Nationalgeographic.co.id-Ambergris, salah satu komoditas yang paling tidak laris di dunia. Kendati zat lilin yang terbentuk di usus paus kotaklema—atau kerap disebut paus sperma—ini sering digambarkan sebagai muntahan, hampir pasti ambergris keluar dari dubur hewan itu. Ambergris segar memiliki bau feses yang kuat dan jauh lebih berharga daripada spesimen yang sudah tua.
Terlepas dari asal-usulnya, ambergris memiliki aromanya yang unik, sifat fiksatif, dan kemampuannya untuk meningkatkan aroma penciuman. Hal ini telah diketahui oleh industri parfum selama ratusan tahun. Ambergris juga bisa dikonsumsi dan dijadikan obat.
Kadang-kadang, harga batu tersebut akan mencapai dua kali lipat dari emas. sekarang ini, batu ambergris bisa diperjualbelikan dengan harga 25 dolar AS per gram. Nilainya mendekati harga platinum dan berkali-kali lipat harga perak. Apalagi bila kita menemukannya sebesar bola tenis.
Pada pertengahan abad ke-20, para ilmuwan mengembangkan versi sintetisnya. Saat ini sebagian besar pembuat parfum mengandalkan alternatif yang diproduksi di laboratorium. Jadi bagaimana ambergris tetap menjadi objek yang memikat untuk diteliti ?
Para penggemar dunia wewangian berpendapat bahwa kualitas penciuman ambergris sintetis tidak pernah bisa dibandingkan dengan pendahulunya yang alami. Namun ada faktor lain dalam daya tarik itu—misterius. Misteri seputar komoditas biasanya selalu diikuti informasi yang salah, kecurigaan, dan kerahasiaan.
Meskipun ambergris telah diperdagangkan setidaknya sejak Abad Pertengahan, kita hanya tahu sedikit tentang substansinya. Bahkan, fakta bahwa batu ini berasal dari paus kotaklema merupakan penemuan yang relatif baru.
Baca Juga: Astronom Temukan Planet yang Mungkin Menyimpan Banyak Batu Permata
Para penjelajah pesisir menemukan ambergris yang terdampar di pantai dan para pelaut menemukan batu itu dari bangkai. Selama ratusan tahun, para naturalis dan dokter menganggap teori bahwa paus menghasilkan ambergris sebagai sesuatu yang aneh. Seorang muslim dan penulis perjalanan abad kesembilan mengusulkan bahwa paus kemungkinan besar mengonsumsi zat yang diproduksi di tempat lain dan kemudian memuntahkannya. Pernyataan inilah yang terus beredar selama beberapa abad.
The Hortus Sanitatis, sebuah ensiklopedia obat-obatan herbal yang diterbitkan pada 1491, mengutip teori bahwa ambergris adalah getah pohon, sejenis busa laut, atau sejenis jamur. Pada abad ke-12, Tiongkok memberitakan bahwa ambergris adalah ludah naga yang dikeringkan.
Menurut Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom, “Pada 1667, ada delapan belas teori berbeda tentang perkara ini dan berbagai hewan dianggap sebagai produsen zat ini—termasuk anjing laut, buaya, bahkan burung.”
Baca Juga: Paus Sperma Ditemukan Mati dengan 100 Kilogram Sampah di Perutnya
Saat ambergris tiba di darat, ia dapat menyerupai bermacam benda. Saat segar, warnanya hitam dan kental. Akan tetapi, saat mengeras di dalam laut, batu ini akan berwarna lebih terang—seperti coklat, abu-abu, atau putih.
Temuan ambergris yang tercatat memiliki ukuran mulai dari kerikil kecil, dengan berat hanya beberapa gram, hingga batu seukuran manusia. Kolektor sering kecewa saat mengetahui bahwa mereka hanya memperoleh batu, karet, spons laut, gumpalan lilin atau lemak—bukan ambergris. Bagi yang apes, mereka hanya mendapat kotoran anjing laut.
Kata "ambergris" adalah hasil dari sebuah kesalahpahaman. Kata ini berasal dari istilah Prancis kuno "ambre gris", yang berarti "amber abu-abu", untuk membedakan benda ini dari amber resin—getah pohon fosil yang juga digunakan dalam wewangian.
Masyarakat Arab mengekstrak ambergris sebagai obat, setidaknya sejak abad kesembilan. Kemudian mereka menggunakannya sebagai bahan parfum. Mereka juga yang telah memperkenalkan zat tersebut ke Barat; ambergris menjadi tersebar luas di kedua budaya sepanjang Abad Pertengahan.
Baca Juga: Muntahan Paus Membuat Kelompok Nelayan Ini Terlepas dari Kemiskinan
Selama Black Death, pandemi wabah pes yang melanda Eropa pada pertengahan abad ke-14, para orang kaya menggantung wadah bulat yang dikenal sebagai pomander. Isinya ambergris dan bahan harum lainnya. Pomander ini digantung di leher atau ikat pinggang mereka dengan keyakinan sesat bahwa wabah itu disebabkan oleh bau tidak sedap.
Tiga ratus tahun kemudian, Raja Charles II dari Inggris dikabarkan memakan ambergris dengan telur. Dan ambergris terdaftar sebagai bahan dalam resep es krim paling awal di dunia dan resep punch abad ke-17. Bahkan saat ini, pengunjung bar koktail akan disuguhi koktail mahal yang diracik bersama ambergris.
Baca Juga: Paus Perlu Diselamatkan Karena Peran Kotoran Mereka Bagi Dunia
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Source | : | Smithsonian |
Penulis | : | Agnes Angelros Nevio |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR