Nationalgeographic.co.id—Tsunami adalah salah satu jenis bencana alam paling mematikan yang pernah diketahui. Tsunami 2004 di Samudra Hindia misalnya telah menghancurkan Aceh dan menewaskan lebih dari 230.000 orang. Jumlah kematian akibat tsunami itu jelas lebih tinggi daripada kebakaran atau badai apa pun.
Para ilmuwan yang mempelajari efek tsunami kini telah menjelaskan temuan yang bisa menjadi catatan paling awal tentang seseorang yang tewas akibat tsunami. Seseorang yang malang itu hidup 6.000 tahun lalu di tempat yang sekarang disebut Papua Nugini di Pasifik barat daya.
Tengkorak orang tersebut ditemukan di sedimen geologis yang memiliki ciri khas aktivitas tsunami purba. Itu berarti, tengkorak ini bisa jadi merupakan milik korban tsunami paling awal yang diketahui.
"Jika kami benar tentang bagaimana orang ini meninggal ribuan tahun yang lalu, kami memiliki bukti dramatis bahwa hidup di tepi laut tidak selalu merupakan kehidupan dengan matahari terbenam keemasan yang indah dan kondisi selancar yang bagus," kata John Terrell, kurator antropologi pasifik di The Field Museum yang menjadi salah satu penulis studi atas temuan ini.
"Mungkin individu ini dapat membantu kita sebagai ilmuwan untuk meyakinkan para skeptis hari ini bahwa kita semua di bumi harus menganggap serius perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut sebagai ancaman yang nyata," tutur Terrell, seperti dikutip dari Science Daily.
Tengkorak yang Terrel maksud itu ditemukan pada tahun 1929. Tengkorak itu terkubur di tanah dekat kota kecil Aitape di utara Papua Nugini, sekitar 500 mil utara Australia.
Terrell telah melakukan penelitian arkeologi dan antropologis di wilayah pesisir New Guinea, pulau terbesar kedua di dunia, sejak tahun 1990. Laporan temuan tengkorak ini merupakan kelanjutan dari penelitian tersebut.
Baca Juga: Batu-Batu Monumen Tsunami Ratusan Tahun Selamatkan Banyak Orang Jepang
Hasil penelitian ini merupakan buah kerja sama antara University of New South Wales, l'Université de Bourgogne-Franche-Comté, University of Notre Dame, University of Auckland, National Institute of Water and Atmospheric Research, University of Papua New Guinea, Papua New Guinea National Museum and Art Gallery, dan The Field Museum. Laporan hasil penelitian ini telah terbit di jurnal PLOS One.
"Tengkorak itu selalu menjadi perhatian arkeologis yang besar karena merupakan salah satu dari sedikit sisa kerangka awal dari daerah tersebut," kata Mark Golitko dari University of Notre Dame dan The Field Museum.
"Awalnya diperkirakan tengkorak itu milik Homo erectus sampai endapan tersebut diperiksa dengan metode penanggalan radiokarbon yang lebih andal bahwa ternyata berumur sekitar 5.000 hingga 6.000 tahun. Saat itu, permukaan laut lebih tinggi dan daerah itu berada tepat di belakang garis pantai."
Pada 2014 Golitko dan yang lainnya kembali ke tempat persis di mana tengkorak ini ditemukan untuk mencari petunjuk baru tentang apa yang membunuh individu tersebut.
"Kami sekarang dapat mengkonfirmasi apa yang telah lama kami duga," kata James Goff dari University of New South Wales di Australia, penulis pertama dalam kreditasi di laporan studi tersebut.
"Kesamaan geologis antara sedimen di tempat tengkorak itu ditemukan dan sedimen yang terbentuk selama tsunami 1998 yang melanda garis pantai yang sama ini telah membuat kami menyadari bahwa populasi manusia di daerah ini telah terpengaruh oleh bah besar ini selama ribuan tahun."
“Mengingat bukti yang kami miliki, kami lebih yakin daripada sebelumnya bahwa orang ini terbunuh dengan kejam oleh tsunami," jelas Goff.
"Sangat mudah untuk tertipu oleh keindahan agung pantai Sepik di Papua Nugini ini dengan berpikir bahwa pasti bagian dunia ini sangat dekat dengan surga di bumi seperti yang diinginkan siapa pun. Tengkorak orang ini adalah saksi dari fakta bahwa di sini, seperti di tempat lain, bencana alam dapat tiba-tiba dan tidak terduga mengubah dunia ini menjadi terbalik," pungkas Terrell.
Baca Juga: Ditemukannya Neapolis, Kota Kuno Romawi yang Tenggelam karena Tsunami
Source | : | Science Daily,PLOS ONE |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR