Bea cukai Hong Kong berhasil mengungkap penyelundupan gading seberat hampir empat ton. Gading-gading tersebut disembunyikan dalam kontainer berisi plastik bekas dan biji cokelat yang dikirimkan dari Kenya dan Tanzania.
Menurut juru bicara bea cukai, dalam paket yang tiba di Hong Kong pekan lalu tersebut, secara total, ada 1.209 potong gading utuh dan sejumlah ornamen terbuat dari gading yang ditemukan. Tangkapan selundupan dengan bobot total sekitar 3,81 ton itu merupakan penyelundupan terbesar ke Hong Kong yang pernah terungkap.
Bea cukai Hong Kong mendapatkan informasi adanya penyelundupan itu dari sejawat mereka dari Cina. “Secara total, barang selundupan itu mencapai nilai sebesar 26,7 juta dolar Hong Kong atau atau sekitar Rp32,6 miliar,” sebut juru bicara bea cukai seraya menyatakan bahwa mereka akan meningkatkan kerjasama dengan mitra mereka dari Cina untuk memerangi penyelundupan antar bangsa.
Pada kesempatan tersebut, pihak berwajib Cina juga menangkap tujuh orang pelaku, termasuk seorang warga negara Hong Kong. Sesuai peraturan yang berlaku, siapa pun yang bersalah telah mengimpor kargo yang tidak sesuai dengan dokumen akan diganjar penjara selama tujuh tahun dan denda maksimum sebesar Rp2,4 miliar.
Selain itu, ada pula hukuman tambahan hingga dua tahun bagi mereka yang kedapatan mengimpor, mengekspor, ataupun memproses spesies terancam punah untuk kebutuhan komersil dan denda maksimum sebesar Rp6,2 miliar.
Perdagangan gading gajah secara internasional telah ditetapkan sebagai aktivitas pelanggaran hukum sejak tahun 1989. Saat itu populasi gajah di Afrika anjlok dari hitungan jutaan di pertengahan abad ke-20 menjadi hanya sekitar 600 ribuan ekor di akhir tahun 1980-an.
Meski begitu, peningkatan perdagangan gading gajah ilegal dari Afrika terus terjadi akibat besarnya permintaan dari negara-negara Asia dan Timur Tengah. Di mana gading gajah digunakan dalam obat-obatan tradisional dan juga dibuat sebagai ornamen. Padahal, Afrika merupakan rumah bagi sekitar 472 ribu gajah yang tersisa yang keselamatannya sangat terancam oleh penangkapan, pemburuan, dan hilangnya habitat.
Baca juga investigasi Darah Gading dalam National Geographic Indonesia edisi Oktober 2012.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR