Sebuah kisah Voyage de Paris à Java terbit pada November 1832 di Prancis. Penulisnya, seorang pemuda berusia 30 tahun. Namanya Honoré de Balzac (1799-1850). Kelak, Balzac menjadi penulis fiksi penting dalam sejarah literatur. Namun, saat tulisan perjalanannya ke Jawa terbit, dia bukanlah seorang pesohor.
“Saya ingin berangkat dari Bordeaux, sambil mempercayai ungkapan terkenal: banyak jalan menuju Roma!” Menurut Balzac tak ada kata-kata yang bisa diungkapkan jelang keberangkatannya pada akhir 1831. Dia pun bersiap mengawali perjalanan meninggalkan Prancis menuju, Bombay, Gangga, Sumatra, Jawa, Banten, dan Cina.
“Melancong ke Hindia Timur itu sangat mahal,” ungkap Balzac dalam kisahnya. “Berapa banyak waktu terbuang, belum lagi luka-luka yang karena kecerobohan.”
Dia punya banyak kesan tentang perjalanannya ke Jawa. “Di Paris, Anda dapat hidup seperti apa yang Anda inginkan: bermain, bercinta, minum sesuka hati. Namun di Jawa, kematian ada di mana-mana. Kematian ada disekitar Anda. Itu terjadi karena senyuman perempuan, meski hanya sekejap dengan pesona gerak nan mengombak.”
Tampaknya Balzac mulai tergila-gila dengan perempuan Jawa. “Jika Anda memutuskan untuk jatuh cinta dan memanjakan kelemahan Anda,” demikian tulisnya dengan gaya puitis, “Anda akan segera binasa.” Mungkin juga saat itu Balzac sedang dimabuk asmara.
Ungkapannya tentang perempuan Jawa tampaknya kian berlebihan, “Perempuan Jawa memiliki kedua mata yang seolah membakar dengan keindahan sayu mirip mata kijang; kaki yang berhiaskan berlian putih, sehingga saya menyebutnya kaki peri.”
Balzac berusaha mendeskripsikan perempuan Jawa yang dimaksud. Dia mengenakan busana kain kasa dari leher sampai lantai dan berikat pinggang kain sutera berwarna. Perhiasannya seperti intan dan mutiara, beraneka cincin dan permata di bawa oleh pelayannya. “Jika sirih telah menggelapkan giginya, setidaknya dia punya nafas yang selalu segar.”
DIA TAK MELULU berbicara soal perempuan. Bentang alam Jawa juga dilukiskannya dalam kisah perjalanan itu. Secara puitis dia mengungkapkan bagaimana jika suatu hari nanti Pulau Jawa kehilangan riasan musim semi abadinya yang memesona, berbagai tempat indah, hutan-hutan perawan, dan kota-kota yang berkilauan.
Dalam Voyage de Paris à Java, dikisahkan pula bahwa orang Jawa punya kebiasaan mengkonsumsi opium. Opium merupakan harta bagi orang timur, demikian hemat Balsac. Lelaki Jawa merupakan seorang pemberani, ramah, dermawan, dan baik hati. “Namun, opium kadang membuat seorang lelaki menjadi runyam dan bahkan bisa membunuh siapa saja yang dia temui.” Lalu dia melanjutkan, “Ini yang disebut amok”—kerusuhan yg melibatkan banyak orang.
“Keris adalah pedang orang Melayu.” Para lelaki biasanya mempunyai keris yang dibubuhi upas (recun tetumbuhan). “Setelah keris digunakan, pemiliknya bisa membersihkan kekuatan racun tadi dengan cara membasuhnya dengan perasan jeruk.”
“Berbeda dengan kebiasaan di Prancis,” ungkapnya. “Anda akan menemukan minuman teh telah jadi dan siap minum di Jawa.” Teh dapat dinikmati di setiap warung dan pengunjung dapat menikmatinya satu, dua, tiga cangkir porselen. “Dan, mereka tak perlu ucapan terima kasih.”
Namun, yang menghebohkan bagi pembaca saat itu adalah pemerian Balzac tentang pohon upas yang menakutkan. Dia menyebutkan bahwa pohon beracun itu dapat membunuh tiba-tiba bagi siapa saja yang menghirup uapnya.
SAYANGNYA, SEPULUH TAHUN setelah kisah Balzac terbit, seorang penjelajah Prancis Dumont d’Urville menjelaskan kebenaran perihal pohon upas. “Dari semua pepohonan, inilah yang pernah ditampilkan dalam sebuah cerita tak masuk akal, pohon racun,“ tulis Dumont dalam catatan perjalanannya. “Cerita negeri peri itu kini membuat para naturalis tersenyum.”
Seorang antropolog sosial yang memenangi penghargaan penulisan kisah perjalanan dari Foreign Press Association 2002, Nigel Barley, turut berkomentar tentang Balsac. “Kisah yang berlebihan menonjolkan sisi romantis dan eksotis tampaknya hal yang wajar pada karya sastra abad ke-19 [...]. Kisah Balzac sungguh memiliki gaya tersebut dan menjadi dikenal luas sebagai kisah klasik.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR