Ada pula bahaya radiasi. Astronaut di stasiun antariksa masih dilindungi medan magnet Bumi. Namun, dalam perjalanan ke Mars, mereka akan rentan terhadap radiasi suar matahari dan sinar kosmis. Sinar kosmis khususnya bisa merusak DNA dan sel otak—yang berarti bisa-bisa astronaut tiba di Mars agak lebih bodoh. Salah satu kemungkinan adalah melapisi modul habitat dengan lapisan tebal air, atau tumbuhan yang ditanam di tanah, sebagai perisai radiasi parsial.
Sekadar menyediakan air minum dan udara bernapas untuk astronaut saja sudah merupakan tantangan tersendiri. Suatu hari di Johnson Space Center saya bertemu dengan Kenny Todd, yang menjabat sebagai manajer integrasi operasi untuk stasiun antariksa tersebut.
“Tetapi, sekarang kita akan menambahkan manusia yang sadar-diri dan punya kemauan ke dalam tim ini. Sudahkah kita benar-benar memahami semua risiko yang ditimbulkan dan memberi mereka bekal untuk menanganinya?”
Sebagian air di stasiun antariksa berasal dari menyaring dan mendaur ulang urine dan keringat. Tetapi, saringan itu kadang tersumbat kalsium—dari tulang astronaut yang menyusut—dan airnya kadang tercemar mikrob. “Menangani urine—sangat merepotkan,” kata Todd. Alat pembersih udara yang menyingkirkan karbon dioksida dari udara juga kadang rusak—seperti hampir semua perangkat lain di stasiun itu. Di orbit Bumi yang rendah, itu tidak masalah; NASA dapat mengirim suku cadang ke sana. Bagi pesawat antariksa yang menuju Mars, hanya tersedia suku cadang yang dapat dibawanya. Semua peralatan penyokong kehidupan, kata Todd, harus jauh lebih andal daripada yang ada sekarang, harus anti-rusak.
Itu tak berarti dia tak ingin mengirim orang ke Mars. Tidak pula dia mengkritik pemimpi yang siap meluncur. “Kita harus mulai dari mimpi,” kata Todd. “Dan kadang-kadang ada mimpi yang terwujud.” Artinya, ada banyak hal yang harus dicari jalan keluarnya.
Itu termasuk hal-hal yang lebih rumit, seperti psikologi manusia. “Misi-misi robot kita berlangsung begitu baik, jadi rasanya aspek perangkat kerasnya sudah beres,” kata Fogarty. “Tetapi, sekarang kita akan menambahkan manusia yang sadar-diri dan punya kemauan ke dalam tim ini. Sudahkah kita benar-benar memahami semua risiko yang ditimbulkan dan memberi mereka bekal untuk menanganinya?”
NASA berusaha memecahkan masalah itu dengan mengadakan misi simulasi di Bumi. Di Johnson Space Center saya mengunjungi salah satu percobaan itu. Di dalam gudang luas tanpa jendela, terdapat bangunan berkubah tiga tingkat, juga tanpa jendela, yang dilapisi bahan kedap suara. Di dalamnya terdapat empat relawan, untuk dikurung selama sebulan, terputus secara fisik dari dunia luar. Melalui tiga belas kamera di dalam habitat ini, para peneliti di “pusat kendali misi,” yang berjarak beberapa langkah, dapat mengamati setiap gerak-gerik mereka dan melihat cara mereka menghadapi pengasingan.
Simulasi ini memiliki keterbatasan. “Jelas kita tidak punya tombol gravitasi-nol,” kata manajer proyek Lisa Spence; para astronaut ini bisa menikmati toilet siram dan pancuran. Tetapi, Spence dan para koleganya mengupayakan agar simulasi ini sedekat mungkin dengan kenyataan. Sementara kami menonton dua relawan berkerumun di ruang sendat-udara yang gelap, mengenakan visor realitas virtual dan mengalami simulasi perjalanan antariksa, kami berbicara dengan lirih, takut terdengar oleh mereka. Tempat itu baru saja dilanda badai besar, diiringi guntur menggelegar; kalau ada orang di dalam modul yang bertanya soal guruh, kata Spence, “kami mengarang cerita konyol tentang cuaca antariksa.”
Perlu kepribadian jenis tertentu untuk misi Mars, menurut para pakar: orang yang sanggup menanggung pengasingan dan kebosanan selama perjalanan panjang, lalu masuk ke gigi lima di Mars. “Kami memilih orang-orang yang berkepala dingin. Meski demikian, pasti akan ada konflik,” kata Kim Binsted dari University of Hawaii di Manoa, yang mengarahkan misi analog lain yang didanai NASA. Dalam misi yang terbaru, enam relawan dikurung selama setahun di habitat Mars tiruan, di lereng gunung berapi.
Namun, tidak ada eksperimen di Bumi yang mampu menyimulasikan dengan tepat perasaan yang timbul akibat terkurung di dalam kaleng kecil jutaan kilometer dari Bumi. William Gerstenmaier, kepala penerbangan antariksa manusia di NASA, memperhatikan sesuatu tentang astronaut di stasiun antariksa. “Mereka sering men-tweet foto kampung halaman,” katanya kepada saya. “Mereka membawa foto stadion football di universitas mereka. Masih ada ikatan yang sangat kuat dengan Bumi.”
“Kami semakin dekat dengan mengirim astronaut Amerika ke Mars, lebih dekat daripada siapa pun, di mana pun, kapan pun,” tulis Wakil Administrator NASA Dava Newman dalam artikel blog, April silam.
Kornienko merasakannya. “Ini bahkan bukan nostalgia; ini bukan perjalanan dinas ke luar kota, saat kita merindukan apartemen, rumah, keluarga,” katanya, tak lama setelah pulang dari setahun di orbit. “Ini soal merindukan Bumi secara keseluruhan. Emosi yang berbeda sama sekali. Kami kekurangan kehijauan, sungguh, tidak ada cukup hutan, musim panas, musim dingin, salju.”
Pada Juni, enam bulan setelah SpaceX mendaratkan penggalak dengan penuh kemenangan, NASA mengadakan uji roket. Ini “uji darat” penggalak berbahan bakar padat, unsur penting dalam Sistem Peluncuran Antariksa, roket yang menurut NASA akan membawa manusia ke ruang angkasa. Ribuan orang berkumpul, dua kilometer dari sana, sementara penyeru menghitung mundur. Pada angka nol, penggalak itu, yang rebah dan terpasang kencang ke tanah, menyala berkobar. Si penyiar mengingatkan semua orang bahwa ini bagian dari “Perjalanan ke Mars” NASA. Semburan api menggemuruh selama dua menit lebih sementara tiang besar asap membubung ke langit dan penonton bersorak.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR