Tenang dan nyaman, seperti kembali ke rahim ibu sejenak. Kesan ini melekat sejak kali pertama saya menyelam, awal 2001 di Pulau Satu, Kepulauan Seribu. Sampai ke-18 kali, saya hanya rekreasi, melihat langsung warna-warni terumbu karang, ikan dan biota. Jantung berdegup lebih kencang berbaur keriaan kala menjelajah rumpon truk dan bus piton yang dibenamkan Kolinlamil TNI-AL, LON-LIPI, POSSI di sekitar Pulau Kotok Kecil pada 1979, dan wreck (rongsokan) kapal yang tenggelam pada 1982 di perairan Pulau Papa Theo (Tondan Timur). Mengintip ke dalam terumbu buatan yang ditumbuhi karang dan dihuni aneka biota itu melecut sensasi seperti dalam film-film petualangan.
Beach & Underwater Clean-Up oleh Komunitas Peduli Laut dan Bubbles Divers yang saya ikuti di Pulau Kotok Besar dan Kotok Kecil, Kepulauan Seribu, 20-21 September 2001 memberi pengalaman baru yang mencerahi. Untuk kali pertama, saya memperhatikan padang lamun (ilalang laut) yang jadi tempat lahir dan bermain bayi-bayi ikan, udang, kepiting, teripang.
Saat memunguti sandal jepit, botol air mineral yang bertebaran di pantai, saya jadi sadar : laut selayaknya bukan tong sampah raksasa. Terumbu karang seharusnya miskin hara. Sampah, organik sekalipun, akan memicu merebaknya ganggang yang menutupi dan membunuh terumbu karang. Plastik bening yang melayang sering membunuh biota yang keliru mengira sebagai ubur-ubur, dan mencekik lehernya saat coba menelan.
Hari kedua, satu rangka VW Combi bebas cat dan bola-bola semen diturunkan di antara dua pulau berseberangan itu. Rumpon ini akan jadi terumbu buatan, pilihan tempat latihan penyelam pemula. Sampai 2005, saya mengikuti kegiatan rutin di tiap minggu ketiga September itu bersama Ody Dive dan Waterland Bogor. Bukan sekadar upacara tahunan, tapi jadi kebiasaan : tiap kali melihat sampah kala menyelam, saya dan teman-teman pun mengambilnya. Tapi, bila tali atau sampah non-organik telah ditumbuhi karang, biarkan saja.
Pengalaman baru berikutnya, 12-13 April 2003, Reef Check di Kepulauan Seribu. Sensus terumbu karang ini sungguh menantang. Kemampuan kita melayang seimbang (buoyancy) harus baik, lihai menukik, jangan sampai merusak karang kala mendata sepanjang bentang transek. Inilah kesempatan mengenali jenis-jenis karang, ikan dan benthos (biota yang cenderung diam di tempat macam bulu babi).
Yang terpenting : memantau kesehatan terumbu karang – adakah yang porak-poranda, memutih karena pengeboman, potas atau kenaikan suhu. Adakah bulu seribu (Acanthaster plancii) alias Crown of Thorns (COT)? Bila melimpah lebih dari 30/ha, diameter lebih dari 18cm, bisa dianggap hama karena melahap karang dengan cepat. Sebagian harus diangkat ke darat. Jangan semua, karena ia juga penyeimbang. Kalau ia tiada, karang meja akan tumbuh tak terkendali, menghalangi jenis karang lain berkembang. Reef Check kedua, Agustus 2004 saya ikuti di Karimun Jawa, Jawa Tengah bersama rekan-rekan mahasiswa Undip, Semarang.
*) Dimuat di “Jaga Taman Bermain Kita,” National Geographic TRAVELER Vol.I, No.3, Mei-Juni 2009, hlm.79-80.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR