Setelah lewat Sukaraja, terdapat patung Barong di sebuah pertigaan, penanda sebuah kesenian profan, meski Kemiren juga menyimpan Barong sakral yang ditampilkan saat ritual Ider Bumi. Saya terus bergerak ke atas. Kira-kira 800 meter dari patung tersebut, saya berbelok ke rumah yang terletak di pojokan jalan. Halamannya cukup luas, sebuah Umah Tikel yang dimiliki oleh “murid” Iwan, bernama Nidom. Ia selalu menerima tamu-tamunya di selasar rumahnya di bawah naungan sebuah joglo dengan meja kayu Bendha setebal 15 sentimeter. Di atas meja kayu, selalu tersedia stoples berisi gula pasir, untuk tamu-tamunya yang lebih suka campuran manis dalam kopinya. Dapur tempatnya memasak air berada di bawah atap lain di sebelah joglo.
Dari Nidom, saya juga mengetahui hasil kopi rakyat di Banyuwangi sedikit demi sedikit diperbaiki dengan mengedukasi mereka pengolahan kopi yang benar. Dari petani kopi rakyat, Kang Nidom memproduksi sendiri kopi yang ia beri merek: “Yhaiku”. Sebuah ekspresi orang Using, yang berarti sebuah pembenaran, sebuah kesimpulan, sebuah keberserahan.
Dan dari dia pun saya tahu, ternyata tak hanya tumbuh komunitas peminum kopi tapi juga berkembang para penikmat kopi di beberapa cafe yang kini menyajikan kopi asli Banyuwangi. Seperti D’Cinnamon, di belakang Rumah Sakit Yasmin, Minak Kopi, Caffein, Resto Aamdani. Atau pun produk olahan bermerek Seblang, Gandrung, Jarang Goyang, dan tentu saja Kopai Osing.
Buat saya, Nidom seorang yang penyabar saat menerangkan dunia perkopian. Ia dengan telaten menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan kopi. Sesabar caranya menggoreng kopi dengan tungku berbahan kayu bakar di sebelah rumahnya yang asri. Selain mengajari bentuk fisik kopi arabika, robusta, dan buria (excelsa), kopi lanang (biji tunggal), serta caranya membedakan lewat aromanya setelah diproses goreng. Saya makin banyak dicecar beragam istilah: houseblend (rasio campuran kopi robusta dan arabica), caramel, nutty (berasa seperti hazelnut, mede atau coklat), fruity (berasa seperti buah-buahan), spicy (beraroma rempah), cherry (buah kopi yang baru dipetik), green bean (kopi yang sudah dibuang kulitnya), kopi luwak (yang terasa ada amis terbakarnya cangkang siput atau binatang sungai yang dimakan luwak liar), pemuliaan kopi, pollination (proses penyerbukan), masa petik (awal, panen raya, penutup), pangkas lepas panen, dan istilah rumit lain saat pemrosesan biji kopi. Misalnya, full wash, fermentasi, perendaman (berapa lama untuk masing-masing jenis), pulper. Dan ternyata, proses pasca panen, roasting, grinding, penyajian, suhu, dan timing, menentukan berbagai karakter biji kopi.
Saya sempat berkernyit atas ragam istilah tadi. Tentu, berondongan istilah kopi, yang membuat kepala cekot-cekot itu tak dapat diselesaikan dengan secangkir kopi. Ah, biarkanlah saya menikmati penjelajahan mengungkap jati diri kopi asal timur Tapal Kuda ini. Penelisikan ini membuat saya setuju terhadap pernyataan Iwan dan Nidom. Meski belum ada penelitian seksama, uap belerang yang keluar dari Kawah Ijen punya kontribusi mencetak cita rasa atau karakter yang dihasilkan dari kopi arabika dan robusta yang tumbuh di lereng gunung cantik itu. Hasilnya, inilah yang saya nikmati—salah satu kopi espresso terbaik di dunia.
Bagaimana Gagasan Setahun Terdiri atas 365 atau 336 Hari Muncul di Era Romawi Kuno?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR