Rawa kecoklatan, hijau rimbun dedaunan, dan biru langit menyambut kami di Asmat, Papua. Beberapa kali terlihat elang terbang mengitari sarang. Itulah panorama Asmat yang menyegarkan mata, mendamaikan pikiran.
Kami menyusuri potong Famborep di Kabupaten Asmat, Papua, Agustus lalu. Sungai itu terasa teduh oleh kanopi dedaunan. Kami pun terlindung dari sengatan matahari.
Sensasi keteduhan dan ketenangan kali potong itu kemudian berganti arus bergelombang saat kami memasuki Sungai Jetsy yang lebih lebar. Kami langsung melipat tangan dan badan agar terlindung dari sengatan matahari. Setelah melaju dengan longboat selama 4 jam, kami tiba di Dermaga Atsj di pinggir Sungai Bets. Riuh anak sekolah berebut permen menyambut kami.
Sama seperti di Agats, warga Atsj juga jarang menginjakkan kaki ke tanah. Jalan, lapangan, halaman, dan rumah semuanya dibangun di atas tanah rawa berlumpur yang tebal. Hamparan papan kayu besi sekitar 1,5 meter di atas tanah bagaikan karpet merah bagi tamu yang datang ke Atsj.
Entah berapa banyak pohon yang ditebang untuk membangun Atsj dan daerah lain di Asmat. Hampir tidak ada bangunan semen dan batu bata, semuanya dari kayu. Namun, mulai tahun 2011, di Agats yang menjadi ibu kota Kabupaten Asmat, pemerintah membangun jalan beton beraspal sepanjang 1 kilometer. Tidak seberapa memang jika dibandingkan total jaringan jalan di Agats yang mencapai 17 kilometer.
Butuh penyesuaian saat mulai menyusuri jalanan tanpa pagar pengaman. Walaupun selebar 2 meter, tetap saja mata terpaku ke jalanan, takut terperosok dan jatuh ke lumpur. Apalagi, ditambah dengan bunyi berderit dan kayu beradu setiap kali kaki melangkah.
Sore itu, kami berjalan menyusuri hamparan papan kayu besi menuju Paroki Atsj, tempat kami menginap. Sapaan ”selamat sore” terucap dari semua orang yang berpapasan sepanjang perjalanan kami menuju tempat menginap. Aneh juga rasanya karena tiada hentinya membalas ”selamat sore” kepada orang yang belum kenal.
Memang, orang Asmat terkenal akan keramahannya. Siapa pun kita, pasti akan mendapat sapaan serupa dari warga. Bahkan, sepanjang perjalanan dari Agats menuju Atsj, banyak warga yang melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalas dengan lambaian tangan.
Gelap mulai datang, lampu-lampu senter milik warga mulai menerangi jalanan. Listrik memang terbatas di Asmat dan hanya tersedia dari jam enam sore hingga tengah malam. Kami memasak ikan kerapu di dapur pastoran. Ikan itu kami beli dari penduduk dalam perjalanan menuju Atsj.
Ukiran dan perahu
Keesokan harinya, kami melihat kegiatan warga memahat ukiran di sanggar seni Asmat. Karya ukiran itu jugalah yang membuat Michael Rockefeller, putra Gubernur New York, Amerika Serikat, Nelson Rockefeller, datang ke Asmat untuk kedua kalinya pada tahun 1961. Ia ingin melengkapi koleksi keunikan ukiran Asmat yang akan dipamerkan di Museum Primitive Art, New York. Sayang, ia tewas di belantara Asmat dalam ekspedisi tersebut. Namun, berkat jasanya, Asmat dikenal dunia dan dianggap sebagai situs warisan dunia yang harus dilestarikan.
Pagi itu, enam pematung tekun mengerjakan ukiran mereka untuk diikutkan dalam seleksi Pesta Budaya Asmat Ke-27. Pesta yang diselenggarakan pada 9-14 Oktober lalu itu untuk mewadahi dan memperkenalkan kebudayaan Asmat kepada dunia luar. Bukan itu saja, ukiran hasil seleksi akan dilelang dengan nilai fantastis.
Dari kayu yang diukir, tidak terlihat gambar pola yang biasa dibuat sebelum diukir. Pikiran, mata, dan tangan mereka menyatu dengan pisau pahat yang terus bekerja. Imajinasi mereka terus mendampingi selama mengukir. Ketekunan dan kerja keras imajinasi mereka membuahkan hasil karya yang luar biasa.
Ukiran mempunyai peran penting dalam kehidupan orang Asmat. Ukiran hadir pada tifa, tameng, perahu, bahkan dayung. Awalnya, ukiran Asmat dibuat untuk mengenang dan menghadirkan roh leluhur. Seiring perkembangan zaman, tema ukiran berkembang. Sekarang ini banyak ukiran dibuat untuk melukiskan kehidupan sehari-hari.
Sama seperti ukiran, perahu juga mempunyai peran penting dalam kehidupan orang Asmat yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Selain sebagai alat transportasi, perahu dari satu batang pohon berukuran besar juga digunakan untuk berburu dan berperang. Bahkan, sejumlah orang menganggap perahu Asmat adalah 'jew' (rumah adat warga Asmat) berjalan. Aspek gotong royong dalam perahulah yang membuatnya disebut demikian.
Untuk membuat perahu dibutuhkan sedikitnya lima orang. Di Distrik Sawa Erma, Asmat, kami melihat setiap orang mempunyai peranan masing-masing dalam proses pembuatan perahu. Ada yang berperan sebagai pembuat cekungan di batang pohon, menghaluskan, dan juga membuat ukirannya. Saat perahu digunakan, lima hingga enam warga mendayung bersama. Nilai kebersamaan tergambar dari perahu tradisional Asmat.
Bagi sejumlah warga, saat ini kebersamaan dan gotong royong semakin luntur dengan banyaknya bantuan perahu fiber bermesin dari pemerintah. Semangat mendayung bersama mulai digantikan dengan uang bensin. Warga menyebut pengguna perahu fiber dengan ”pantat fiber”. Ya, karena mereka tinggal duduk dan menarik gas, bukan berdiri dan mendayung bersama.
Asmat memang berhadapan dengan perubahan zaman dan gaya hidup. Semoga keteduhan dan keguyuban warga tidak berubah.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR