Pengembangan bahan baku obat dalam negeri terkendala oleh minimnya anggaran penelitian. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya manusia intelektual yang cukup banyak yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan bahan baku obat dalam negeri.
Pakar Farmakologi Fakultas Kedokteran UGM Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med.Sc., Ph.D., mengatakan saat ini 96% bahan baku obat di Indonesia dari 204 industri farmasi masih diimpor dari China dan India. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, Indonesia menjadi salah satu negara bersama Filipina, Vietnam dan Myanmar yang ketergantungan bahan baku obat sangat tinggi.
“Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang posisi tawarnya relatif tidak menguntungkan dalam menetapkan kebijakan obat di tingkat regional, apalagi dunia,” kata Iwan. Investasi,lanjutnya, bukan bahan baku obat tapi pada packing, promosi dan penetrasi.
Ketidakberdayaan untuk memproduksi bahan baku obat membuat masyarakat dan pemerintah pasrah terhadap pergerakan harga obat. Sebab, harga bahan baku obat sangat dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang asing. Akibat import bahan baku obat ini, banyak industri farmasi lebih memilih mengembangkan obat-obatan herbal dalam bentuk jamu dan suplemen.
Sementara itu, memproduksi obat baru membutuhkan dana sekitar ratusan juta dollar serta waktu sekitar 13-15 tahun untuk bisa jadi obat. Menurut Iwan, anggaran riset di kalangan perguruan tinggi khususnya untuk riset bahan baku obat dan teknologi kesehatan perlu ditingkatkan.
Dia menyebutkan ada 180 ribu penelitian kesehatan namun sekitar 98 persen termasuk riset sumbu pendek, tidak komprehensif dan berkelanjutan. Padahal riset teknologi kesehatan hanya butuh waktu 3 tahun. “Kalau pun ada riset yang baik, tidak dijembatani. Akibat terbatasnya dana di lingkungan perguruan tinggi untuk riset,” katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR