Perawakan perempuan itu tinggi besar, namun langkahnya gesit menyusuri gang sempit di kawasan padat hunian Rungkut Lhor RT04/ RW05 Gang 2, Kecamatan Rungkut, Surabaya Timur. “Mbak Irul, mau kemana?” tegur seorang warga. Ia menghentikan langkahnya untuk sekedar bertegur sapa, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Tiba di pasar yang tak jauh dari sana ia segera menemui para penjual kue tempat ia menitipkan kue buatannya. Nama lengkap perempuan itu Choirul Mahpuduah, 43 tahun. Seperti profesi kebanyakan kaum ibu di kampungnya ia adalah pembuat kue yang kemudian berujung jadi penamaan sebagai "Kampung Kue".
Untuk mendapat pengakuan sebagai "Kampung Kue" prosesnya panjang. Perlu waktu berbulan bahkan bertahun sampai tercipta komunitas "Kampung Kue". Pengagasnya siapa lagi kalau bukan perempuan yang akrab dipanggil Mbak Irul itu.
“Idenya setelah melihat ada ibu-ibu di sini usaha kue sudah turun temurun selama 30 tahun. Tapi kenapa sih cuman begitu-begitu saja hasilnya?” Ia menceritakan sejarah berdirinya 'Kampung Kue'. “Sejak tahun 2010 saya dan ibu-ibu kader di sini mulai mempromosikan 'Kampung Kue'."
Irul merintis kampung kue itu sejak tahun 2009. Saat itu ibu-ibu sudah membuat kue-kue basah yang dijajakan di pasar. Awalnya para ibu ini tidak terkoordinasi, mereka bekerja cenderung sendiri-sendiri. “Kalau dulu jumlahnya belum banyak, masih 20 orang. Ketika mereka bikin kue kukus terus ada yang pesan kue sosis solo, ya ditolak.” Jelas Irul lagi.
”Tapi begitu kita desain jadi 'Kampung Kue' kalau ada orang pesan lemper diterima, pesan apa pun diterima. Karena apa? Kita sadar sudah masuk ke dalam kelompok. Kalau saya tak bikin lemper, ya saya mintakan ke ibu-ibu lain yang bikin lemper.” Irul menerangkan panjang lebar.
Kini dari 20 pembuat kue telah berkembang menjadi lebih dari 60 pembuat kue. Artinya sepertiga kaum ibunya dari 200 Kepala Keluarga yang ada di sana adalah pembuat kue. Peningkatan secara ekonomi terlihat jelas, pihak pemerintah daerah pun mengakui ada peningkatan signifikan dari warganya yang tinggal di Rungkut Lhor Gang 2 RT04/RW05.
“Kalau kita lihat ada peningkatan, produktivitasnya semakin tambah. Kemudian perubahan tingkat kehidupan, dulunya nyekolahkan anak satu, sekarang bisa nyekolahan anak dua.” Jelas Fadjar, Lurah Kelurahan Kali Rungkut.
Pendapat serupa disampaikan Ibu Sunarsih, 43 tahun, pembuat kue yang juga bertetangga dengan Irul, ”Dulu untungnya paling Rp50.000 sehari, kini lebih dari Rp150.000.” Sunarsih hanya membuat kue hanya sekitar 200 - 400 potong kue setiap harinya.
Masalah biasanya timbul dari suami-suami yang melarang istrinya membuat kue karena merasa dipermalukan dan masih sanggup menafkahi keluarga. Solusinya bagaimana? “Untuk negosiasinya diikuti saja apa kemauan suami. Sampai di mana suami bisa bertahan dengan beban ekonomi yang semakin berat, apalagi anaknya tambah besar dan perlu biaya sekolah dan lain.” jelas Irul.
Irul terus memberdayakan kaum ibu di "Kampung Kue" itu, tak peduli ia sendiri sibuk dengan usaha pembuatan kuenya. Setiap hari harus ke sana ke mari untuk urusan kue dan organisasi. Ia juga disibukkan dengan sederet kegiatan lain, maklum Irul adalah ketua PKK di kampung itu.
Suaminya, Riyadi, bisa memaklumi kondisi itu. Suami istri itu berdua bergantian mengurus dua anak mereka. Yang besar sudah kelas lima SD, yang kecil berusia satu setengah tahun. “Saya sudah terbiasa, dulu saya juga aktif di organisasi bersama istri.” jelas sang suami.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR