Nationalgeographic.co.id— “Ketoprak itu merupakan kesenian baru,” ungkap Purnawan Andra, lelaki berusia 34 tahun yang selalu mengikat rambut ikalnya ke belakang. Dia merupakan pegiat dan peneliti seni tari di Surakarta. “Kalau mau menyusuri asalnya, ketoprak merupakan kesenian orang-orang agraris.”
Ketoprak modern—dengan iringan gamelan, alur yang jelas, dan tata panggung—baru muncul pada awal abad ke-20 di Surakarta. Sementara, wayang orang berkembang di Keraton Kartasura sekitar pertengahan abad ke-18. Bahkan, naskah tertua mengenai pagelaran wayang orang yang ditemukan bertahun 1781 dan mulai dipentaskan di luar kraton sebagai pertunjukan komersial sekitar 1880-an.
“Dilihat dari kacamata penonton,” ujar Andra, “wayang orang itu lebih lengkap, ada tarian, pakaian yang glamor, dan dramatisasi cerita.” Secara politis memang kenyataannya wayang orang lebih digemari kalangan keraton lantaran lebih mempunyai punya daya pikat. Sedangkan untuk pertunjukan ketoprak, “kisahnya sangat biasa, pakaiannya sangat biasa.”
“Namun, [ketoprak] punya kedekatan cerita dengan masyarakat yang menjadi daya tarik sendiri,” ujar Andra. Faktor inilah yang merupakan keunggulan ketoprak sebagai kesenian yang lahir dari masyarakat agraris—jati diri masyarakat Jawa. Sebagai sebuah keraifan lokal, menurut Andra, ketoprak sebenarnya sangat dekat dengan masyarakat Jawa, baik legenda, tokoh, maupun pola pengucapannya.
“Kalau posisi sekarang berbicara itu menjadi sangat kabur artinya atau dalam maksud memang sengaja mengaburkan arti suatu peristiwa,” ujar Andra mengajak berfilosofi, “manfaatkan kearifan lokal berbicara ala ketoprak.”
Baca juga:
Artikulasi dalam drama ketoprak sangat cair sehingga sangat mudah untuk mengadopsi ide aktual yang menjadi permasalahan dalam masyarakat. Di sisi lain, sumber cerita wayang orang dari kitab Mahabarata atau Ramayana—sudah ada pakemnya. Oleh karena itu Andra mengerti benar mengapa di suatu masa pada zaman kolonial ketoprak pernah dilarang, bahkan ditunggangi kepentingan politik pada awal masa republik ini berdiri.
Ketoprak memang pernah terjerumus dalam propaganda politik 1955-65 yang turut membinasakan para senimannya—meski mereka bukan simpatisan partai tertentu. Namun, lewat politik pembangunan juga mereka kembali dibutuhkan untuk penyampaian program pemerintah pada 1970-an dan 1980-an.
Tampaknya ketoprak bukanlah anak tiri, namun anak mandiri yang ditempa keadaan menjadi penyitas kehidupan. Hingga kini, di pesisir utara Jawa dan pedalaman Blora masih terdapat rombongan ketoprak yang hidup dari undangan berpentas untuk hajatan desa. Ada juga yang sengaja berkeliling dengan panggung darurat seperti di pinggiran Yogyakarta.
Melihat perjalanan ketoprak dalam masyarakat sekarang, Andra berkomentar, “Ketoprak itu punya kekuatan politis. Jika pemerintah tidak melihat kesenian sebagai sarana potensial—untuk melakukan sesuatu yang lebih baik—itu aneh!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR