Sosok Affandi sebagai sosok legenda seni rupa Indonesia ternyata memiliki pandangan dan karya-karya kuat tentang kerakyatan dan humanisme. Bahkan, karya Affandi hampir sama dengan Ki Hajar Dewantara yakni menertawakan Indonesia atas penderitaan rakyat.
Hal ini mengemuka dalam diskusi peluncuran buku The Stories of Affandi, dalam rangka peringatan 100 tahun kelahiram maestro seni rupa Indonesia ini, di Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (9/7). Buku ini diresmikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa pada Minggu (8/7).
Penulis buku M Agus Burhan mengatakan Affandi (1907-1990) merupakan pelukis yang menonjol pada zaman Jepang hingga masa Orde Baru. Bersama dua rekannya, Sudjojono dan Hendra, Affandi terus menerus memberikan empati pada perjuangan dan penderitaan rakyat Indonesia melalui karyanya.
Affandi memiliki sentimen kuat pada nasionalisme hingga lukisannya selalu mempunyai brush stroke yang kuat. Ditambahkan Agus, ada dua sikap dasar yang menjadi penggerak daya kreatif serta berpengaruh pada pencapaian artistiknya.
Pertama, penolakannya terhadap penggambaran yang hanya terbatas pada realitas an sich. Affandi ingin mengungkapkan problem yang ada di balik objeknya, bahkan ingin memberikan tekanan pada problem itu. Untuk itulah ia menolak naturalisme dan eksotisme yang membuai.
Sikap dasar yang kedua adalah empati perjuangan dan penderitaan rakyat merupakan objek dalam obsesi daya kreatifnya. Bahkan ada perluasan makna terhadap bentuk empati Affandi yakni humanisme. “Bentuk empati Affandi tidak hanya pada rakyat, manusia, atau binatang, tetapi juga pada penderitaan benda-benda. Hal ini sangat terlihat dari hubungan objek, teknik, maupun gaya personalnya,” tambah Agus.
Perjalanan seni lukis Affandi dapat dilihat melalui dua tahap yakni tahap pencarian, ditandai dengan realisme. Dan tahap pencapaian yakni melukis dengan warna-warna berat dan goresan liar dengan teknik khas dari platform langsung dari tube cat minyak dan basuhan tangan.
Tidak sedikit dari tema-tema umum seperti penari dan pemandangan yang menjadi objek lukisannya. Akan tetapi, jenis-jenis tema emosional tentang diri dan keluarganya seperti self portrait, serial ibu dan keluarganya menjadi innerworld (dunia dalam) yang menampilkan kejujuran manusia.
Tema-tema kehidupan lain yang ditonjolkan Affandi di antaranya rakyat jelata seperti pengemis, buruh, nelayan, dan kubakan rongsokan mobil.
Ketua Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ST Sunardi mengatakan, karya Affandi menjadi contoh kritik sosial pada pemerintah. Karyanya kental pada penertawaan diri sendiri yang oleh Sunardi dianalogikan dengan karya Ki Hadjar Dewantara yang juga menertawakan keadaaan bangsa Indonesia kala itu.
“Karyanya banyak mencerminkan nilai kerakyatan dan humanisme. Ini menjadi inspirasi yang bagus untuk pelukis saat ini agar bisa menghasilkan karya serupa,” ungka Sunardi.
Perjuangan dan pencapaian Affandi memberikan banyak penghargaan. Tahun 1962, ia menjadi guru besar tamu di Ohio State University USA. Tahun 1968, ia membuat lukisan dinding di gedung utama East West Center Hawaii.
Tahun 1969, ia mendapat Anugerah Seni dan medali emas dari Pemerintah Indonesia, kemudian menerima bintang “Maha Jasa Utama” pada tahun 1978. Sedangkan pada tahun 1974 ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore. Lantas, di tahun 1977 menerima hadiah Perdamaian Internasional dari Hammarskyould Florence Italia dan menerima kehormatan sebagai Grand Maestro.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR