Hari itu hari Sabbath. Ketika sebagian besar umat Yahudi beribadat di Tembok Barat atau yang lebih dikenal dengan Tembok Ratapan, saya menelusuri Via Dolorosa—jalan sengsara menuju Bukit Golgota.
Via Dolorosa merupakan jalan penderitaanyang dilalui Yesus sambil memikul salib, lebih dari 2.000 tahun silam.Pada masanya, jalan sepanjang satu kilometer itu berada di tembok luar kota tua Yerusalem di Timur Tengah. Kini, Via Dolorosa berupa jalan kecil berbatu, berundak, dan melewati keramaian pasar dan pemukiman penduduk Armenian, Kristen, Muslim, dan Yahudi.
Jalan Salib menyusuri Via Dolorosa dimulai pukul 16.00.Saya berjalan bersama rombongan, terdiri atas 28 perempuan dan laki-laki. Usia yang termuda 8 tahun, sementara yang paling tua 70 tahun. Teman serombongan saya berasal dari Jakarta, Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor-Leste.
Perjalanan bermula di Gerbang Singa—sohor dengan julukan The Lions\' Gate atau St. Stephen’s Gate), yang berada di dalam kompleks Muslim hingga Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) di kompleks Kristen.
Di dekat Gerbang Singa, berdiri sebuah bangunan sederhana yang disebut Kapel Penyesahan. Di depan altar Kapel Penyesahan, rombongan berlutut. Saya menutup kelopak mata sambil menundukkan kepala.Sesaat keheningan mengepung.Bulu kuduk merinding, membayangkan bagaimana dulu Yesus diadili dan disiksa.Di sela-sela kesunyian, terdengar suara lirih, “Allah ampunilah kami orang berdosa.”
Setelah berdoa di perhentian pertama – di Benteng Antonia – rombongan bergerak ke stasi kedua yang letaknya di seberang tembok Kapel Penyesahan. Di sana ada lengkungan Ecce Homo (Behold The Man) yang dibuat Kaisar Hadrianus pada 135 Masehi untuk mengabadikan kemenangannya atas kota Yerusalem.
Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ziarah menelusuri Via Dolorosa dimulai sejak masa kekristenan awal dan mencapai arti penting pada pertengahan abad ke-4. Ketika itu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Saat itu, tidak ada stasi-stasi perhentian seperti sekarang. Rute Jalan Salib bahkan sering berubah karena kelompok Kristen juga menawarkan titik perhentian berbeda.
Pada abad ke-18, Paus Klemens XII menetapkan jumlah dan lokasi perhentian Jalan Salib secara pasti.Stasi perhentian itu dipakai hingga sekarang.Kini, ibadat Jalan Salib menjadi bagian tak terpisahkan dari tempat-tempat ziarah katolik.Jalan Salib sangat umum dilakukan pada Jumat Agung atau Jumat Prapaskah.
Di Via Dolorosa, Jalan Salib ditandai dengan 14 stasi perhentian. Penanda stasi berupa tulisan dan simbol tidak mencolok yang terpahat pada dinding dan tiang. Penanda itu berada di kiri-kanan jalan, melewati lorong-lorong pasar dan pemukiman penduduk. Di setiap stasi ada kapel untuk berdoa.Ibadat biasanya dilakukan setiap Jumat, dipimpin biarawan OFM.
Sebelum berangkat, ibu saya sempat menyampaikan kekhawatirannya tak mampu merampungkan Jalan Salib. Sejak bertahun-tahun lalu, ibu alergi dingin.Saat kedinginan, tulang belulang ibu keram sehingga sulit berjalan. Kepada ibu, saya berkata, “Mama pasti bisa. Yesus saja yang berjalan sambil memikul salib bisa menyelesaikan perjalanan dengan penuh iman.”
Kenyataannya, ketika berjalan di Via Dolorosa, iman saya mudah goyah. Konon, godaan iman terbesar manusia bukan saat kita berada dalam kekurangan atau keterbatasan, melainkan saat berada dalam keberlimpahan. Di Via Dolorosa, segala sesuatunya terasa begitu tersedia, mulai dari keramaian pasar, deretan pedagang-pedagang souvenir, dan keriuhan pemukiman penduduk.
Ketika saya berlutut di salah satu stasi perhentian, bola mata melirik ke deretan pedagang pernak-pernik. Para pedagang menjual patung, kalung, tempelan kulkas, gantungan kunci, gelang, kaos, sepatu, dan banyak benda-benda unik lain. Beragam souvenir yang terbuat dari pahatan kayu dan tempaan logam itu dipajang di dalam kios berukuran 2 x 3 meter. Sebagian barang ditata menjalar hingga ke luar kios.
Selain kios souvenir, ada juga kedai makanan dan minuman. Pedagang menjual sosis dan roti bakar, kebab, hingga beragam kurma dan buah delima. Aroma sedap makanan terbang hingga ujung hidung.Terbesit di kepala untuk berhenti melakukan Jalan Salib. Ingin rasanya mengecap panganan khas Timur Tengah itu. Ahh…betapa nikmatnya…
Saat sedang membayangkan kelezatan makanan, kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27) menyenggol bahu.“Ayo!” kata dia, membuyarkan lamunan.
Di antara para peziarah, pedagang souvenir, dan warga yang berlalu-lalang, puluhan polisi dan tentara Israel berjaga-jaga. Mereka mengenakan pakaian dinas berwarna gelap, memakai sepatu bot kulit, dan mengenggam senjata laras panjang. Meski terlihat santai, telunjuk mereka siaga pada picu senapan. Bola mata awas memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang melintas.
Tiba-tiba, ketakutan menyergap. Bagaimana kalau tiba-tiba perang terjadi di antara para peziarah yang tak saling mengenal ini? Bagaimana saya bisa menyelamatkan diri? Ke mana harus berlari menghindari tembakan peluru tentara? “Tenang saja... Mereka memang setiap hari di sini. Tidak akan ada perang,” kata Walid, seolah bisa membaca pikiran orang lain.
Di depan rombongan, ibu dan ayah berjalan pelan. Ibu mengenakan kaus dengan tiga lapis sweater. Di lehernya tersampir syal panjang berwarna hijau muda. Saat itu, bulan Desember, suhu udara di Yerusalem sekitar tiga derajat selsius. Seiring matahari turun, hawa dingin kian menyesakkan dada.Tulang belulang terasa ngilu dan beku. Inilah jalan itu, jalan penderitaan yang dilalui Yesus.
Menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa adalah puncak penghayatan akan iman, kasih, dan harapan saya. Napak tilas mulai dari pengadilan hingga penyaliban Yesus itu juga membuka tabir keberagaman masyarakat yang hidup di Tanah Terjanji, Yerusalem.
Seperti yang kita tahu, kota Yerusalem penting bagi tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam.Selama ribuan tahun, kota itu sudah puluhan kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan dikuasai ulang.Meski tidak diakui dunia internasional, Yerusalem diklaim sebagai ibukota Israel. Oleh orang Palestina, kota itu juga dianggap sebagai ibu kota negara.
Sepanjang perjalanan menelusuri Via Dolorosa, saya berjumpa masyarakat yang berasal dari beragam latar belakang. Misalnya saja, saya bertemu belasan perempuan Islam. Mereka menjemur pakaian, berbelanja sayuran, dan menemani anak-anak bermain. Aktivitas keseharian kelompok Islam seolah tak terganggu dengan kegiatan rohani kelompok Kristen dan Yahudi. Umat Islam yang hidup di Yerusalem adalah orang Palestina yang sudah turun temurun tinggal di sana.
Saya juga bertemu sejumlah pria Yahudi. Mereka mengenakan pakaian tradisional berupa jubah dan celana panjang hitam, sepatu hitam, serta topi lebar berbulu.Walid menjelaskan, ada dua tipe orang Yahudi yang hidup di Israel. Sebagian adalah orang Yahudi Ortodoks (tradisional), sebagian lain Yahudi modern.
Yahudi Ortodoks hidup berdasarkan hukum taurat. Mereka mempercayai satu Tuhan yaitu “YHWH” yang artinya Yang Maha Esa. Keluarga Yahudi Ortodoks biasanya memiliki banyak anak dan tidak menikah dengan kelompok lain di luar kaumnya. Sedangkan Yahudi Modern biasanya lebih liberal, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan penemuan-penemuan ilmiah.
Khalifah Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim.“Karena kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid, sambil terkekeh.
Perbedaan keduanya mudah terlihat dari penampilan fisik mereka.Yahudi Ortodoks biasanya mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam dengan topi lebar.Semakin tebal dan lebar topi yang dikenakan, maka orang itu memiliki posisi penting di masyarakat.Yahudi modern, biasanya memakai baju biasa dengan kupluk (skullcap) kecil khas Yahudi.
Keberadaan orang-orang Kristen di Yerusalem tak kalah unik.Mereka berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Filipina, Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah.Meski berbeda-beda latar belakang, umat Kristen berbaur menjadi satu dalam perjalanan iman menuju Bukit Golgota.
Rombongan melewati jalan yang semakin menanjak ketika hari menjelang sore. Jalan itu memasuki pusat pasar yang berkelok-kelok.Di lokasi itu, Yesus sungguh kepayahan. Menurut tradisi, di sana Yesus jatuh untuk kedua kalinya. Di perhentian itu kini didirikan sebuah kapel kecil milik biarawan OFM.Di kapel itu, saya mengikuti misa yang dipimpin Romo Kornelis Dino Hardin.
Dalam kotbahnya, Romo Dino mengatakan bahwa jalan derita yang dialami Yesus adalah perjalanan menuju kehendak Ilahi.Perjalanan itu bukan semata-mata kesengsaraan, tetapi bukti cinta Allah kepada umat manusia. “Kita dilahirkan dengan sebuah rencana Allah. Seperti yang dialami Yesus, kehidupan yang kita jalani merupakan perjalanan menuju rencana itu,” kata Romo Dino.
Seusai misa, perjalanan dilanjutkan.Kali ini saya masuk ke sebuah pintu kecil yang mengarah ke dalam Gereja Koptik. Begitu keluar dari gereja, saya sampai pada halaman megah yang ramai dengan peziarah.Halaman itu berada dalam kompleksGereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).
Gereja Makam Kudus berdiri di atas lahan yang disebut Golgota, bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Di tempat itu, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar Konstantinus I, pernah datang dan berziarah. Dia mendorong Konstantinus menyelamatkan tempat-tempat suci dengan membangun gereja di atasnya.Selain membangun Gereja Makam Kudus, Helena juga mendorong pembangunan Gereja Kelahiran (Church of The Nativity) di Betlehem.
Gereja Makam Kudus dibangun di atas situs Golgota yang dipercaya sebagai tempat Yesus disalibkan dan dikuburkan.Walid menjelaskan, semua komunitas Kristen, percaya gereja dibangun di atas makam Yesus. “Mulai dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara Franciskan dari Gereja Katolik Roma, Patriarkat Armenia, hingga Kristen Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah, seratus persen percaya gereja ini asli di atas makam Yesus,” kata dia.
Pertumpahan darah pun terjadi di antara umat Kristen.Mereka berebut menguasai Gereja Makam Kudus. Pada tahun 638, Patriark Yerusalem Sophronius menyerahkan semua kunci kota kepada pasukan Khalifah Umar bin Khattab yang merebut Yerusalem. Khalifah Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim.“Karena kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid, sambil terkekeh.
Kunci gereja kini dipegang keturunan keluarga Nusseibeh dan Joudeh.Kedua keluarga Muslim itu bertugas membuka pintu gereja saat fajar menyingsing, dan menutup gereja saat malam datang.Meski kunci pintu gereja dipegang umat Muslim, tidak berarti mereka menguasai Gereja Makam Kudus.Gereja itu dikelola bersama-sama antara Gereja Etiopia, Koptik Mesir, dan Suriah.
Ratusan orang berdesak-desakkan masuk ke dalam gereja. “Pastikan kita berjalan dalam satu rombongan. Jangan terpisah!” tutur Joppy Taroreh, pemimpin rombongan, sambil mengibar-ngibarkan bendera biru, penanda kelompok kami.
Tepat pukul 18.00, pintu gereja ditutup.Orang-orang yang masih berada di luar gereja dilarang masuk.“Ah, untungnya bisa masuk…” kata kakak saya.
Begitu masuk basilika Gereja Makam Kudus, saya melihat batu merah muda yang diletakkan terbaring di atas lantai. Batu itu dipercaya sebagai lokasi pengurapan jenazah Yesus yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Secara bergantian, ratusan peziarah berjongkok dan memeluk batu.
Setelah melewati batu pengurapan Yesus, saya berjalan melewati dua tiang besar, lalu masuk ke bagian yang dinamakan Anastasis, tempat Yesus dimakamkan. Di depan tempat itu, ratusan orang berbaris. Setelah mengantre selama 15 menit, seorang biarawan menemani saya masuk ke dalam Anastasis.Tempat Yesus dimakamkan begitu gelap, begitu sunyi. Inilah akhir perjalanan di Via Dolorosa.
Ziarah ke Yerusalem adalah mimpi dan cita-cita orang tua saya.Tahun lalu, orang tua saya batal berangkat ke Yerusalem karena ayah sakit.Suatu hari, di Gereja Santo Antonius Padua, Jakarta Timur, saya menyampaikan keinginan menemani orang tua ke Yerusalem. Tuhan menjawab doa itu dengan memberi berbagai kemudahan hingga kami bisa menapakkan kaki di Tanah Suci.
Menelusuri Via Dolorosa adalah penggenapan dari rangkaian ziarah saya di Tanah Suci, Yerusalem.
Setelah merampungkan peziarahan di Bukit Golgota, Walid mengajak saya berjalan selama lima menit ke Tembok Barat.Seringnya konflik antar kelompok masyarakat, membuat tentara Israel selalu berjaga-jaga.Mereka memeriksa barang bawaan peziarah dengan menggunakan metal detector.
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya, suatu hari.“Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” jawab Rauf, tenang.
Di balik Tembok Barat terlihat kubah emas Dome of The Rock, dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa, masjid terpenting ketiga bagi umat Islam.
Hidup dalam kemajemukan bukan berarti tanpa masalah.Suatu hari, saat melewati tembok perbatasan Israel-Palestina,bus saya ditimpuk orang asing karena dianggap pendukung Zionist. Di lain sisi, ada pula orang-orang yang memperjuangkan kehidupan damai. Saat natal, misalnya, puluhan anak-anak dari Keluarga Palestina memakai baju Santa Clause dan mengunjungi Gereja Kelahiran di Betlehem.
Hari itu haru Sabbath, hari penting bagi bangsa Yahudi. Sabbath dimulai dari Jumat malam hingga Sabtu malam. Sepanjang hari orang-orang Yahudi tidak diizinkan beraktivitas, selain berdoa. Keesokan harinya, hari Minggu, umat Kristen berdoa di gereja.Pada hari Jumat, giliran orang-orang Islam yang sembayang ke masjid.
Pukul 19.00, ziarah di Via Dolorosa selesai. Rauf (55), pengemudi bus, menjemput kami di halaman tembok ratapan.Rauf adalahorang Muslim Palestina. Dia memiliki restaurant yang terkenal di kalangan Yahudi.Pria itu juga hafal lagu-lagu Kristen. Dalam perjalanan, Rauf sering menyanyi lagu-lagu sekolah Minggu, seperti “Hari ini harinya Tuhan” atau “Aku ba
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya pada suatu hari. “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” jawab Rauf tenang.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DENTY PIAWAI NASTITIE Peziarah. Lahir di Jakarta, 11 Juni 1990. Setelah lulus kuliah jurusan Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Denty bekerja sebagai wartawan di harian KOMPAS.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR