Suasana kekeluargaan yang hangat sangat terasa di kediaman Sitti Soltieff yang juga menjadi markas Jayapura Support Group Papua, dan yang terpenting : menjadi rumah singgah, menampung, merawat dan mengasihi ODHA dan keluarganya yang tak tahu ke mana lagi harus mencari bantuan untuk sekadar meringankan beban hidup.
Semua bermula dari rumah panggung kayu berkamar dua. “Pasien pertama di tempat tidur, saya tidur di bawah, menjaganya. Pas pasien banyak, mereka di kamar, saya tidur di luar.“
Sitti kemudian dihubungi Konstan Karma, Wakil Gubernur saat Jap Salossa menjabat pada 2002-2007. Bahwa ada dana KPAD/AIDS Daerah Rp 434 juta untuk membangun rumah singgah. Mereka kesulitan mencari lokasi pembangunan rumah karena selalu ditolak warga setempat.
“Padahal saat itu, baru saja saya menyelesaikan pemugaran rumah menjadi rumah tempat satu lantai dengan pinjaman kredit Rp 10 juta. Akhirnya saya menerima tawaran perombakan kembali. Pada Oktober, rumah dibongkar bertahap sehingga kami tetap bisa tinggal di rumah ini.“
Sitti tak dapat menutupi kekecewaannya, “Ternyata rumah dengan dana sedemikain besar, dibangun asal-asalan. Bila hujan, bocor di sana-sini hingga banjir. Kami merasa sama sekali tak dihargai. Akhirnya, dengan swadaya, kami perbaiki lagi.”
Rumah singgah ini pernah menampung 10 ODHA dan keluarganya, 20 orang sekaligus! ”Kami melakuan giliran jaga untuk pendamping. Ada hukum alam. Karena capek, tak digaji, mereka keluar satu per satu. Itu sudah. Mereka akhirnya jadi penggiat LSM. Awalnya saya kecewa, tapi ya sudahlah.Mereka bantu, dapat ilmu, lalu pindah ke LSM,“ kata Sitti, ringan.
Saat saya berkunjung, hanya ada satu ODHA yang masih tinggal, Lisa si remaja putri. “Kami menampung, membina agar mereka berdaya untuk kembali ke masyarakat. Rumah singgah kosong berarti bagus. Berarti mereka mandiri, sudah berani hidup kembali di tengah masyarakat.“
Tapi, sepinya rumah singgah juga bisa berarti, para ODHA berpulang ....
Sitti tak bisa menyembunyikan rasa harunya ketika memperlihatkan dokumentasi foto yang tersemat rapi di sejumlah buku album di ruang keluarga. Robert menunjukkan dokumentasi foto yang tersimpan di laptop.
“Ini D, di hari-hari akhirnya,“ katanya tentang seorang ODHA pria, “Lihat, tinggal tulang berbalut kulit. Ketika Robert memandikan jasadnya, semua lantai berubah merah. Seluruh permukaan tubuhnya ternyata dipenuhi bisul mengering. Kami membawanya dengan berperahu ke kampung halamannya.“
Saya jadi teringat Ordo Cinta Kasih dari Bunda Theresa di Kolkata (Calcutta), India yang menyediakan rumah cinta bagi kaum papa.
Kekuatan Cinta Keluarga
Siang itu, rumah Sitti diramaikan kedatangan sepasang keponakan dari adiknya. Tiada jarak antara mereka dengan para relawan dan ODHA.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR