Teknologi pemindaian sidik jari mulai banyak digunakan di Indonesia karena sosialisasi sudah cukup. Hal ini diungkapkan oleh Pembantu Umum Rumah Sakit Melinda, Bandung Hesty Sarah Hastika, Rabu (3/8).
"Sebenarnya, sistem seperti ini sudah berkembang cukup lama di Yunani. Kemudian berkembang pesat di China dan memasuki Indonesia sejak empat tahun yang lalu," tambahnya. Hesty membantah kalau tes sidik jari ini merupakan pengganti psikotes. "Psikotes dan pemindaian sidik jari tentu berbeda. Psikotes mengukur potensi dan bakat seseorang dari lahir sampai sekarang. Pemindaian sidik jari mengukur potensi dan bakat sejak kecil saja," jelasnya.
Sidik jari ini dianalisis untuk mengenali potensi seseorang sejak lahir. Potensi itu termasuk bakatnya, sifat, cara belajar, dan bidang yang sesuai dengannya. Pemindaian sidik jari juga dapat diterapkan pada orang dewasa. Tingkat akurasi dari alat ini sebesar 85 persen. "Seharusnya bisa 100 persen, tetapi karena masih menggunakan tenaga manusia jadinya ada kekurangan dalam perhitungan," papar Hesty.
Indra Dwi Andika, seoroang operator mesin pemindai sidik jari, menjelaskan sistem ini membutuhkan sampel sidik jari dan telapak tangan pasien, kemudian data yang telah dimasukkan ke dalam peranti lunak di komputer akan dikirim ke laboratorium untuk dihitung. Dalam waktu dua minggu, hasil tersebut sudah dapat dicetak yang lalu dikonsultasikan dengan psikolog yang menanganinya.
"Sampai sekarang belum ada perkembangan yang berarti dari teknologi ini. Selama empat tahun, pemindaian sidik jari masih dalam tahap sosialisasi," jelas Indra yang juga menambahkan bahwa di Indonesia, sistem ini banyak dimiliki perseorangan, bukan institusi kesehatan atau psikologi. Karena itu, masyarakat cukup lambat mengetahui sistem ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Lampung, Eni Muslihah |
KOMENTAR