Sejumlah orang berjubah laboratorium putih lengkap dengan masker hijau tengah merawat koleksi miniatur rumah adat Dayak dengan sabar. Kondisi koleksi sudah rapuh dan sangat kering. Mereka mengangkat debu dengan menyikat sisi atapnya dengan hati-hati, lalu menyekanya dengan kain putih. Sebagian lagi mengencangkan atau memperbaiki dinding rumah adat Batak Toba yang miring atau terlepas. Para "dokter museum" itu bekerja di antara himpitan rak-rak yang memajang pusparagam pusaka miniatur rumah adat Nusantara.
"Kami secara berkala selalu memonitor kondisi lingkungan koleksi tersebut," ungkap Ita Yulita seorang staf konservasi Museum Nasional Jakarta, "Namun, kami juga melakukan tindakan segera dan darurat, seperti kasus perbaikan rumah adat ini karena kondisinya sangat parah."
Museum Nasional memiliki 125 koleksi miniatur rumah adat yang terbuat dari kayu, bambu, rotan,ijuk, dan alang-alang. Miniatur itu dibuat dengan cermat dan mirip dengan aslinya–lengkap dengan pagar, tangga, bentuk jendela, dan dekorasi adat. Koleksi ini tampaknya sudah menghuni museum ini sejak awal abad ke-20 sehingga pusaka nan renta itu harus dirawat dari penyebab kerusakan seperti debu, temperatur, kelembapan, serangga, dan rayap.
Semestinya ada latar belakang pendidikan khusus untuk keahlian tim pelestari di Indonesia. Namun, menurut Yulita hingga kini konservasi baru sebagai mata kuliah di jurusan arkeologi, atau peminatan pada program studi. Selama ini timnya memperoleh pengalaman konservasi dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan di dalam negeri, maupun luar negeri. "Sebenarnya apabila orang tahu, kerja di museum ini menarik. Orang lihat sepertinya cuman dibersihin saja, tetapi sebenarnya ilmu untuk itu ada," kata Yulita meyakinkan.
Museum Nasional mempunyai ikatan dengan lembaga-lembaga konservasi luar negeri seperti organisasi antarpemerintah dengan keahlian yang telah diakui dalam pelatihan, pengembangan kapasitas, dan jaringan kerja. Sebagai contoh, COLLASIA (Pelestarian Pusparagam Pusaka di Asia Tenggara), ICCROM (Pusat Studi Pelestarian Kekayaan Budaya), dan SEAMEO-SPAFA (Pusat Regional untuk Arkeologi dan Seni Rupa). "Saat ini saya sedang belajar iklim mikro lemari pajang," ungkap Yulita soal aplikasi pelatihan dari COLLASIA, "perihal pengaturan kelembapan dan temperatur, dan bagaimana mengatasinya."
Koleksi museum yang paling terancam karena temperatur dan kelembapan adalah kayu, kertas, dan tekstil. Untuk mengatasi masalah ini Yulita belajar bagaimana cara membuat perbandingan cermat antara luas ruang pajang dengan gel silika yang digunakan. "Apabila kebanyakan akan membuat kering ruang pajang sehingga memudahkan koleksi remuk atau patah. Sebaliknya, apabila kekurangan akan menyebabkan kondisi ruang pajang menjadi lembap."
"Kita selalu menjaga kagiatan konservasi untuk setiap objeknya itu unik," ungkapnya, "Kondisi alat dan bahan terbatas itu juga membuat kita untuk berkreatifitas dalam konservasi." Ibarat dokter, tim pelestari tidak mempunyai satu resep yang manjur untuk semua penyakit. Semangatnya, menurut Yulita, adalah melestarikan, sedangkan pelaksanaannya dilihat dari kasus kerusakan, jenis benda, dan materialnya.
Salah satu pengalaman paling berkesan bagi Yulita sebagai pelestari adalah ketika melakukan konservasi Pedang Gaja Dumpak milik Sisingamangaraja XII yang telah menjadi koleksi museum sejak 1907. Suasana berjalan seperti biasa hingga beberapa orang yang mengaku keturunan Raja Tapanuli itu tiba di ruangan konservasi dengan hasrat menyaksikan pedang leluhurnya. "Mereka menangis melihat pedang itu sambil bersenandung lagu batak dengan lirih," kenang Yulita, "Kami ikut terharu bangga, ternyata kami juga bisa menolong mereka seperti mempertemukan keluarganya yang hilang."
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR