Alergi seperti asma diketahui dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas. Asma serta reaksi anafilaksis (reaksi alergi) dapat berakibat fatal dan mematikan.
Turunnya daya dukung lingkungan akibat perubahan iklim dan faktor epigenetik diyakini turut mendorong merebaknya gangguan alergi dewasa ini. Meski tidak menular, prevalensinya dikhawatirkan sudah meningkat di negara-negara berkembang.
Presiden Organisasi Alergi Dunia (WAO), Prof Ruby Pawankar, dalam Kongres Tingkat Dunia ke-8 International Society for Developmental Origins of Health and Disease di Singapura (18/11) menyatakan, prevalensi kasus alergi seperti asma dan rhinitis atopik meningkat signifikan beberapa dekade terakhir.
Pawankar menyebut, diperkirakan sebanyak 400 juta orang terkena alergi, sementara asma menjangkiti 300 juta warga di dunia. "Tiga puluh sampai 40 persen penduduk dunia menderita berbagai macam alergi. Prevalensi kasus terutama meningkat di negara berkembang di kawasan Asia Pasifik yang banyak polusi," ujarnya.
Menurut dia, terungkap bahwa peningkatan tersebut tidak terlepas dari faktor lingkungan yakni polusi dari rokok dan pestisida serta berkurangnya mikrobiota alami yang dibutuhkan tubuh.
Hal ini ikut didorong oleh faktor perubahan iklim dan gaya hidup, secara khusus konsumsi makanan. Apalagi dengan masih minimnya pelabelan makanan di negara berkembang.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR