Mengutip dari siaran pers, Biennale Jogja XII 2013 berangkat dari perspektif yang melihat praktik seni kontemporer sebagai representasi dari moda ‘produksi-distribusi-konsumsi’ yang telah membentuk globalisasi budaya.
Sebagaimana diuraikan dalam pernyataan kuratorial berikut ini: “Aliran dan pertukaran modal telah mengubah pemahaman kita mengenai alam dan gagasan. Cara kita menghadapi kenyataan yang berubah dan kemampuan kita untuk berpindah tempat dengan lebih mudah telah mempengaruhi persepsi kita atas banyak hal.
Pameran ini akan dilaksanakan melalui jalur kolaborasi, pertukaran dan perjumpaan—di antara karya-karya seni, para seniman dan gagasan-gagasan. Sebagaimana sebuah suatu percakapan, pameran ini tidak didorong sebuah tema, melainkan dipengaruhi oleh karya-karya yang membentuknya.
Menjelajahi gagasan-gagasan tentang tanah air, diaspora, tempat asing, migrasi, perjalanan, sirkulasi, keuangan, karya seni, pengalaman, dari garis-garis imajiner yang menghubungkan tempat, melalui ekonomi dan pengalaman buruh migran, hingga sirkulasi barang-barang, karya-karya seni dan pameran ini secara menyeluruh menjadi situs sinkretisme–dalam arti linguistik—yang berbicara kepada Yogyakarta, sebuah kota yang sinkretik dalam formasi politik budayanya.” (Agung Hujatnikajennong dan Sarah Rifky, Februari 2013).
Tema ‘Not A Dead End’ dipilih dari konsep dan imaji bahwa Biennale Jogja sedang melakukan perjalanan mengelilingi planet bumi. “Perjalanan ini seperti lingkaran, di mana titik berangkat kita adalah tujuan juga,” jelas kurator Biennale Jogja XII 2013, Agung Hujatnika.
“Dimulai dari Indonesia menuju ke India, kawasan Arab, Benua Afrika, kawasan Amerika Latin, lalu ke kepulauan Pasifik dan Australia, dilanjut ke kawasan Asia Tenggara, dan tiba kembali ke Indonesia.”
“Terjemahan bebas Not A Dead End adalah ‘bukan jalan buntu’. Perjumpaan antara Indonesia dengan Kawasan Arab sebagai sebuah refleksi dari perjalanan nilai-nilai kebudayaan juga. Penyebaran kebudayaan bersifat reproduktif dan bertransformasi terus-menerus. Proses ini masih memberi kita harapan. Ini bukan jalan buntu,” pungkas Agung Hujatnika.
Yustina Neni, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta mengatakan, “Gagasan terpenting dari format pertemuan dan perjalanan di dalam rangkaian Biennale Jogja Equator adalah menciptakan medan refleksi terhadap Biennale Jogja sendiri.
“Sehingga kasus-kasus yang dihadapi atau yang ditemukan ketika berbicara dengan mitra, itu memantul kembali kepada persoalan yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Dengan demikian, Biennale Jogja merupakan metode atau cara bicara yang lain untuk membicarakan diri sendiri.”
“Yang umumnya terjadi ketika Indonesia berhadapan dengan Arab adalah terbatas pada isu-isu keislaman. Persoalan keislaman itu adalah satu hal yang kemudian dibicarakan di dalam biennale ini. Namun demikian, sesungguhnya berbicara tentang Arab tidak hanya bicara tentang keislaman, karena dunia Arab adalah dunia yang heterogen.”
“Hal lain tentang Biennale Jogja adalah bahwa ia merupakan biennale yang intim, biennale yang sederhana. Biennale Jogja tidak membicarakan isu-isu besar yang umumnya diekspos media massa, melainkan tentang isu yang dihadapi oleh pribadi-pribadi,” pungkas Neni.
BJ XII 2013 mencoba menawarkan sudut pandang-sudut pandang lain melalui eksplorasi medium senirupa dan penciptaan karya seni yang berbeda dari biasanya.
Direktur Artistik BJ XII 2013, Farah Wardani mengatakan, “Jika melihat banyak seniman Mesir yang melakukan eksplorasi medium yang tidak lazim (tidak terbatas pada lukisan atau patung), tetapi dengan menggunakan media baru dan tidak konvensional.”
“Ini juga sebagai salah satu tawaran untuk mencoba melihat dari sudut pandang lain dan dari sudut pandang mereka sendiri. Sehingga publik memiliki persepsi-persepsi baru dalam melihat persoalan-persoalan besar seperti yang sering dibahas di media massa ataupun media sosial,” ujar Farah.
Baca juga Perjumpaan Dua Kawasan di Garis Khatulistiwa via Biennale Jogja (1)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR