Menurut catatan WHO-SEARO, pada 2005 Indonesia mengalami kasus demam berdarah terbanyak di Asia Tenggara (53%) dengan total 95.279 kasus dan 1.298 kematian. Sejak tahun 2006, Isra Wahid dan timnya dari NEHCRI—suatu lembaga penelitian kerjasama antara Singapura dan Indonesia untuk mendeteksi penyakit khususnya TB dan Dengue—berusaha menurunkan tingkat kasus demam berdarah dengue di Makassar.
Alih-alih melakukan penyemprotan setelah laporan kasus diterima seperti perlakukan standar yang diterapkan oleh Dinas Kesehatan setempat, Wahid dan tim justru melakukan penyemprotan jauh sebelum laporan kasus biasanya meningkat.
Dua bulan sebelum puncak musim hujan, survei terhadap Angka Bebas Jentik (ABJ) dilakukan oleh sekitar 1.000 kader dan petugas puskesmas di Makassar selama dua minggu. Penentuan waktu survey angka bebas jentik serta penyemprotan ini didapatkan dengan menarik mundur satu hingga dua bulan dari waktu prediksi puncak curah hujan tahunan yang dibuat oleh Badan Meterorologi dan Geofisika. Jika suatu kelurahan memiliki angka ABJ kurang dari 60%, penyemprotan segera dilakukan tanpa mengganggu jadwal yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan.
Hasilnya? Sejak 2007 hingga 2011, Wahid dan tim berhasil mengurangi infeksi virus dari rata-rata 896 kasus per tahun, menjadi 292 kasus per tahun. Dua belas tahun silam, tepatnya ada 2001, kasus demam beradara di Makassar mencapai angka 1.718. Berkat metode yang ia dan timnya lakukan secara terus menerus setiap tahun, sepuluh tahun kemudian kasus dengue yang dimiliki Makassar hanya mencapai angka 86 kasus.
Dengan metode ini, “Justru insektisida digunakan secara lebih efisien, dan nyamuk tak akan menjadi resisten di daerah tertentu,” ujar Wahid. “Bayangkan jika semua daerah yang terjangkit demam berdarah di Indonesia bisa melakukan hal ini,” lanjutnya penuh harap.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR