Saya beruntung dapat menjumpai Lancar, pemuda Talang Mamak yang berusia 25 tahun dari Sungai Limau, Bukit Tigapuluh. Ia mendapatkan kesempatan emas: menimba ilmu di Sekolah Kehutanan Menengah Atas di Pekanbaru selama tiga tahun.
Kini, Lancar menjadi bagian penting dari Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang memberikan kesempatan bagi penduduk asli dalam upaya pelestarian hutan. Ia juga mengajar di "sanggar belajar". Pihak Balai menggelar kelas informal yang mengajarkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta sejumlah pengetahuan dasar bagi anak-anak Suku Talang Mamak.
Saya pun teringat akan sosok Fahmi. Pemuda Talang Mamak ini juga berpatisipasi aktif dalam kegiatan pelepasliaran orangutan. Ia mengajarkan kepada saya cara memancing ikan di sungai. Nyaris setiap kali kami rehat, ia berhasil mendapatkan pancingannya.
Saya yang terkagum-kagum segera mendekat dan memotretnya bersama ikan hasil tangkapannya. Lalu, saat saya memujinya ia menjawab bijak dengan rendah hati, "alam begitu baik kepada kami, kami dapat makan ikan atau babi dengan cuma-cuma. Karena itulah kami dengan senang hati akan menjadi hutan adat kami ini agar tetap lestari."
Keempat rekannya yang lain mengangguk di belakang, menguatkan pemikiran arif komunitas asli, pewaris langsung kekayaan alam Bukit Tigapuluh.
Bersama petugas balai, saya menyinggahi Dusun Datai, tempat komunitas Talang Mamak. Kami harus menyusuri Sungai Batang Gangsal dengan perahu bermotor. Perjalanan yang berbalutkan petualangan belantara tropis Sumatra ini memakan waktu dua hari.
Tiba di dusun, saya memilih menginap di penginapan yang dikelola oleh warga dan balai taman nasional. Warga menjamu saya dengan menu lokal: berbagai olahan petai!
Lari dari rutinitas megapolitan, hal yang sangat saya nanti ialah turut serta beraktivitas menjalani keseharian mereka, seperti menugal (menanam padi tadah hujan), menyadap getah karet, hingga menadah getah buah (resin) tanaman jernang (Daemonorops sp).
Selain itu tentunya atraksi wisata alam yang tidak boleh dilewatkan ialah melihat langsung mekarnya “bunga” endemik Cendawan Muka Rimau (Rafflesia hasseltii) dengan periode kunjungan terbaik yaitu sekitar Bulan Juni-Juli. “Masuk ke Bukit Tigapuluh, belum sah kalau belum melihat langsung Cendawan Muka Rimau mekar”, goda Andri Hansen Siregar, koordinator Humas Balai TNBT yang langsung meledakkan rasa penasaran saya.
Jenis tumbuhan lain yang tidak kalah menarik untuk diamati ialah Salo (Johanesteima altifrons) yang merupakan bagian dari keluarga palmae (palem-paleman) berdaun selebar hingga dua meter dan biasa dipakai penduduk setempat untuk dinding atau atap rumah.
Kekayaan hayati dari kawasan Bukit Tigapuluh yang luas membuatnya bak permadani hijau yang membentang jika dilihat dari udara. Nyanyian primata seperti siamang dan kera ditingkahi lirikan penasaran mereka pada gerak-gerik manusia terus menemani sepanjang perjalanan yang akan selalu saya kenang ini.
Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler edisi Januari 2012.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR