Nationalgeographic.co.id—Pada 13 Agustus 2021, astronom menemukan sebuah asteroid tercepat yang pernah mereka lihat di tata surya. Oleh para astronom, asteroid ini dinamai 2021 PH27.
Periode revolusi yang sangat cepat tersebut tidak lepas dari jaraknya yang sangat dekat dengan matahari. Ia hanya membutuhkan waktu 114 hari untuk mengitari matahari.
Kecepatan revolusi 2021 PH27 memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang dua asteroid, yakni 2019 LF6 dan 2020 AV2. Masing-masing dari asteroid ini mampu mengitari matahari dalam waktu 151 hari.
Penemuan ini juga membuat asteroid 2021 PH27 menjadi objek astronomi tercepat kedua di tata surya. Kecepatan orbitnya hanya kalah dari planet Merkurius, yang mampu mengitari matahari dalam 88 hari.
Namun, berbeda dengan Merkurius yang memiliki orbit stabil, 2021 PH27 memiliki orbit yang lebih lonjong. Asteroid ini memiliki eksentrisitas mencapai 0,7. Titik terdekatnya (perihelion) dengan matahari mampu mencapai 12,4 juta kilometer, bahkan lebih dekat daripada Merkurius (29 juta kilometer). Akan tetapi, ia dapat melenting hingga aphelionnya yang mencapai 118 juta kilometer, lebih jauh daripada jarak Venus dengan matahari.
Dilansir dari Phys.org, asteroid ini pertama kali diobservasi oleh Scott S. Sheppard, astronom dari Carnegie Institute of Science. Dalam observasinya, ia menggunakan instrumen Dark Energy Camera (DECam), yang terpasang di Teleskop Victor M. Blanco, Cerro Tololo Inter-American Observatory, Chile. Instrumen tersebut juga digunakan untuk menemukan komet terbesar dalam sejarah astronomi.
"Di titik perihelionnya, suhu permukaan 2021 PH27 dapat mencapai 500 derajat Celsius, suhu yang cukup panas untuk melelehkan timah," ungkap Sheppard.
Baca Juga: Studi Baru, Bukti Kehidupan Purba di Mars Mungkin Telah Terhapus
Sheppard menemukan 2021 PH27 di kala senja. Dilansir dari rilis persnya, waktu aram (twilight) seperti senja dan fajar merupakan waktu terbaik untuk mencari asteroid di dalam orbit bumi. Hal yang sama juga berlaku untuk Merkurius dan Venus, dua planet yang paling dekat dengan pusat tata surya kita.
Penemuan ini kemudian diikuti dengan observasi dan penghitungan posisi oleh David Tholen, astronom Universitas Hawaii. Observasi lebih lanjut juga dilakukan oleh Marco Micheli dari European Space Agency (ESA), yang menggunakan Magellan Telescopes serta jaringan teleskop Las Cumbres Observatory Global Telescope Network (LCOGT). Dari observasi tersebut, para astronom dapat memperkirakan gerak orbit dan juga berbagai karakteristik dari asteroid ini.
Hasil observasi lanjutan menunjukkan sejumlah temuan menarik. Dari magnitudo absolutnya yang mencapai 17,7, diperkirakan bahwa diameter asteroid ini mencapai lebih dari 1 kilometer. Adapun orbitnya yang lonjong dan tidak stabil membuat 2021 PH27 diduga akan bertabrakan dengan Merkurius, Venus, atau matahari dalam beberapa juta tahun ke depan.
Baca Juga: NASA Memperingatkan Risiko Asteroid Bennu Bisa Menabrak Bumi
Para astronom sendiri masih mengira-ngira asal usul dari asteroid ini, seperti disadur dari Space.com. Salah satu hipotesis kuat memperkirakan bahwa 2021 PH27 berasal dari Sabuk Asteroid antara Mars dan Jupiter, yang terdampar ke orbit yang lebih dalam akibat gravitasi planet-planet dalam.
Namun, orbit 2021 PH27 memiliki kemiringan hingga 32 derajat jika dibanding bidang tata surya. "Bisa juga ia merupakan bekas komet dari luar tata surya yang terperangkap gravitasi planet dalam," tulis Sheppard dalam rilis persnya.
Untuk menjawab hipotesis tersebut, para astronom harus bersabar cukup lama. Pasalnya, sang asteroid saat ini tengah bergerak ke belakang matahari. "Asteroid ini kemungkinan besar akan kembali pada awal 2022," tulis Sheppard.
Bagi Sheppard dan timnya, observasi tahun depan diharapkan dapat menyibak lebih lanjut tabir yang disembunyikan asteroid ini. Namun dengan luasnya tata surya, bukan tidak mungkin mereka akan menemukan objek-objek baru di tengah kegelapan antariksa.
Baca Juga: Temuan Dua Asteroid Bermateri Organik di Antara Mars dan Jupiter
Source | : | space.com,phys.org |
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR