Sekitar 200,7 hektare lahan rusak bekas tambak di Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, direstorasi dengan penanaman mangrove selama empat tahun terakhir. Setidaknya 1.000 hektar lahan di kawasan itu masih dalam kondisi rusak yang sebagian besar akibat pembukaan tambak udang.
Restorasi Taman Nasional (TN) Sembilang tersebut merupakan kerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) dalam proyek restorasi ekosistem dalam area konservasi (JICA RECA).
Penanaman mangrove dilakukan sejak 2010 di sabuk hutan mangrove di kawasan Sungai Barong Kecil di TN Sembilang yang mengalami degradasi. Selain itu, dibangun pula jalur mangrove (mangrove trail) yang merupakan miniatur hutan berisi jenis-jenis tanaman di TN Sembilang.
Mangrove trail dimaksudkan sebagai lokasi penelitian dan wisata ekologi. Kepala Balai TN Sembilang Syahimin mengatakan, dari target restorasi seluas 200 hektare (ha), saat ini sudah tercapai 200,7 ha. Kegiatan ini juga diharapkan menghasilkan panduan untuk restorasi di kawasan konservasi dan basis data jenis-jenis vegetasi.
"?Masyarakat yang masih tinggal di kawasan TN Sembilang juga diikutsertakan dalam kegiatan ini," katanya seusai peresmian mangrove trail TN Sembilang, Rabu (20/8).
Salah seorang petambak yang tinggal di TN Sembilang, Muhammad Taher (45), mengatakan, saat ini masih ada sekitar 200 keluarga petambak yang tinggal di Sungai Barong Kecil. Awalnya, petambak di sana mencapai sekitar 1.000 keluarga. Sebagian besar telah meninggalkan kawasan TN Sembilang karena produktivitas tambak udang mereka terus turun.
Menurut Taher, kedatangan para petambak ini pertama kali dimulai sekitar 1995 atau sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan TN Sembilang pada 2003. Mereka merupakan warga korban gusuran dari Sungai Burung, Lampung. "Kami diusir karena lahan kami dibangun tambak udang Bratasena,"? katanya.
Terdegradasi
Chief Adviser JICA RECA Hideki Miyakawa mengatakan, sekitar 1.000 ha hutan mangrove di kawasan TN Sembilang di sekitar Sungai Barong kecil sudah terdegradasi akibat pembukaan tambak. Ke depan, restorasi oleh JICA RECA di 200 ha tersebut diharapkan diteruskan oleh Pemerintah Indonesia.
Restorasi oleh JICA RECA tersebut lebih dimaksudkan sebagai program percontohan, di antaranya mencari jenis-jenis mangrove yang cocok ditanam di TN Sembilang serta penanggulangan hama dan penyakit.
Untuk restorasi ini, dikumpulkan sekitar 31 jenis mangrove yang memang ada di TN Sembilang. Mangrove-mangrove itu kemudian diperbanyak untuk ditanam kembali dalam program restorasi. "Untuk 1 hektar lahan, dananya sekitar Rp 15 juta,"? ujar Hideki.
Manajer Lapangan JICA RECA TN Sembilang Slamet Riyadi mengatakan, akibat pembukaan lahan, sabuk mangrove di kawasan Sungai Barong Kecil di TN Sembilang menipis, yaitu dari ketebalan sekitar 200 meter menjadi sekitar 50 meter. Hal ini berdampak pada semakin parahnya laju abrasi dan sedimentasi karena hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan arus kian tipis.
Dari pengamatan, menurut Slamet, abrasi di kawasan itu mencapai 15-20 meter dalam setahun. Adapun sedimentasi justru terjadi di bagian lain, mencapai 5-10 meter dalam setahun. Kondisi ini mengancam ekosistem mangrove yang menjadi pendukung utama keberadaan beragam fauna.
Luas total TN Sembilang 202.896,31 hektar. Sekitar 87.000 ha merupakan hutan mangrove. Hutan mangrove juga menjadi lokasi pemijahan beragam jenis ikan dan udang yang menjadi sumber mata pencarian desa-desa nelayan di sekitarnya.
Sejumlah satwa langka yang menghuni TN Sembilang di antaranya harimau sumatera, macan dahan, kucing hutan, dan berang-berang.
Pada 2012, TN Sembilang ditetapkan sebagai kawasan burung migran. Dua kali dalam setahun, yaitu sekitar April dan Oktober, TN Sembilang menjadi lokasi singgah dan zona pakan sekitar 800.000 burung migran dalam perjalanan migrasi tahunan dari Benua Eropa ke Australia.
Terdapat pula beberapa permukiman dan desa yang sudah ada sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional. Permukiman dan desa-desa ini masuk zona khusus seluas 2.900,92 ha. Pada 2012, tercatat dua desa berada di dalam kawasan dengan jumlah penduduk 2.140 jiwa dari 651 keluarga.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR