Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru telah dilakukan oleh para ilmuwan dari University of Cambridge untuk menindaklanjuti eksperimen XENON1T di Italia yang mana hasil dari eksperimen tersebut masih belum bisa menjelaskan tentang energi gelap. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena energi gelap bukanlah materi gelap yang dirancang untuk dideteksi oleh eksperimen tersebut.
Menurut para ilmuwan, ada sekitar 68 persen dari alam semesta ini adalah berupa energi gelap. Partikel energi gelap ini diproduksi di wilayah Matahari dengan medan magnet yang sangat kuat.
Untuk mendukung penelitian mereka, para ilmuwan membuat sebuah model fisik yang dapat membantu menjelaskan hasilnya. Studi ini merupakan langkah penting dalam upaya untuk mendeteksi energy gelap.
Seperti yang dilansir oleh Tech Explorist, Sunny Vagnozzi dari Cambridge's Kavli Institute for Cosmology, yang merupakan penulis pertama makalah tersebut, mengatakan, “Meskipun kedua komponen tersebut tidak terlihat, kita tahu lebih banyak tentang materi gelap sejak keberadaannya disinggung pada awal tahun 1920-an, sementara energi gelap belum ditemukan hingga tahun 1998.”
Ia pun menambahkan, “Eksperimen skala besar seperti XENON1T telah dirancang untuk mendeteksi materi gelap secara langsung dengan mencari tanda-tanda materi gelap yang 'menabrak' materi biasa, tetapi energi gelap bahkan lebih sulit untuk dipahami.”
Hasil studi terbaru Sunny Vagnozzi dan rekan-rekannya ini telah dipublikasikan dalam jurnal Physical Review D pada 15 September 2021 dengan mengambil judul Direct detection of dark energy: The XENON1T excess and future prospects.
Dalam eksperimen XENON1T, melaporkan sinyal yang tidak diharapkan, atau kelebihan, di atas latar belakang yang diharapkan. Sehingga masih belum dapat menjelaskan energi gelap.
“Kelebihan semacam ini sering kali merupakan kebetulan, tetapi sesekali, mereka juga dapat mengarah pada penemuan mendasar. Kami menjelajahi model di mana sinyal ini dapat dikaitkan dengan energi gelap, daripada materi gelap yang awalnya dirancang untuk dideteksi oleh eksperimen ini.” kata Dr. Luca Visinelli, seorang peneliti di Frascati National Laboratories di Italia, yang juga turut menulis studi tersebut.
“Pada saat itu, penjelasan paling populer untuk kelebihan itu adalah axion—hipotetis, partikel yang sangat ringan—yang diproduksi di Matahari. Namun, penjelasan ini tidak sesuai dengan pengamatan karena jumlah aksis yang diperlukan untuk menjelaskan sinyal XENON1T akan secara drastis mengubah evolusi bintang yang jauh lebih berat daripada Matahari, bertentangan dengan apa yang kami amati.” tutur Visinelli.
Melalui penggunaan jenis mekanisme penyaringan yang dikenal sebagai 'penyaringan bunglon', ilmuwan mengembangkan model tersebut. Melalui model itu, ilmuwan mendapatkan petunjuk bahwa partikel energi yang dihasilkan di medan magnet intens Matahari dapat menjelaskan kelebihan XENON1T.
“Pemutaran bunglon kami mematikan produksi partikel energi gelap di objek yang sangat padat, menghindari masalah yang dihadapi oleh axion matahari. Ini juga memungkinkan kita untuk memisahkan apa yang terjadi di Alam Semesta lokal yang sangat padat dari apa yang terjadi pada skala terbesar, di mana kepadatannya sangat rendah.” kata Vagnozzi.
Dengan menggunakan model tersebut, para ilmuwan juga menunjukkan apa yang akan terjadi pada detektor jika energi gelap dihasilkan di wilayah tertentu Matahari, yang disebut tachocline, di mana medan magnetnya sangat kuat.
Perhitungan tersebut juga menunjukkan bahwa eksperimen seperti XENON1T, yang dirancang untuk mendeteksi materi gelap, juga dapat digunakan untuk mendeteksi energi gelap. Hanya saja, kelebihan aslinya masih perlu dikonfirmasi secara meyakinkan.
Vagnozzi berkata, “Sungguh mencengangkan bahwa kelebihan ini pada prinsipnya dapat disebabkan oleh keberadaan energi gelap daripada materi gelap. Ketika semuanya menyatu seperti itu, itu benar-benar istimewa.”
“Pertama-tama kita perlu tahu bahwa ini bukan hanya kebetulan. Jika XENON1T melihat sesuatu, Anda akan berharap untuk melihat kelebihan serupa lagi di eksperimen mendatang, tetapi kali ini dengan sinyal yang jauh lebih kuat.” pungkas Vagnozzi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR