Selama 50 tahun terakhir, sejak penggalian serius Arslantepe Mound dimulai, para arkeolog perlahan-lahan menggali apa yang mereka yakini sebagai istana milenium keempat SM. Arsitektur bata lumpur yang saling terhubung membentang seluas lebih dari 2.000 meter persegi menunjukkan 'istana publik' pertama, menurut UNESCO.
Dikutip dari Bianet, dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Senin (26/07), Kementerian Luar Negeri Turki telah mengumumkan bahwa Arslantepe, gundukan arkeologi setinggi 30 meter di tenggara Turki yang berusia sekitar 8.000 tahun, telah ditambahkan ke Daftar Warisan Dunia UNESCO.
Dengan tambahan Arslantepe Mound yang berusia 8.000 tahun di Malatya, jumlah situs dari Turki dalam daftar UNESCO telah bertambah menjadi 19.
Baca Juga: Kerangka Bayi Berusia 3.800 Tahun Ditemukan Terkubur Dalam Guci
Bukti arkeologis dari situs tersebut membuktikan pendudukannya setidaknya sejak milenium ke-6 SM hingga akhir periode Romawi. Lapisan paling awal dari periode Uruk Awal dicirikan oleh rumah-rumah bata dari paruh pertama milenium ke-4 SM. Periode situs yang paling menonjol dan berkembang adalah pada periode Kalkolitik Akhir, di mana apa yang disebut kompleks istana dibangun.
Bukti yang cukup besar juga memberi kesaksian tentang periode Zaman Perunggu Awal, yang paling menonjol diidentifikasi oleh kompleks Makam Kerajaan. Stratigrafi arkeologi kemudian meluas ke periode Paleo-Asyur dan Het, termasuk tingkat Neo-Het.
Situs ini menggambarkan proses yang menyebabkan munculnya masyarakat Negara di Timur Dekat dan sistem birokrasi canggih yang mendahului penulisan. Benda logam dan senjata yang luar biasa telah digali di situs tersebut, di antaranya pedang paling awal yang sejauh ini dikenal di dunia, yang menunjukkan awal dari bentuk-bentuk pertempuran terorganisir sebagai hak prerogatif elit, yang memamerkannya sebagai instrumen kekuatan politik baru mereka.
Baca Juga: Temuan Rangka Kucing Bukti Peliharaan Kaum Pengelana di Jalur Sutra
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR