Bismillahirrahmanirrahim.... H Bustahar mulutnya komat-kamit seraya menaburkan beras kuning dan bunga rampai ke arah rantok (antan). Maming, perempuan pendamping Bustahar, belawas (menyanyi) tentang puja-puji terhadap Sang Khalik dalam bahasa Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. ”…ade ne onyak-maik pendait bai si lemak mudi (apa yang dilakukan hari ini mendapatkan kebaikan buat anak cucu kelak)….”
Nyaris tidak ada khalayak pengunjung yang berkata-kata, terpaku sejenak, mendengar suara bening Maming, ditingkahi suara seruling yang memecah suasana hening, remang-remang sorotan lampu, membuat suasana menjadi mistis magis. Itulah sekelumit ritual dalam pertunjukan kesenian rantok sebagai acara pembuka Gebyar Musik NTB di Taman Budaya NTB, Mataram, yang berlangsung tiga hari yang dibuka Wakil Gubernur NTB M Amin.
Dalam acara itu, ditampilkan kesenian tiga etnis besar di NTB: Sasak, Samawa (Sumbawa), Mbojo (Dompu, Bima), ditambah kesenian etnis lain, seperti reog ponorogo dan barongsai. Dodi Subiantoro, Kepala Pengembangan Mutu Taman Budaya NTB, mengatakan, pentas ini mengangkat kesenian tradisi yang mulai punah, menerima pluralisme dan multikultarisme dalam kehidupan masyarakat, sambil senantiasa merawat budaya yang telah diwariskan nenek moyang. Salah satu wujud pewarisan budaya itu adalah kesenian Rantok asal Desa Nyiur Lembang, Kecamatan Narmada, Lombok Barat.
Kesenian Rantok (mirip kareko kandai di Dompu dan Bima) adalah antan yang dipukul dengan lesung secara ritmis sehingga menimbulkan bunyi seperti gamelan. Para pemain yang berjumlah 10 orang memukul bagian pinggir rantok, yang dua di antaranya bertugas sebagai dirigen atau pemugah. Rantok ini digunakan untuk menumbuk padi dan ketan—untuk dijadikan tepung, bahan membuat jajan, seperti dodol dan wajik, sebagai menu umumnya dalam setiap gawe urip: perkawinan dan khitanan.
Beberapa hari sebelum hari puncak, epen gawe (tuan rumah) didatangi para tetangga, tua-muda, untuk membantu mereka, di antaranya menumbuk padi dan ketan. Jika tuan rumah sudah siap dengan bahan, rantok dipukul dengan irama tertentu— disebut rangsangan—bertujuan mengundang warga berkumpul di rumah si empunya hajat. Kemudian, seperti ilustrasi di atas, Sang Kiai memimpin acara pemeras, ritual memohon doa kepada Sang Khalik agar acara berjalan lancar hingga selesai.
Namun, setelah tahun 1975, dengan adanya mesin penggilingan yang hemat tenaga manusia, menumbuk padi dan ketan dengan rantok jarang dilakukan meski tradisi itu masih berjalan di beberapa desa di Lombok Barat dan Lombok Utara. Toh, di tengah laju zaman, suara rantok yang beradu dengan alu masih punya ruang tumbuh kembang menyusul tambahan suling dan vokalis. ”Ini membuat lebih ’hidup’ sebagai seni pertunjukan,” ucap H Warti Asmunadi, Kepala Desa Nyiur Lembang, Ketua Kelompok Kesenian Rantok.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR