Hari itu, di nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn, kami menyelisik 28 baris prasasti berbahasa Belanda lama. Berikut ini kutipan tiga baris yang menarik karena berkait dengan Sang Kapten:
“D[en] H[eer] F[rançois] TACK UYT DEN HAAGH GEB[oren] 1649 28 M[...]Y [...] C[...]R[...]SOERA [...] FEB 1686.”
Beberapa patah kata dalam kutipan prasasti itu hilang karena ditimpa sebuah ukiran “HK No.26” yang dibuat pada saat proses pemindahan makam dari Hollandsche Kerk (HK) ke Kebonjahe pada awal abad ke-19. Lilie mencoba menerjemahkan dari rangkaian huruf yang tersisa, “Tuan François Tack dari Den Haag lahir 28 Mei 1649 wafat di Kartasura 8 Februari 1686.”
Saat ini terdapat dua pendapat tentang keberadaan makam Tack. Ada yang mengatakan bahwa Tack dimakamkan di Benteng Jepara, sementara pendapat lain meyakini bahwa raga Sang Kapten itu bersemayam di Batavia.
“Untuk membawa jenazah François Tack ke Batavia tentu terlalu jauh,” ungkap Lilie pada kesempatan lain. “VOC kemudian memutuskan untuk memakamkannya di loji—benteng—kompeni di Jepara.” Namun demikian, menurut Lilie, diduga pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) jenazah Tack dipindahkan dari Jepara untuk dimakamkan kembali ke Batavia. Buktinya, nama Tack terukir di sebuah nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn di Batavia.
Tampaknya, penjelasan Lilie telah mengakurkan dua pendapat tentang lokasi sejati makam Tack: Sang Kapten pernah dimakamkan di Benteng Jepara, kemudian dipindahkan ke Batavia. Di Benteng Jepara tinggalan Portugis itu VOC telah membangun cabang kantor dagangnya untuk kawasan Mataram yang perawatannya dibebankan kepada Keraton Kartasura.
Mengapa Lilie menduga pemindahan makam itu terjadi tatkala Joan van Hoorn berkuasa sebagai gubernur jenderal?
Sang Gubernur Jenderal, menurut pendapat Lilie, ingin menunjukkan kepada masyarakat tentang kepahlawanan Tack, saudara ipar laki-lakinya. Dengan demikian, menurutnya, Tack sudah sepantasnya dimakamkan secara terhormat di dalam Kruiskerk atau 'Gereja Salib' bersama keluarga orang tua Sang Gubernur Jenderal, Pieter Janse van Hoorn.
Peristiwa pemakaman ini ibarat politik pencitraan yang akan menaikkan pamor Sang Gubernur Jenderal, demikian menurut dugaan Lilie. Kelak, gereja itu pada awal abad ke-18 menjadi Hollandsche Kerk—bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR