“Sungai itu ibarat urat naga,” ungkap Agni Malagina. “Semakin banyak urat naga, semakin baik untuk permukiman.” Perempuan muda itu merupakan ahli sinologi dan pengajar di Universitas Indonesia, juga kandidat doktor dari University of Freiburg, Jerman.
Naga, dalam mitologi Cina, berwujud ular hijau berkaki empat dengan moncong bermisai itu memang kerap dihubungkan dengan simbol kemakmuran atau kejayaan. “Wilayah sungai itu subur dan akses untuk perdagangan mudah,” kata Agni mencoba memberikan pemerian tentang simbol naga yang dikaitkan dengan arti pentingnya sungai.
Agni bersama rombongan mahasiswanya tengah melakukan studi etnografi di tiga klenteng tertua di Tangerang, Banten. Berbicara soal Tangerang, tak bisa lepas dengan komunitas peranakan Cina yang menghuni sehamparan wilayah yang dibelah oleh lenggak-lenggok Sungai Cisadane.
Para leluhur mereka membuka permukiman baru di tepian sungai itu sekitar akhir abad ke-17. Boen Tek Bio, sebuah klenteng pertama di kota itu dibangun pada 1684 di kawasan yang kini dikenal dengan nama Pasar Lama. Namanya bisa diartikan sebagai klenteng kebajikan.
Bangunan renta nan klasik itu menjadi penanda peradaban warga Tangerang. “Ada naga di bubungannya,” ungkap Agni.
Suatu hari pada 1689, mungkin karena penghuninya cepat berkembang, di sisi utara kampung pecinan itu dibangun satu lagi klenteng, Boen San Bio. Klenteng ini pernah terbakar pada 1998—bukan karena kerusuhan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR