“Geef mij maar nasi goreng met een gebakken e, Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij.” Suara biduan perempuan itu sayup terdengar dalam iringan genjreng cuk dan cak yang menembus malam. Rasa penasaran terbit menuntun saya mendekati asal suara. Saya menyingkap kelamnya gang-gang sempit di tapak kota kuno abad ke-16. Berjingkat-jingkat berbagi jalan dengan pengunjung lain, yang sama-sama ingin menghindari genangan air hujan.
Bukan apa-apa. Saat lirik itu sampai ke telinga, sekonyong-konyong saya mengenang kisah sang penyanyi yang pernah memopulerkan lagu ini. Oma Wieteke Van Dort, namanya. Si Oma adalah orang Belanda, namun kelahiran Surabaya. Boleh jadi, di Belanda sana, dia nelangsa merindukan santapan Indonesia. Judul lagunya Geef Mij Maar Nasi Goreng—bagikan daku sepiring nasi goreng, begitu kira-kira pinta si Oma.
Di sebuah joglo, saya menyaksikan gemerlap panggung Pasar Keroncong yang digelar di Kotagede. Lagu hindia itu dinyanyikan oleh gadis biduan berkebaya encim. Ia bisa jadi tidak sedang mengalami apa yang dirasakan si penyanyi aslinya. Biduan itu orang asli Indonesia, hidup di Indonesia, dan tentunya tak perlu bersusah hati setiap kali berhasrat hendak menyantap nasi goreng. Setidaknya begitu yang saya tangkap dari lagaknya di pentas.
Sesekali biduan itu mengerling nakal kepada para personil Orkes Keroncong Gambang Semarang yang mengiringnya. Saya dan ratusan penonton menyeringai tawa menyaksikan penampilan jenaka itu.
Kotagede sohor sebagai kawasan pengrajin perak. Meski sempat diguyur hujan, kota kuno itu tetap disesaki muda-mudi yang menandaskan akhir pekannya sembari menikmati Pasar Keroncong Kotagede. Ada tiga panggung yang tersebar: Loring Pasar, Sayangan, dan Sopingen. Jaraknya saling berdekatan sehingga pengunjung bisa mengaksesnya dengan berjalan kaki.
“Yang penting srawung! Bermusik adalah nostalgia sekaligus sarana sosialisasi dan kumpul-kumpul.”
“Masih nunggu Yati Pesek sama Syaharani. Sayang [kalau terlewat]. Kapan lagi?” seloroh pria paruh baya pemilik toko plastik. Kendati larut malam menjelang, dia enggan menutup tokonya. Lelaki itu bukan satu-satunya orang yang setia menikmati pagelaran sampai tuntas. Hiruk pikuk manusia berdatangan tak putus-putus. Sebagian mampir di kedai angkringan, sekadar memesan teh panas mengusir dingin.
Malam itu, saya berjumpa dengan Natsir “Dabey”, salah satu penggagas Pasar Keroncong. Sampai hari ini, di Kecamatan Kotagede saja terdapat 15 komunitas orkes, ujarnya. Hampir setiap malam mereka berlatih, baik itu ada pentas maupun tidak. Dalam banyak kesempatan mereka juga tampil dengan upah uang kopi sekenanya. Kebanyakan, pemain orkes keroncong adalah pengrajin perak. Kata Natsir, mereka tidak ada yang mengenyam pendidikan formal, semua autodidak. “Yang penting srawung! Bermusik adalah nostalgia sekaligus sarana sosialisasi dan kumpul-kumpul.”
Tukang becak, pedagang pasar, pengrajin perak, dan anak-anak muda menjadi jantung acara Pasar Keroncong. Pentas tahun ini menginjak kali kedua. Tidak hanya menampilkan orkes keroncong murni, ada pula congdut (keroncong dangdut) dan congrok (keroncong rock) yang membawakan gubahan lagu-lagu dari Elvis Presley sampai Metallica. Pasar Keroncong menjadi arena unjuk gigi sekaligus panggung kolaborasi antarkomunitas orkes keroncong di Yogyakarta.
Sejatinya, di kota ini tidak hanya musik keroncong yang hidup di atas sikap gotong-royong pegiatnya. Bicara tentang aktivitas bermusik, kota ini memang ibarat ladang nan subur. Lebih dari seratus komunitas musik—baik tradisi maupun modern—tumbuh, saling mengisi, dan mewarnai dinamika kota.
Salah satu yang tetap konsisten adalah Komunitas Jazz Jogja. Setiap Senin malam, mereka menggelar pertunjukan kecil, istilahnya gigs, yang bertajuk Jazz Mben Senen—bahasa Jawa yang berarti Jaz Setiap Senin. Semua warga bisa menikmatinya dan gratis. Pekarangan Bentara Budaya Yogyakarta disulap menjadi panggung jam session yang menyuguhkan tampilan segar, hasil kolaborasi musisi muda dan kawakan.
Saya berjumpa Danny Eriawan, pemain bass Kua Etnika dan pentolan Komunitas Jazz Jogja. Namun, obrolan kami masih harus ditunda. Ia tengah bersiap ber-jam session bersama saksofonis asal Prancis, Samy Thiebault Quartet. Sembari menunggu, saya menikmati penampilan anak muda yang membawakan lagu Cublak Cublak Suweng, yang digubah bernuansa bebop namun tak kehilangan cengkok sinden jawanya.
Setelah Danny dan musisi Prancis itu berpentas, kami melanjutkan percakapan soal cikal bakal Komunitas Jazz Jogja. Awalnya, kata Danny, komunitas ini didirikan secara tidak sengaja. Sesederhana jaz, yang menyatukan enam orang lintas usia dan profesi dalam sebuah kumpulan pada tahun pembuka abad ini. Perubahan besar pada aktivitas bermusik komunitas ini baru terjadi tatkala mereka bertemu dengan pencinta jaz, Tari Padeksha, pada 2005. Tari mempersilakan kumpulan ini menggunakan rumahnya di bilangan Samirono untuk tempat jam session sekaligus meminjamkan alat musik yang dimilikinya. Mereka membuat jam session rutin di Lapangan Pancasila UGM setiap selasa sore, yang dikenal dengan nama Jazz on The Street. “Niatnya supaya kita berani pentas di depan umum, sekaligus mengundang orang-orang yang tertarik bergabung,” ungkap Danny.
“Seniman-seniman di Jogja terlalu asyik berkarya. Sering kali mereka lupa bahwa ketika mereka berkarya artinya sedang membuat produk.”
Sejak itulah komunitas ini bertambah secara organik dan mengalami pasang surutnya. Anggota Komunitas Jazz Jogja berjumlah 200-an musisi Yogyakarta dan luar kota.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR