Bekerja keras dalam balutan topi wol tradisionalnya, Kaldani merupakan cerminan kuatnya kebudayaan Svan—dan bahaya yang dihadapinya. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang masih fasih berbahasa Svan. Dia juga salah satu mediator desa terakhir, yang sudah sejak lama diandalkan untuk menengahi berbagai masalah, dari pencurian kecil-kecilan sampai pertikaian keluarga berdarah yang telah berlangsung lama. Kewajiban untuk membela kehormatan keluarga, walaupun saat ini sudah agak berkurang, dahulu memicu sangat banyak konflik berdarah di masyarakat Svan, sehingga para pakar meyakini bahwa menara batu dibangun untuk melindungi keluarga tidak hanya dari penyusup tetapi juga satu sama lain.
Di tengah kekacauan setelah kejatuhan Uni Soviet, pertikaian berdarah kembali marak. “Saya tak pernah beristirahat,” kata Kaldani. Dalam beberapa kasus, setelah menegosiasikan harga darah (biasanya 20 ekor sapi untuk satu pembunuhan), dia membawa keluarga yang saling bertikai ke gereja, lalu menyuruh mereka bersumpah di hadapan artefak-artefak suci dan saling membaptis. Ritual ini, menurutnya, mewajibkan keluarga-keluarga itu untuk “tidak bertikai hingga 12 generasi.”
Pertikaian berdarah bisa dibilang telah lenyap dari Svaneti selama dekade terakhir, tetapi kode-kode etik keadilan kuno, yang diusung oleh mediator semacam Kaldani, tetap lestari. Tradisi-tradisi desa lainnya pun masih bertahan. Setiap Agustus, salah satu keluarga setempat menyelenggarakan perayaan tahunan Adishi, Lichaanishoba, yang menarik para mantan penduduk desa dari dataran rendah dan pasangan yang berdoa agar mendapatkan putra atau berterima kasih atas kelahiran putra mereka. Setiap pasangan membawa seekor domba untuk persembahan, selain sekendi minuman keras buatan sendiri. Pada musim panas 2013, 500 orang hadir. Di bukit kecil di dekat bangunan mungil Gereja St. George yang didirikan pada abad ke-12, 32 ekor domba didoakan dan dikorbankan.
Dari puncak menara batu setinggi 15 meter milik Kaldani, Adishi tampak cantik dan terbengkalai. Kerai-kerai karatan berayun-ayun tertiup angin. Pohon-pohon pinus menyembul dari menara-menara setengah runtuh. Sungai di bawah membanjiri jalan tanah menuju desa sehingga hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Tetapi Adishi kembali hidup berkat keteguhan hati Kaldani dan lokasinya yang berada tepat di jalur penjelajahan populer. Selama dua tahun terakhir, tujuh keluarga telah pulang untuk membangun kembali rumah mereka dan membuka penginapan-penginapan kecil, mengembalikan jumlah populasi penuh-waktunya hingga nyaris mencapai 30 jiwa. Selagi dua orang tetangga Kaldani mengasah sabit untuk membabat rumput pada hari-hari terakhir menjelang musim dingin, Adishi tidak lagi memancarkan kesan terbengkalai. Kesan yang kini terlihat adalah terlahir kembali.
NYANYIAN CINTA dan dendam dimulai dengan lembut oleh suara tunggal yang mengalun mengikuti melodi kuno. Suara-suara lain di ruangan tanpa pemanas di dekat alun-alun utama Mestia itu segera mengiringi, membangun progresi harmoni yang padat dan melodi yang saling bersahutan, kian lama kian mendesak hingga berujung pada satu nada nyaring.
Ini adalah sebagian musik polifonik tertua di dunia, bentuk kompleks yang menampilkan dua atau lebih alunan melodi simultan. Umurnya berabad-abad lebih tua dari kehadiran agama Kristen di Svaneti. Tetapi tidak seorang pun musisi di ruangan itu berusia lebih dari 25 tahun pada musim gugur ini. Pada akhir sesi, para pemuda dan pemudi itu berbondong-bondong ke alun-alun seraya mengobrol, bersenda gurau, dan saling mencium pipi—dan memainkan ponsel mereka.
“Kami semua punya akun Facebook,” kata Mariam Arghvliani, gadis 14 tahun yang memainkan tiga macam instrumen petik kuno (termasuk harpa kayu berbentuk L khas Svan) untuk kelompok pemuda peminat musik daerahnya, Lagusheda. “Tetapi itu tidak berarti kami melupakan adat istiadat kami.”
Kematian bahasa yang bersamaan dengan kebangkitan kembali musik tradisional menjadi salah satu ironi getir Svaneti. Fenomena ini tidak digalakkan oleh para tetua desa, para penjaga kebudayaan Svan, tetapi oleh para pemuda di Mestia, kota yang aspirasi modernnya tercermin dalam bangunan kantor polisi bergaya futuristik yang berhadapan dengan menara-menara batu di tanjakan di atasnya.
Seperti kebanyakan orang dari generasinya, Arghvliani hanya tahu sedikit bahasa Svan—“sebagian besarnya lirik lagu-lagu kami,” ungkapnya. Tetapi minatnya terhadap musik sudah terbentuk sejak dia masih bayi; pada usia empat tahun, dia telah menyanyi bersama kelompok paduan suara bibinya. Tetap saja, bakatnya dapat memudar sebagaimana tradisi musik Svan seandainya tidak ada program untuk pemuda yang dicanangkan 13 tahun silam oleh pejuang pembela kebudayaan Svaneti yang kharismatik, Bapa Giorgio Chartolani.
Duduk di kuburan gerejanya, Chartolani mengenang huru-hara pasca-Soviet yang mengancam kebudayaan yang telah lemah gara-gara tekanan Komunis selama tujuh dekade. “Kehidupan saat itu brutal,” katanya, mengelus-elus janggut panjangnya. Pendeta itu mengangguk ke arah batu-batu nisan, yang sebagian dipasangi gambar pemuda yang terbunuh dalam pertikaian. “Desa-desa semakin sunyi, kebudayaan kami menghilang,” ujarnya, menceritakan bahwa 80 dari 120 lagu Svan yang ada telah musnah dalam dua generasi terakhir. “Harus ada yang dilakukan.” Programnya, yakni mengajarkan musik dan tarian tradisional kepada ratusan siswa seperti Arghvliani menjadi, ujarnya, “secercah cahaya di tengah kegelapan.”
Kini program itu menyinari sebuah alternatif masa depan. Malam itu para musisi muda kembali ke alun-alun Mestia dengan ornamen festival lengkap: para pemuda mengenakan stoking burgundi, belati perak menggantung dari ikat pinggang mereka; para pemudi mengenakan gaun petani hitam panjang. Penonton mereka terdiri dari 50 turis asing yang mengenakan parka warna-warni, masing-masing membayar enam dolar untuk menonton pertunjukan itu. Kebangkitan musik Svan sudah terjadi sebelum para turis mulai mengunjungi Svaneti, namun baru pada 2012 kelompok musik yang seluruh anggotanya laki-laki, Kyiria, tampil untuk pertama kalinya di hadapan tamu. Ketertarikan dunia luar yang semakin besar terhadap bentuk musik yang rumit itu menghasilkan dampak menguntungkan: Lebih banyak anak Svan mengikuti kelas-kelas Chartolani.
Arghvliani belum tahu apakah dia akan mengejar karier di bidang musik tradisional—dia juga menggemari Beyoncé dan dubstep—atau bahkan apakah dia akan tetap tinggal di Svaneti. Dia melihat kebudayaannya bergerak ke dua arah: “Bahasa Svan akan lenyap bersama generasi saya,” katanya. “Tetapi musik akan tetap hidup.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR