Pukul 07.00 pagi, 23 Agustus 2002, tim kami menuju desa Haruku-Sameth di Haruku, pulau besar berpenduduk yang terdekat dengan Ambon. Dulu, dari pelabuhan Tulehu, dengan speedboat cuma 7-10 menit. Dikawal tentara, karena kami dianggap “tim Nasrani” walau saya dan dr Onny, muslim, kami bertolak dari terminal darurat Passo, 30 menit dari pusat kota dengan angkot sewa Rp 60.000. Laut jelang kemarau yang biasa jatuh September – Maret begitu tenang, langit cerah. Ber-speedboat Rp 15.000/orang, 45 menit kemudian kami tiba di dermaga utama Pulau Haruku, disambut penduduk.
Yang pertama menarik perhatian saya adalah tugu Kalpataru. Ternyata, pulau ini pada 1985 dianugrahi penghargaan lingkungan itu karena berhasil mempertahankan kelestarian ikan lompa(t), sejenis salmon sepanjang 10-15 cm, lebar 1-3 cm, ikan air tawar-laut yang saat pasang, menjelang bertelur sekitar September-Oktober berkelompok melompat ke arah pertemuan Wai (sungai) Mimi dan WaiYira. Saat surut, anak-anak menggantikan hidup induk mereka kembali ke laut.
Di sela-sela tugas memotret dan membantu kegiatan tim medis dan sosial ke SD yang sebagian dibangun dari gaba-gaba, tulang daun aren sagu, saya sempat menelusuri dua dari 11 desa Muslim-Nasrani di pulau ini. Ada sisa benteng tua bertahun 1605 (tiga tahun setelah VOC berdiri), dan lagi-lagi miris, sisa altar batu berhias cantik. Gereja tua sejak 1820 itu turut jadi korban konflik yang pecah di sini pada Januari 2000. Ah…
Tapi warga kini menatap ke depan. Ke-130 rumah yang hangus, satu per satu mulai dibangun lagi. Musik keras sudah terdengar lagi dari rumah-rumah. Pala, cengkeh, kenari, hasil utama pulau ini, dijemur di pelataran. Saya menikmati keramahan warga yang banyak tertawa dan suguhan kue dan hidangan khas yang betul-betul lezat. Babengka, kasbi (singkong) goreng dan sambal, gudangan, ikan bakar colo-colo, koho-koho, sambal papaya, tege-tege, asida nasih bulu(h) dan santran.
Saya dan dr Onny yang sama-sama tak bisa cuti terlalu lama pulang lebih dulu. Ke Ambon dulu baru ke Jakarta, dengan pesawat komersial, Merpati Airlines. Kami dijadwal terbang 29 Agustus 2002 pukul 15.00, tapi sampai pukul 13.00, mobil sewaan penjemput belum datang juga. Padahal perjalanan dari pusat kota ke Laha kan butuh sekitar satu jam. Tenang saja, takkan ditinggal pesawat, mereka menunggu penumpang,“ tukas si sopir, kalem, kala kami mengomelinya kala ia tiba 30 menit kemudian. Dan itulah kali pertama kami mengalami pesawat ngetem menunggu penumpang. Mentang-mentang satu-satunya maskapai yang masih beroperasi di masa konflik. Merpati memang (tak pernah) ingkar janji.
Tiga tahun kemudian, saat damai betul-betul pulih, 28 September - 1 Oktober 2005, saya dan teman-teman jadi tamu kedua Maluku Divers yang menempati hotel dan dive centre lama di Pantai Lamalatu itu, menikmati surga bawah laut Ambon dan sekitarnya. Kami mengulanginya 7 - 14 April 2006, ke Banda Naira dulu lalu kembali ke Ambon. Balik lagi pada 25-29 November 2006 menyelami Ambon-Lease sampai Pulau Molana, Seram, Saparua dan Nusa Laut. Pergi pulang dari Jakarta dengan normal, pakai pesawat komersial di Bandara Internasional Pattimura yang baru.
Tanah Maluku, tunggu, saya akan selalu kembali!
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR