Kalau diminta menyebutkan nama negara yang memiliki para pelatih sepak bola jempolan, Belanda bisa dikedepankan. Negeri Kincir Angin boleh dibilang setara dengan Italia yang dikenal sebagai negeri gudang para pelatih sepak bola.
Indikasinya terlihat dari kemudahan menemukan pelatih kenamaan dari Belanda. Siapa yang tak kenal pelatih Louis van Gaal ataupun Guus Hiddink? Selain kedua orang itu, masih ada banyak pelatih top lain dari sana seperti Frank Rijkaard, Bert van Marwijk, hingga Martin Jol.
Rahasia keberhasilan Belanda dalam menelurkan para pelatih berkualitas tidak lepas dari kultur unik dalam sepak bola mereka. Mirip seperti Italia, Belanda terbiasa mengajak para pemainnya untuk berpikir tentang sepak bola.
Sejak menjadi pemain, orang Belanda tidak hanya asal mengikuti instruksi pelatih. Lebih dari itu, mereka mencoba mencari tahu alasan di balik putusan sang pelatih. Bahkan, para pemain di Belanda tak jarang berani mengkritisi taktik pelatihnya.
Kebiasaan ini belum tentu ada di negara lain. Mendiang pelatih asal Inggris, Bobby Robson, dibuat kaget ketika melihat tingkah anak didiknya di PSV Eindhoven. “Di sini para pemain sangat tertarik dengan taktik, tentang bagaimana kami akan bermain, dan cara kami dalam mengubah sesuatu,” ujar Robson.
Bukan cuma Robson yang terkejut. Eks pemain Roda Kerkrade dari Nigeria, Ajah Wilson Ogechukwu, juga geleng-geleng kepala. “Pelatih malah tidak sering berbicara. Justru para pemain yang lebih sering mengeluarkan pendapat,” katanya. Orang Belanda sendiri mengakui bahwa mereka memang senang berdebat. Mereka melakukannya karena merasa tahu dalam segala hal. “Kami orang-orang Belanda memang kepala batu,” ujar eks pemain kenamaan timnas Belanda, Johan Cruyff. “Bahkan, ketika berada di belahan dunia lain pun kami akan mengajari orang berbuat sesuatu.”
Kebebasan berpendapat
Perdebatan tidak menjadi tabu di Belanda. Sebaliknya, kebiasaan itu dihargai karena di sana setiap orang dianggap setara dalam segala hal, tak terkecuali dalam pengetahuan tentang sepak bola.
Budaya seperti itu tumbuh subur berkat perkembangan Calvinisme yang hingga kini masih menjadi dasar teologi di Belanda. Calvinisme yang merupakan pemberontakan terhadap ajaran Katolik Roma ini mengajarkan orang untuk melihat Injil sendiri ketimbang asal percaya terhadap Pastor.
Secara tidak langsung, ini mengajari orang untuk tidak mudah tunduk terhadap otoritas. Tidak hanya itu, ajaran itu membuat semua orang merasa “bisa dan mampu” dalam segala hal.
Dalam sepak bola, hal itu mendorong perdebatan tentang taktik karena setiap orang diasumsikan sama-sama mengerti. Akibatnya seorang pemain bisa mempertanyakan pilihan strategi dari pelatihnya.
Dalam porsi yang berlebih, kebiasaan ini memang akan merugikan tim. Namun, kegemaran berdebat soal taktik dan strategi juga memiliki buah positif. Pemain Belanda terbiasa ikut memikirkannya sejak dini. Kebiasaan itu akan menjadi bekal berharga untuk menekuni karier sebagai pelatih nanti.
Tak heran, Belanda tidak pernah kekurangan stok pelatih andal. Selalu saja ada orang yang mampu tampil ke depan karena keberadaan budaya unik yang dipicu ajaran Calvinisme dalam sepak bola mereka.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR