“Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal,” ujarnya. Andai kata Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia —sebagai seorang yang hanya berpangkat kapten —mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja.
Sekilas misi terakhir Kapten Tack. Pada akhir 1685, Tack dikirim dari Batavia ke Keraton Kartasura, Jawa Tengah, karena memanasnya perlawanan pemberontak Bali terhadap VOC. Sang dedengkot pemberontakan itu adalah Untung Surapati. Malangnya, pada 8 Februari 1686, dia dan pasukannya terjebak dalam kemelut pertempuran di sekitar Keraton Kartasura. Laskar Surapati pun berhasil membinasakan mereka. Tack tewas secara mengenaskan dengan 20 luka di sekujur tubuh.
Lalu siapakah sosok terhormat mertua Tack yang bernama Pieter Janse van Hoorn?
Awalnya, Pieter merupakan seorang pedagang mesiu di Batavia namun bangkrut. Kemudian, kembali lagi ke Batavia dan menjabat sebagai penasihat pajak, dewan kota Batavia, dan sederet jabatan bergengsi lainnya. Konon, dia bisa kembali ke Batavia lantaran sang istri, Sara Bessels, yang dikenal dekat dengan para pejabat VOC papan atas.
Nisan keluarga yang kami saksikan tersebut terbuat dari batu gunung atau blauwsteen, yang umumnya dipesan dari pantai selatan India. Prasasti pada nisan menunjukkan bahwa Tack dimakamkan bersama empat jenazah keluarga mertuanya.
Pieter Janse, sang ayah mertua, wafat pada Januari 1682, sedangkan Sara, sang ibu mertua, wafat pada Juli 1686. Di tempat yang sama dimakamkan pula Pieter van Hoorn de Jonge, anak lelaki sulung, dan Catharina van Hoorn de Jonge, putri bungsu mereka. Masing-masing wafat pada November 1680 dan Mei 1683.
Batu nisan juga merupakan ‘arsip penduduk’ masa lampau, demikian menurut Lilie, karena dari prasasti pada batu nisan itu kita dapat merekonstruksi struktur sosial dan budaya suatu masyarakat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR