Nationalgeographic.co.id—Lapisan mesosfer Bumi jauh lebih tipis daripada bagian atmosfer tempat kita tinggal. Sebaliknya, atmosfer Bumi jauh lebih tebal di dekat permukaan bumi. Perubahan iklim yang terjadi saat ini ternyata memiliki dampak yang buruk pada atmosfer Bumi.
Tren perubahan iklim dari waktu ke waktu terus menantang. Hal ini memerlukan waktu yang lama bahkan hingga puluhan tahun untuk menanganinya. Ilmuwan memerlukan pemisah dalam penelitian mereka antara apa yang terjadi akibat perubahan siklus Matahari. Emisi gas rumah kaca, dan efek lainnya pada atmosfer Bumi. Semua hal itu, saling terkait dalam pembentukan dan perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Sebuah studi baru dilakukan oleh para ilmuwan yang menggunakan data dari tiga satelit milik NASA, data yang diambil termasuk data pengamatan selama 30 tahun. Mereka menemukan bahwa bagian atas atmosfer secara bertahap mulai menyusut akibat dari emisi gas rumah kaca buatan manusia. Lapisan mesosfer yang ada di atas kutub Bumi saat musim panas telah menyusut 500 hingga 650 kaki per dekade dan mendingin empat hingga lima derajat Fahrenheit.
Dilansir dari Techexplorist.com, James Russell, rekan penulis studi dan ilmuwan atmosfer di Universitas Hampton di Virginia mengatakan, “Karbon dioksida memerangkap panas seperti selimut yang memerangkap panas tubuh Anda dan membuat Anda tetap hangat. Di atmosfer yang lebih rendah, ada banyak molekul dalam jarak dekat, dan mereka dengan mudah menjebak dan mentransfer panas Bumi antara satu sama lain, mempertahankan kehangatan seperti selimut.”
Karbon dioksida dapat memancarkan panas, sehingga menimbulkan peningkatan gas rumah kaca. Hal ini disebabkan karena panas yang ditangkap oleh karbon dioksida lebih cepat keluar ke luar angkasa daripada mendapatkan molekul lain untuk menyerapnya. Akibatnya mesosfer menjadi lebih tinggi dan tipis, serta bagian atas atmosfer mendingin.
Baca Juga: PBB Mau Semprot Bahan Kimia ke Atmosfer untuk Kurangi Suhu Global
Brentha Thurairajah, seorang ilmuwan atmosfer Virginia Tech yang berkontribusi pada penelitian ini mengatakan, “Pendinginan dan kontraksi ini tidak mengejutkan. Selama bertahun-tahun, model telah menunjukkan efek ini. Akan lebih aneh jika analisis data kami tidak menunjukkan ini.” Hasil penelitiannya telah diterbitkan dalam Jurnal JASTP (The Journal of Atmospheric and Solar-Terrestrial Physics) pada 20 April 2021 yang berjudul ‘Trends in the polar summer mesosphere temperature and pressure altitude from satellite observations’.
Para ilmuwan telah menganalisis perubahan suhu dan tekanan berdasarkan data selama kurang lebih 29 tahun di atmosfer yang menutupi langit musim panas di Kutub Utara dan Selatan. Setelah dilakukan pemeriksaan pada bentangan langit sejauh 30 sampai 60 mil di atas permukaan, mereka menemukan bahwa lapisan mesosfer mendingin karena karbon dioksida yang meningkat di sebagian besar ketinggian.
Baca Juga: Tak Ada Atmosfer yang Mendekati Seperti Bumi, Kecuali Planet Kepler-442b
Scott Bailey, seorang ilmuwan atmosfer di Virginia Tech di Blacksburg, dan pemimpin penelitian mengatakan, “Kami memahami fisika awan ini. Dalam beberapa dekade terakhir, awan telah menarik perhatian para ilmuwan karena mereka berperilaku aneh. Mereka semakin terang, melayang lebih jauh dari kutub dan muncul lebih awal dari biasanya. Dan, tampaknya jumlahnya lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya.”
Efek itu menandakan ketinggian tekanan atmosfer tertentu telah turun saat udara didinginkan. Dengan kata lain, mesosfer berkontraksi.
Awan es yang berwarna biru di mesosfer juga dikenal sebagai awan mesosfer noctilucent atau kutub. Awan seperti ini cukup sensitif dengan suhu dan uap air; karenanya mereka juga bisa bertindak sebagai sinyal penting yang memberi tahu kepada kita tentang perubahan yang terjadi di mesosfer.
Baca Juga: Kenapa Atmosfer Matahari Jauh Lebih Panas daripada Permukaan Matahari?
Source | : | techexplorist.com |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR