Bahan pembuat gitar memang tergantung dari kayu. Namun, para pembuat gitar ini juga sadar bahwa mereka juga harus berbaik hati dengan alam. Berbagai cara mereka tempuh agar sisa gitar buatan mereka tak terbuang dengan percuma.
Ki Anong Naeni pertama kali membuat gitar pada 1947 karena ia senang music. Pada masa itu, ia membuat gitar dari kayu peti teh Cina yang ia beli di tokko. “Tanpa guru, hanya dari buku-buku dan contoh yang dibawa orang dari luar,” ujuarnya. Lama-kelamaan akhirnya keinginan membuat gitar sendiri itu mendorong Ki Anong masuk sekolah kejuruan jurusan kayu.
Ki Anong juga menuturkan, kadang-kadang ada pula tukang kayu yang datang menawarkan kayu-kayu besar. “Kadang, kita coba-coba juga. Sekitar 2005, misalnya, Mukti-Mukti yang ayahnya pegawai PJKA, dapat kayu sisa bantalan rel KA. Kita pakai buat gitar pentatonik laras 17 temuan Mahjar Angga Kusumah Dinata, normalnya laras 12. Ternyata gitar itu sampai sekarang baik-baik saja.”
“Bahkan serbuk kayu sisa gergajian pun bermanfaat. Dicampur lem, lebih kuat. Karena lem mengandung serbuk kayu lebih mudah masuk ke pori-pori kayu,“ jelas Awan, satu-satunya dari 18 cucu yang mengikuti jejak Ki Anong Naeni. Sisa potongan kayu dimanfaatkan untuk membuat alat-alat kerja pembuatan gitar sesuai kebutuhan.
“Tiap potong kayu begitu berarti,“ timpal Gilles de Neve sambil menunjukkan ke rumah kaca untuk sanggar kerja yang tertata rapi, “Sisa kayu gitar bisa dimanfaatkan sebagai penampang radio telanjang penghibur pekerja sanggar atau pengukur ketebalan dengan tingkat ketelitian enam angka di belakang koma. Potongan kayu untuk palu, kepala kikir dan bor. Kayu peti kemas untuk alat bantu kerja macam kayu amplas dan penyerut. Bubuk kayu saya gunakan untuk menambal.“
Gilles juga memikirkan hemat energi. Ia membuat peralatannya sendiri. Ada pelengkung tubuh dari silinder logam, di dalamnya ia menggunakan elemen setrika, diisi dengan serbuk keramik hingga cepat panas dalam 10 – 15 menit, sudah tak perlu daya listrik lagi. Panasnya tahan empat jam.
Iwan Abdulrachman kami temui di meja bangku kayu bernaungan tanaman rambat di keteduhan 5.000 m2 halaman rumahnya di Cigadung Raya Tengah, Bandung. Lagu-lagunya – Melati dari Jayagiri, Flamboyant (1968) hingga sekarang masih abadi.
Sambil menunjukkan pohon jambu mawar yang akarnya dipercaya pengumpul banyak air hingga di situ ditempatkan pompa air, Iwan menukas, “Jauh sebelum ada kampanye tanam pohon dan bagi-bagi pohon, sejak pertama konser saya selalu membagikan bibit pohon. Misalnya pinus, oksigen yang dihasilkan menyehatkan manusia. Karenanya sekitar sanatorium selalu ditanami pinus. Jangan biarkan pohon yang ditebang untuk membuat gitar, menangis. Jangan biarkan gitar untuk kelengahan sia-sia. Darinya harus lahir karya-karya yang mengilhami.“
*) Dimuat di “Kisah Sang Gitar : Getar Nada Gitar, Metamorfosis Indah Sepotong Kayu,“ Green Living Guide, edisi khusus NATIONAL GEOGRAPHIC Indonesia, Agustus 2009, hlm.84-89.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR