu semua, mereka ingin memulihkan martabatnya.”
Kata-kata terakhir itu sangat mencerminkan kehidupan Celestin. Suatu pagi, saya membonceng sepeda motornya dan kami berkendara selama setengah jam menyusuri jalan tanah yang basah tepercik hujan. Kami pun sampai tiba di perkebunan keluarganya. Perkebunan yang luas, tetapi tidak terurus, jauh dari rapinya perkebunan pengusaha Amerika
Namun, dengan bangga, Celestin bercerita, “Konsesi ini dibeli ayah saya pada 1980. Perkebunan ini terhampar 800 meter di sepanjang jalan dan memanjang 6,4 km ke dalam hutan. Semua tanah itu masih semak-semak ketika dia membelinya. Dia dahulu bekerja di perusahaan Belgia dan menabung gajinya. Saya anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Kami dibesarkan dengan nyaman, memiliki AC dan mobil jip, makan sosis dan keju—semua kemewahan itu. Kami benar-benar beruntung dibesarkan dalam kondisi seperti itu, ketika semua warga Kongo lainnya yang tinggal di sepanjang sungai mengalami kehidupan yang sangat sulit. Kami meniru kehidupan orang Barat. Saya melihat seorang pria kulit putih memulai perkebunan dan saya berpikir, bahkan seandainya saya tidak bisa menjadi seperti dirinya pun, setidaknya saya bisa mulai dengan perkebunan kecil sendiri dan memberi makan keluarga saya.”
Ekspresinya murung saat mengakui bahwa hari-hari terbaik Binga sudah berlalu dan masa depan untuk anaknya yang berusia 12 tahun, Celestin Jr, berada di tempat lain.
“Saya ingin anak saya tinggal di Binga, untuk mengembangkan diri,” kata Celestin. “Kemudian, dia bisa menemukan kehidupan yang baik. Mungkin di Eropa atau Amerika. Sayangnya tidak di sini.”
---
Sebagai kontributor tulis untuk National Geographic, Robert Draper telah menulis lebih dari selusin cerita untuk majalah ini, bepergian ke tempat terpencil seperti hutan tropis Madagaskar dan biara di Yunani.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR