Kami memulai penjelajahan di pagi itu. 17 Agustus, diperingati sebagai Hari Kemerdekaan RI. Dari Stasiun Jakarta Kota, kami berencana naik KA Benteng Ekspres pukul 07.55. Ada jeda menikmati stasiun yang lebih dikenal sebagai BEOS (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij, Maskapai Angkutan KA Batavia Timur) ini.
Stasiun terbesar di Indonesia dengan 12 jalur rel melayani KA lokal Jabotabek dan KA jarak jauh ke pelosok Jawa ini kokoh dan bersih. Dibangun pada 1870 atas rancangan Frans Johan Louwrens Ghijsels bergaya art deco sesuai filosofi Yunani Kuno: sederhana itu cantik. Gerbang utama berbusur lunette (bilah jendela kaca), peron berangka atap bentuk kupu-kupu berpenyangga kolom baja, bangunan sayap berdinding dalam keramik coklat muka kasar dan dinding luar berplester butiran hitam.
Pagar baja tinggi membatasi peron dengan area jalur rel dan deret bangku yang hanya bisa dimasuki calon penumpang yang telah membeli tiket. Dua petugas pemeriksa tiket di pintu masuk dan keluar bersikap ramah, dan berperan ganda sebagai pemberi info jadwal KA—melayani kebiasaan orang Indonesia yang masih lebih suka bertanya ketimbang mencermati papan info.
KA Benteng Ekpres tiba tepat waktu. Bersih dengan dua deret bangku berhadapan sepanjang dinding gerbong. Pasar tradisional, permukiman padat terkesan kumuh berlatar gedung dan apartemen menjulang dari balik jendela sepanjang perjalanan melintasi 11 stasiun, halte aktif dan tak aktif dengan sedikit penumpang saja saat itu. Ada pasangan muda, nenek dan beberapa cucunya keturunan Tionghoa.
Setiba di Stasiun Tangerang, kami bergegas mengikuti Pak Buntario, petugas KA yang sedang tak berdinas yang baru kami kenal, mengajak segera naik angkutan kota (angkot) jurusan Kota Bumi menuju Vihara Nimmala Boen San Bio. Dilanjutkan dengan becak, tibalah kami di vihara yang dibangun pada 1689 itu.
Saya turut bersila, merunduk haru lalu menegakkan kepala, merinding bangga di Ruang Dhammasala, tempat ibadah mingguan umat Buddha. Ada kebaktian khusus hari itu menyambut 17 Agustus dengan parita (doa suci) agar negara, pemimpin dan rakyat Indonesia sejahtera, diikuti pekik Merdeka, dan diakhiri bersama menyanyikan Indonesia Raya. Tak kalah agung dari upacara kenegaraan di Istana Merdeka yang saya lintasi dalam perjalanan dari Kebayoran ke Stasiun Kota tadi.
Karena tiada angkot dan becak lewat, kami jalan santai menuju Kampung Sewan, permukiman Cina Benteng—keturunan Tionghoa yang terdampar di Indonesia pada 1407. Dengan cara ini, kami menemukan dan singgah di Pura Kerta Jaya, satu-satunya pura bagi 550 kepala keluarga umat Hindu di kawasan Tangerang, Ciledug serta Bumi Serpong Damai.
Beberapa ratus meter kemudian, kami mengagumi bendungan Cisadane yang oleh warga disebut Bendungan Pintu 10. Di antara pilar-pilar megah bangunan sejak masa penjajahan Belanda itu tiap beberapa menit terintip pesawat lepas landas dan mendarat dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta.
Di seberang rumah Pak Iing, ketua "bolong lima" (RT 005) Kampung Sewan, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, kami temui Pak Goyong (59) bertelanjang dada menyerut batok kelapa untuk dibuat tehyan, salah satu alat musik gambang kromong Irama Masa yang ia pimpin.
Lagi-lagi saya menahan air liur saat menengok oven Tio Cui Nio atau akrab disapa Encim Cucur, pembuat kue cucur, pepe, bika ambon, kue ku terigu, pastel, dan agar dorayaki. Sejak 1980, Encim Cucur membuat kue dan mengepulkan asap dapur setelah sang suami pensiun sebagai sopir. Kami beli untuk oleh-oleh.
Telah jelang senja ketika kami beranjak ke Boen Tek Bio yang berdiri sejak 1684 di kawasan Pasar Lama. Sambil berbuka puasa dengan liang teh dari pedagang keliling, kami amati umat Konghucu, Tao dan Buddha bersembahyang di kelenteng tiga agama yang khas dengan lampion dan lilin-lilin raksasa merah menyala itu.
Kami urung lagi menikmati Stasiun Tangerang yang gulita. Ternyata karena hari itu tanggal merah, tiada jadwal KA setelah senja. Kami kembali ke Jakarta dengan bus. Esok, masih ada kereta yang akan lewat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR