Malam itu, Kelinci akan berganti wujud menjadi Naga Air. Aroma dupa dan lantunan nyanyian pengantar sembahyang kian menambah takzimnya Kiu Tian Hian Ng, wihara kampung yang menatap angkuhnya tembok permukiman modern di Desa Jelupang, Serpong Utara.
Tak ada kemeriahan petasan atau pun kembang api yang dilakukan warga desa jelang imlek. Sepintas tiada hal istimewa di wihara kampung itu, selain sekumpulan anak-anak yang merenyahkan dendang malam imlek dengan tambur dan ceng-ceng di teras wihara yang berhiaskan dua lampion merah.
Meski hanya diterangi pendaran lilin-lilin, Wihara Kiu Tian Hian Ng terasa marak karena seluruh dindingnya bercat merah. Ko Ali (43), lelaki berkumis itu, mengambil beberapa tangkai dupa panjang lalu membakarnya pada sebuah nyala lilin merah di samping meja pemujaan. Kemudian dia meniup dupa yang terbakar tadi dan menancapkan pada dua buah hiolo–tempat dupa dari kuningan berhiaskan dua sosok kepala yang menggigit cincin besi.
Ko Ali adalah pengurus wihara Kiu Tian Hian Ng sejak empat tahun lalu. Bersama warga di Jelupang lainnya Ko Ali turut memperbesar wihara yang kini luasnya seukuran lapangan bulu tangkis. ”Dulu luasnya hanya empat meter persegi,” ungkap Ko Ali sambil mendekat ke telinga saya karena renyahnya suara tambur dan ceng-ceng.
Sejatinya Ko Ali bukanlah warga asli Tangerang. Asalnya dari Singkawang. Namun dia punya cita-cita menjadi pengurus wihara di tempat merantaunya ini. Menurutnya, mungkin dialah pengurus wihara termuda karena di desa-desa lain umumnya pengurus sudah berumur 50-an atau 60-an. ”Semua karena niat. Kapan lagi kita mau berniat baik, kita ini sudah tua,” ujarnya sambil menata kertas sembahyang.
Awalnya wihara itu adalah rumah abu bagi keluarga besar Ang Po Tjen untuk menghormat leluhur mereka. Meski demikian, atas persetujuan keluarga dan bantuan masyarakat sekitar, rumah abu itu difungsikan sebagai wihara untuk umum. ”Sekarang siapa saja boleh datang untuk beribadah,” tutur Ko Ali.
Beberapa tahun lalu Ang Po Tjen wafat dan di makamkan di pekarangan rumah, seperti umumnya warga Cina Benteng di desa ini. Sebagai penerus dan pemilik wihara ini adalah Rois (70), istrinya. Ang Po Tjen dan Rois dikarunia 12 anak, 44 cucu, dan 17 buyut. Keturunan mereka sebagian tinggal di sekitar wihara. “Anak saya banyak, ada yang jadi tukang ojek, atau ngikut proyek pembangunan perumahan di situ,” ujarnya sambil menunjuk tembok pembatas permukiman modern dan desanya.
Malam itu Rois berkebaya putih dengan rambutnya yang digelung rapi. Dia menanggalkan alas kakinya di teras wihara, lalu membakar kertas sembahyang dan dupa. Rois meyakini bahwa sosok lukisan perempuan yang diapit patung Dewa Bumi dan Dewi Kwan Im itu adalah leluhur mendiang suaminya yang bernama Kiu Tian Hian Ng. Namun, tak seorang pun tahu lebih jauh –termasuk Rois– apakah perempuan itu hidup di negeri asalnya atau menjadi perantau dan bermukim di desa ini.
Selain menyisakan misteri lukisan tua, terdapat beberapa patung kecil Buddha di meja altar dan lukisan kaca yang digantung di dinding. Koleksi terantik wihara ini, menurut saya, adalah sebuah lonceng kecil tua dari kuningan berikut dengan mangkuknya. Apabila keduanya disatukan akan membentuk sebuah stupa. “Sepertinya berasal dari Jawa, ya” ujar Ko Ali setengah bertanya sambil menunjukkan tangkai lonceng yang mirip burung jatayu, tokoh yang tidak pernah digambarkan di ajaran Buddha.
Semarak kembang api dan petasan tiba-tiba membahana dan memecah keheningan malam dari balik tembok pemisah dua permukiman itu, tanda tahun baru imlek telah tiba. Anak-anak yang bermain tambur dan ceng-ceng di teras wihara menghentikan permainannya sejenak untuk mengagumi indahnya rona kembang api.
Entah mengapa, saya turut merasakan kedamaian saat pergantian tahun di wihara kecil ini. Berbeda dengan saudara-saudara kita yang merayakan imlek di Jakarta atau kota besar lainnya, bagi anak-anak itu kebersamaan dalam kesederhanaan tampaknya memberikan makna terbaik dalam setiap perayaan imlek. –Oleh: Mahandis Y. Thamrin.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR