Keberadaan makam tokoh nasional dan aktivis kemerdekaan Indonesia beraliran kiri, Tan Malaka, akhirnya menemui titik terang. Sejarawan asal Belanda, Harry A.Poeze, memastikan makam Tan Malaka ditemukan di sebuah desa kecil bernama Selopanggung, kecamatan Semen, wilayah Kediri di Jawa Timur.
Meski menurutnya, tim ahli forensik yang dipimpin oleh dr Djaja Surya Atmadja dari Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, masih melakukan penelitian tes DNA.
“Dr. Djaja akan meneruskan penelitian untuk memastikan identitas Tan Malaka melalui DNA. Tapi, tim penggalian sudah yakin bahwa sisa-sisa kerangka yang terdapat di dalam makam yang diteliti adalah Tan Malaka. Ini karena ada penelitian historis dari saya lalu ada penelitian antropologi oleh tim forensic, misalnya orang yang dimakamkan itu ini seorang dengan umur, tinggi badan dan beberapa syarat lain yang sesuai dengan Tan Malaka. Dan atas bukti itu kita akan berkirim surat ke Menteri Sosial,” ujarnya.
Harry menerangkan bahwa secara antropologis dan secara ilmu kesejarahan jenazah laki-laki ras mongoloid di Selopanggung dengan tinggi sekitar 163-165, sangat mirip dengan ciri-ciri Tan Malaka yang didapat Harry dari arsip Kepolisian Hindia Belanda.
Ahli forensik dr Djaja Surya Atmadja dari Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengaku kesulitan dalam meneliti DNA Tan Malaka, karena kondisi tulang yang sebagian besar hancur.
“Itu pada waktu itu kan kita dapetin kerangka. Kerangkanya sudah kita periksa. Terus dari tulang-tulang dari antropologi itu ada. Intinya tidak ada data yang menunjukan dia bukan Tan Malaka. Tapi untuk memastikan kan kita harus periksa dari gigi dan DNA. Cuma kita nggak ada bukti yang kongkrit bahwa itu sesuai karena DNA nya gak ketemu karena tulang semua dalam kondisi hancur,” ujarnya.
Zulfikar Tan, keponakan Tan Malaka, mengatakan ia berharap pemerintah dapat memindahkan makam Tan Malakan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Meminta supaya makam pak Tan ini resmilah ditetapkan. Kemudian dia juga diakui sebagai pahlawan, yang memang sudah pahlawan. Karena beliau sebenarnya sudah resmi menjadi pahlawan pada 28 Maret 1963. Ini kan selama ini tidak ada. Zaman Orde Baru bahkan malah disisihkan kan? Kalau memang diakui sebagai pahlawan kita harapkan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata,” ujarnya.
Lahir pada 2 Juni 1897 dan meninggal pada 1949, Tan Malaka adalah aktivis kemerdekaan serta ahli filsafat Indonesia. Ia dikagumi karena pemikirannya sekaligus mengundang kontroversi karena beraliran kiri dan pernah memimpin Partai Komunis Indonesia.
Harry A.Poeze baru-baru ini meluncurkan buku “Tan Malaka Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949”. Buku ini berisi seputar masa-masa terakhir Tan Malaka sebelum tewas ditembak oleh anggota Tentara Republik Indonesia. Harry berharap kepastian makam dan hasil penelitian kematian Tan Malaka ini akan membuka tabir misteri kematian Tan.
“Bahwa Tan Malaka ditembak mati di desa Selo Panggung namanya. Dan ini terjadi pada 21 Februari 1949. Dan siapa yang bertanggung jawab? Adalah seorang letnan kedua dari Tentara Republik Indonesia bernama Sukotjo. Ia kemudian menjadi walikota Surabaya. Itu adalah aksi pribadi dari Sukotjo. Tidak ada perintah tembak mati dari atasan Sukotjo atau pimpinan tentara Indonesia. Rangkaian peristiwa kematian Tan Malaka ada di buku saya yang baru,” ujarnya.
Pada 2009, Harry A Poeze melakukan penelitian seputar makam dari Tan Malaka yang dipimpin oleh Zulfikar Tan dengan tim forensik yang dipimpin oleh dr Djaja. Dari hasil penelusuran ditemukanlah sebuah makam di Selopanggung. Saat ditemukan, kerangka jenazah Tan Malaka dalam kondisi tangan terikat ke belakang.
Sosok pahlawan revolusioner Tan Malaka, menarik perhatian peneliti asal Belanda lulusan Universitas Amsterdam ini. Selama 40 tahun pria Belanda kelahiran 20 Oktober 1947 itu, meneliti kemisteriusan sosok revolusioner beraliran kiri tersebut.
Tan Malaka dinilai Harry sebagai seorang tokoh yang memiliki tulisan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Harry mengatakan kisah Tan Malaka merupakan satu babak sejarah Indonesia yang hilang, karena ditutup rapat-rapat oleh rezim Orde Baru.
“Saya senang bisa membuka tabir misteri kematian Tan Malaka,” ujarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR