Saat malam, Alor yang masih tetap bagian Indonesia tampak gelap gulita dan sunyi. Hanya lampu dari menara suar yang menjadi penghias wajah ujung Pulau Alor di malam hari.
Di tanah Flores, Nusa Tenggara Timur, kami dimanjakan keelokan panorama, kombinasi sempurna pemandangan pegunungan dengan persawahan serta keindahan laut dengan pantai.
Pada masa lalu, Alor merupakan bagian dari jalur perdagangan Nusantara. Setidaknya, catatan tertua Negarakertagama karya Mpu Prapanca abad 14 telah menyebut Alor. Tentara Majapahit dikabarkan mengirim pasukan ke daerah di Alor yang bernama Munaseli. Dalam buku itu disebutkan, ada wilayah Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan.
Alor juga disebut dalam catatan perjalanan keliling dunia kapal Spanyol yang ditulis Antonio Pigaffeta, 8 -25 Januari 1522.
Wilayah Alor Timur, di ujung Timur Pulau Alor, memiliki luas 572,4 kilometer persegi dan dihuni oleh sekitar 9.000 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah nelayan dan bertani.
Jalan darat menjadi satu-satunya pilihan bagi warga Alor Timur untuk ke ibu kota Alor, Kalabahi, yang berjarak tiga jam perjalanan ke arah barat. Keterbatasan sarana transportasi membua warga hidup dalam keterbatasan. Saat warga DKI Jakarta tengah berunjuk rasa menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi Rp6.500 per liter (premium) dan Rp5.500 per liter (solar), di Alor Timur warga biasa membeli per liter Rp10.000 untuk premium, dan Rp8.000 untuk solar.
Menurut staf Kecamatan Alor Timur, John Malaikosa, mereka harus membeli BBM dengan harga mahal karena pasokan dari stasiun pengisian bahan bakar umum di Kalabahi, yang kerap diwarnai antrean panjang.
Kesulitan lain adalah sumber air yang berjarak sembilan kilometer dari Sewala ke Maritaing— debit air yang dialirkan juga masih kecil sehingga belum merata. Kalau sudah musim kering atau kemarau, waktu seakan berhenti di Alor Timur. Jalan-jalan kampung yang berdebu—karena sebagian aspal terkelupas— menjadi sepi. Rumah-rumah warga dengan halaman yang berhias pohon jambu mete dan kelapa juga sepi. Warga memilih berdiam diri di rumah, tidak ada yang bisa dikerjakan di ladang.
Musim kering melanda Alor sejak Agustus. Rerumputan kering dan pepohonan meranggas. Sebagian lahan menghitam sisa pembakaran lahan. Beberapa area bekas pembakaran lahan tampak di areal perladangan di tepi kampung. Batu cadas dan kerikil pun menyembul di balik rerumputan dan semak yang hangus terbakar. Warga terbiasa membakar sebelum musim kemarau berakhir agar siap tanam ketika hujan pertama turun.
Saat ladang tak bisa digarap ini, warga hidup dari berburu rusa dan babi hutan. Mereka pun membuat gula merah, gula semut, sampai moke dari rumpun pohon lontar, untuk dijual di sekitar kampung atau ke pengepul.
Kemiskinan dan kekeringan membuat aktivitas ekonomi di Alor Timur berjalan lesu. Pasar Seribu yang ada di kecamatan ini pula telah berhenti beroperasi sejak lima tahun lalu lantaran perputaran uang sangat minim. Warga hidup dalam kemiskinan. "Dulu orang-orang sini barter atau pakai uang seribu. Sekarang tidak ada lagi orang berjualan karena tidak laku," kata warga Desa Maritaing, Anton Saiputa (28).
Sebanyak 73 persen wilayah Indonesia terdiri atas lautan. Kedaulatan di laut butuh penjagaan dari rongrongan negara lain. Akibat penjagaan yang tak maksimal, ikan-ikan kita dicuri oleh melayan negara tetangga. Selat Malaka dan lautan Indonesia bagian timur menjadi sasarannya.
Bukan para penjaga kedaulatan tidak bekerja, tetapi jumlahnya yang terlalu sedikit menjadi salah satu penyebab tidak maksimalnya penjagaan tersebut. Keberadan petugas navigasi pelayaran di pulau terdepan seperti Pulau Alor, juga tidak kalah ironis. Jumlah mereka hanya tiga orang dari idealnya lima orang per menara suar.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR