Nationalgeographic.co.id—Antusias masyarakat terhadap film sangatlah tinggi. Adanya film-film Hollywood yang masuk ke Hindia-Belanda sejak abad ke-19 selalu diminati. Handrini Ardiyanti dalam jurnalnya berjudul Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya, publikasi tahun 2017, menjelaskan bahwa para etnis Cina yang ada di Hindia-Belanda pada saat itu memainkan perannya. "Mereka menyewakan jasa pemutaran film Hollywood kepada para pejabat Eropa, hingga pribumi tertentu di Hindia-Belanda" tambahnya.
Dunia perfilman Indonesia baru dimulai lewat berdirinya bioskop atau gedung film. Pada 5 Desember 1900, berdiri bioskop pertama Hindia-Belanda di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, Jakarta. Hal ini menjadi upaya bagi pemerintah Hindia-Belanda untuk menciptakan bisnis baru melalui industri perfilman.
26 tahun kemudian, jauh sebelum Indonesia merdeka, sebuah film bisu pertama diluncurkan pada tahun 1926, berjudul Loetoeng Kasaroeng. Film ini pertama dirilis oleh NV Java Company pada 31 Desember 1926, dan tayang di bioskop sampai dengan 6 Januari 1927. George Krugers yang merupakan Indo (Jawa-Belanda) menyutradai film ini, dibantu dengan seorang Belanda, bernama Heuveuldorp.
"Leotoeng Kasaroeng adalah dongeng yang melegenda bagi masyarakat Pasundan (Sunda), ia (Wiranatakusumah) sangat menyetujui dan sangat terobsesi untuk mengembangkan kesenian dan kebudayaan sunda dalam film pertama di Hindia-Belanda" tulis Lutfiana Khoirunnisa pada karyanya berjudul Peranan Etnis Cina Dalam Industri Perfilman Pada Zaman Hindia Belanda Tahun 1900-1942, publikasi tahun 2020.
"Surat kabar sohor kaliber De Locomotief menyebut bahwa adanya film bisu pertama di Hindia-Belanda, sebagai mijlpaal (tonggak sejarah) bagi produksi film Hindia-Belanda," tulisnya. Masyarakat Hindia-Belanda, utamanya pribumi, sangat meminati film-film produksi Hollywood.
Wiranatakusumah, bupati distrik Bandung pada saat itu, menyetujui tentang keputusan penggarapan Loetoeng Kasaroeng. Pemilihan para aktor dan aktris, bersama dengan arahan Kartabrata, mengambil dari kaum priyayi pribumi, salah satunya adalah anak bupati, Wiranatakusuma V.
Baca Juga: Pengalaman Bung Karno Nonton Film Kelas Kambing Sampai Film Gedongan
Pada tahap produksi, sinematografi dipegang oleh George Krugers, dengan arahan Heuveldorp. Film ini juga memunculkan aktris dan aktor pendatang baru, pribumi. Mereka bernama Maroana dan Oemar. Sinema pertama ini menjadi tolok ukur bagi pemerintah Hindia-Belanda dalam mengembangkan seni perfilman.
Awalnya, seluruh aktris dan aktor berakting tanpa arahan. Hasilnya mengecewakan. Kemudian Kartabrata berdiri di belakang kameramen dengan memberi arahan, dan meminta setiap pemeran untuk berlatih sebelum syuting dilakukan. Setiap shot yang dilakukan di gua dan tebing, beberapa aktris berlatih dengan keras karena medan yang sulit. Mungkin di masa tersebut belum terpikirkan untuk menggunakan stuntman atau pemeran pengganti.
Baca Juga: Bagaimana 'One Hundred and One Dalmatians' Menyelamatkan Disney?
Baca Juga: Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan
Loetoeng Kasaroeng merupakan cerita rakyat dari Tanah Sunda, berkisah tentang kisah asmara. Purbasari dan Purbararang adalah saudara perempuan yang bersaing. Purbararang, kakak perempuan, menggoda Purbasari tentang kekasih terakhirnya, Lutung (Guru Minang). Pacar Purbarang, Indrajaya, adalah pria yang tampan. Namun, kakak beradik tersebut mengetahui bahwa Lutung, si Guru Minang sebenarnya adalah dewa, yang memiliki wajah lebih tampan dari Indrajaya.
Film diiklankan pada surat kabar berbahasa Belanda dan Indo-Melayu. Loetoeng Kasaroeng diputar pertama kali di dua bioskop ternama, Bioscoop Metropole (Jakarta) dan Bioscoop Majestic (Bandung). Diperkirakan harga tiket bioskop saat itu cukup mahal. Hanya priyayi dan orang-orang Eropa yang umumnya dapat menonton langsung di bioskop. Berbeda dengan pribumi dengan ekonomi rendah yang tidak dapat menontonnya, bahkan melihat di balik layar bioskop dengan tampilan terbalik.
Baca Juga: Film yang Membuat Setiap Orang Bisa Selamatkan Terumbu Karang Dunia
Source | : | Repository UNEJ |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR